Menuju Negara Zero Pornografi

Menuju Negara Zero Pornografi


Oleh: Sholehudin A Aziz

Nama Arifinto, salah seorang perintis dan pendiri Partai Keadilan (PK) yang kini menjadi PKS, tiba-tiba tenar seantero negeri. Ia menjadi buah bibir masyarakat bukan karena sikap dan teladan baiknya, melainkan karena tertangkap kamera wartawan sedang asyik menonton video porno saat sidang Paripurna DPR.

Walhasil, kecaman dan cibiran pun datang silih berganti kepadanya. Bukan itu saja, institusi PKS yang menaunginya pun ikut tercemar akibat ulahnya. Hal ini wajar karena selama ini PKS dianggap sebagai salah satu partai dakwah yang sarat dengan moralitas agama dan etika.

Sebagai akibatnya, entah secara sadar atau diminta oleh partainya, akhirnya Arifinto menyatakan mundur. Ia pun secara jantan meminta maaf kepada seluruh kader, simpatisan, konstituen PKS di seluruh Indonesia, dan seluruh anggota DPR RI yang otomatis nama baiknya ikut tercemar karenanya.

Kasus di atas sungguh membuka mata kita semua, betapa mudahnya semua orang melihat video porno. Tak peduli anak kecil atau dewasa, tak peduli ahli agama ataupun bukan, tak peduli kelompok moderat atau konservatif, tak peduli laki-laki atau perempuan, dan sebagainya. Kesemuanya memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk menikmati video-video porno itu.

Video porno dan pornografi secara umum sungguh menarik bagi siapa pun karena notabene membahas hal-hal privat di wilayah aurat yang seharusnya tidak pernah diperlihatkan apalagi dipertontonkan ke siapa pun. Menariknya lagi, karena video porno dan topik pornografi sering kali mengundang perdebatan panjang karena dianggap melanggar norma, etika, dan moral yang seharusnya dijaga oleh setiap individu.

Lantas, bagaimana sesungguhnya perkembangan video porno dan situs-situs pornografi saat ini? Fakta menyatakan bahwa hingga kini sekitar 420 juta website terkait dengan pornografi berserak di internet dan dipastikan mudah diakses oleh siapa pun. Situs-situs ini pula dipastikan akan membuat kecanduan gambar syur teramat sulit dihentikan oleh siapa pun.

Bila kita telisik lebih jauh, perkembangan pornografi di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan, karena tak sulit kita mendapatkan CD atau DVD atau file video porno di manapun berada. Situs-situs porno di media online bergentayangan dengan leluasa dan mudah bisa diakses oleh siapa pun baik dari warnet, HP, maupun jaringan internet di rumah sekalipun.

Maka, sangat wajar bila sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera menghasilkan kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya suka mengonsumsi video seks lewat internet.

Masih berdasar sumber yang sama, ternyata terdapat 800 video porno mini yang beredar di masyarakat selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Peringkat akses Indonesia dengan kata kunci seks, xxx, porno, dan kata kunci beberapa idola seks dunia, menurut tool statistik google.com yang dikenal sebagai googletrends pun meningkat terus setiap tahunnya. Dengan kata kunci sex, Indonesia menduduki peringkat keempat sedunia di 2007. Pada 2008 meningkat ke peringkat tiga. Dan terakhir, pada 2009 bertengger di nomor dua. Ini adalah cerminan seriusnya persoalan pornografi di Indonesia.

Suka atau tidak suka, inilah realitas yang tak terbantahkan. Kemajuan teknologi yang semakin pesat tak mungkin kita hindari. Kemampuan kita memanfaatkan fasilitas teknologi untuk kepentingan yang baik dan bermanfaat adalah jawaban bijaknya.

Sangat manusiawi memang bila seorang Arifinto yang juga seorang manusia secara sengaja atau tidak melihat tayangan video porno sesaat. Namun, yang tidak wajar adalah timing waktu melihatnya yang tidak tepat, yakni ketika sidang paripurna yang sangat serius. Selain itu, persoalan kader PKS yang identik dengan partai dakwah dan nilai-nilai moral agama juga menjadi faktor pemberatnya.

Maka dari itu, tibalah saatnya bagi kita semua untuk bertindak tegas dan konkret dalam upaya untuk mengeliminasi perkembangan pornografi ini. Kehadiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UUP) misalnya, ternyata belum cukup manjur menghentikan kehadiran pornografi di masyarakat karena memang belum maksimal implementasinya.

Begitu pula dengan hadirnya gerakan moral keagamaan dengan ancaman dosa dan masuk neraka, serta gerakan kampanye antipornografi ternyata juga tidak berpengaruh signifikan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya strategis efektif dan sinergi yang kuat antara seluruh stakeholder masyarakat untuk secara konsisten mengurangi perkembangan pornografi yang sudah semakin mengkhawatirkan ini seraya mencari solusi terbaik mengurangi dampak buruknya bagi generasi muda bangsa.

Disinilah dibutuhkan solusi tepat dan strategis untuk mengeliminasi masifnya tayangan pornografi ini. Karena taruhannya sangatlah besar, yakni rusaknya moral generasi bangsa kita. Hemat penulis, terdapat langkah-langkah stretegis yang bisa diambil, di antaranya adalah:

Pertama, penegakan hukum yang tegas. Melalui UUP yang kita miliki, seluruh pihak yang melanggar aturan-aturan normatif ini harus dihukum seberat-beratnya untuk memunculkan efek jera bagi yang lain. Bila hal ini tidak dilakukan, jangan harap pornografi akan hilang dari negeri ini. Alih-alih membuat masyarakat takut dan jera, yang ada malah sikap cuek bebek yang dibuktikan dengan masih bermunculannya video-video porno lainnya di tengah masyarakat.

Kedua, pengawasan ektra dari para orang tua. Tak bisa dimungkiri lagi bahwa akses situs porno yang membahayakan perkembangan mental dan psikologis generasi muda kita sangat mudah dibuka, termasuk pula oleh anak-anak kita. Maka dari itu, peran orang tua sangat mutlak hadir untuk memberikan pengawasan ekstra seraya memberikan pemahaman dan pengertian akan bahaya situs-situs porno bagi mereka.

Ketiga, penutupan situs porno oleh pemerintah. Opsi ini barangkali adalah opsi terbaik, walaupun sedikit kontroversial dari sekian banyak opsi yang muncul. Ketegasan pemerintah untuk menutup situs-situs porno adalah jawaban cerdas yang sangat ditunggu-tunggu semua pihak. Kita bisa mencontoh Pemerintah Cina yang secara berani menutup  situs-situs porno yang ada di negaranya. Saat ini, Cina telah memberedel lebih dari 140 ribu situs yang mengandung konten porno di Beijing, dan sekitar 310 ribu situs telah dihapus di Provinsi Pantai Guangdong dan Jiangsu.

Keempat, tingkatkan moralitas masyarakat. Aspek moral di sini adalah kemampuan untuk menghadirkan perilaku yang baik dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan etika di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Walau persoalan moral ini sangat multiinterpretasi, benang merah moral bisa kita sepakati bersama.

Penulis yakin, bila keempat poin di atas diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, persoalan pornografi yang sangat meresahkan ini akan dapat diatasi dengan baik menuju negara zero pornografi. Semua ini dilakukan demi menyelamatkan mental generasi muda bangsa ini dari kehancuran moral hingga akhirnya menjadi generasi muda yang bisa dibanggakan dengan prestasi-prestasi terbaiknya dalam membangun negeri tercinta ini.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 14 April 2011
Penulis adalah dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta