Mentalitas ‘Minna’ Vs ‘Minhum’

Mentalitas ‘Minna’ Vs ‘Minhum’

Secara historis di Indonesia, mentalitas, cara pandang, dan sikap minna dan minhum berakar lama dan kuat sejak zaman kolonialisme Belanda. Berhasil ditundukkan kekuatan kolonialisme Belanda melalui berbagai cara (penaklukan, perjanjian/plakat panjang atau pendek dan kooptasi), banyak dan para pengikutnya memilih melawan secara diam (silent opposition).

Menghindari aksi perlawanan bersenjata yang disebut Belanda sebagai wujud ‘Islam politik’ yang berbahaya bagi kelangsungan status-quo kekuasaan kolonial, kebanyakan ulama dan kaum santri mengalihkan perhatian dan energi pengembangan Islam kultural. Perubahan bentuk perlawanan ini terbukti kemudian menjadi blessing in disguise bagi umat Islam kepulauan nusantara.

Berkat perjuangan melalui Islam kultural, kaum Muslim kepulauan nusantara berhasil mengembangkan banyak lembaga pendidikan sejak dari pesantren, madrasah, dan sekolah Islam. Selain itu, juga membangun rumah sakit, klinik, rumah yatim piatu, misalnya. Semua ini menjadi bagian dari warisan (legacy) Islam Indonesia yang sangat kaya.

Pada saat yang sama, perlawanan secara diam terhadap pemerintah kolonial Belanda cenderung meciptakan distansi ketat (watertight) di antara kedua belah pihak. Pemerintah kolonial Belanda, bisa dipahami memang bukan minna, sebaliknya adalah minhum; penjajah Belanda adalah orang bule non-Muslim yang datang dari Eropa. Oleh karena itu, kepemimpinan umat dan jamaahnya menjauhkan diri dari kekuasaan dan kekuatan kolonialisme Belanda.

Persepsi dan sikap minna dan minhum tidak berakhir dengan tamatnya penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya pada era pemerintahan Sukarno (Ordo Lama) dan pemerintahan Soeharto (Ordo Baru), mentalitas dan sikap seperti ini terus bertahan dari waktu ke waktu sampai sekarang. Sekali lagi, mentalitas dan sikap dikotomis minna dan minhum tidak hanya merugikan hubungan antara warga dan pemerintah, tetapi juga intra-umat Islam dan antar-umat beragama.

Secara akademik-ilmiah, subjek ‘minna dan minhum’ dan isu-isu terkait lain telah menjadi kajian-kajian itu terlihat konsekuensi dan implikasinya terhadap kehidupan kebangsaan, intra-umat Islam, juga antara umat Muslimin dan komunitas non-Muslim.

Pembelahan minna dan minhum merupakan salah satu bentuk kontraksi (penciutan atau penyempitan) pengertian ‘umat’. Sidney Jones dalam artikelnya yang sudah menjadi klasik The Contraction and Expansion of the Umat (1984) mengungkapkan proses menyempitan cakupan ‘umat’ yang semula menginklusi umat Islam keseluruhan menjadi hanya bagian tertentu ‘umat’. Dengan penyempitan itu, ‘umat’ (suatu kelompok) adalah minna, sedangkan mereka lain (meski merupakan kelompok mayoritas) adalah minhum.

Penyempitan pengertian dan cakupan ‘umat’ membuat ‘Islam’ dan ‘umat Islam’ menjadi kecil dan kabur. Implikasi ini diungkapkan William R. Roff dalam Islam Obscured?: Some Reflections on Studies of Islam and Society’ (1985). Roff melihat ada usaha sistematis kalangan Indonesianis mengecilkan cakupan Islam dan umat Muslimin dalam kaitannya dengan fenomena sosial, budaya, dan politik Indonesia. Hasilnya, Islam Indonesia seolah-olah menjadi ‘kabur’ atau tidak jelas.

Argumen yang sama juga diajukan Karel Steenbrink dalam bukunya Dutch Colonialism and Islam (2006). Streenbrink melihat usaha sistematis sarjana Belanda mengecilkan Islam dengan ranah pengaruhnya di Indonesia.

Bahkan, dikalangan ustaz dan penceramah juga sering muncul hujjah tanpa bukti tentang menciutnya kuantitas dan kualitas umat. Mereka sering menyatakan, memang secara statistik jumlah umat Islam Indonesia hampir 90 persen. Tetapi, menurut mereka, umat Islam yang menjalankan Islam secara sungguh-sungguh jauh lebih kecil-mungkin tidak lebih dari separuh.

Penciutan cakupan umat, eksklusif dan menghadap oposisional minna dan minhum jelas tidak menguntungkan negara-bangsa Indonesia: umat Islam sendiri secara keseluruhan, dan pemerintah. Mentalitas minna dan minhum menunjukkan sikap distrust kuat terhadap pemerintah. Dalam ketiadaan trust sebagai modal sosial, pemerintahan tidak bisa efektif dalam menjalankan programnya.

Mengingat mentalitas minna dan minhum yang tidak kondusif, mentalitas, persepsi, dan sikap semacam itu sudah saatnya ditinggalkan. Sebaliknya, perspektif dan sikap inklusif yang mesti ditumbuhkembangkan, baik intra-Islam maupun antara umat Islam pemerintah. Semua ini harus dilakukan lewat pemahaman keislaman akurat, yang disosialisasikan melalui kelembagaan pendidikan, keormasan, dan dakwah.

Prof Dr Azyumardi Azra MA, Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Resonansi Republika, Kamis, 24 Oktober 2019. (lrf/mf)