"Menjual Program Berkualitas"

"Menjual Program Berkualitas"

Peta perpolitikan nasional terus menggeliat menuju klimaksnya. Akhirnya Pilpres 2009 diikuti tiga pasang kandidat presiden dan wakil presiden, yakni Jusuf Kalla–Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono–Boediono, dan Megawati Soekarnoputri–Prabowo. Mereka akhirnya menjadi pusat pusaran pergulatan politik Tanah Air.

Peta perpolitikan nasional terus menggeliat menuju klimaksnya. Akhirnya Pilpres 2009 diikuti tiga pasang kandidat presiden dan wakil presiden, yakni Jusuf Kalla–Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono–Boediono, dan Megawati Soekarnoputri–Prabowo. Mereka akhirnya menjadi pusat pusaran pergulatan politik Tanah Air.

Hingga kini, kampanye terus dilakukan oleh masing-masing kandidat untuk meraih simpati masyarakat agar kelak memilihnya dalam hari H pemungutan suara.

Dari sinilah genderang perang antarkandidat dimulai. Segala macam cara ditempuh demi meraih kemenangan. Seluruh partai bertumpuk dalam keabadian kepentingan (immortal interest) menuju terpilihnya sang kandidat sebagai presiden/wakil presiden republik ini.

Dalam kata-kata Lenin, politik itu “siapa boleh melakukan apa kepada siapa” (who could do what to whom). Sementara itu, menurut ahli sains politik, Harold Lasswell, politik itu ”siapa yang dapat apa, bila dan bagaimana” (who gets what, when and how). Semua berujung pada muara meraih kekuasaan dengan segala macam cara. Inilah dunia politik yang sesungguhnya.

Peta persaingan antarkandidat ini tak ubahnya seperti taktik Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Lebih parah lagi, trik dan intrik politik yang berjalan mulai cenderung mengabaikan etika dan menghalalkan segala cara untuk merebut atau meraih kekuasaan.

Pemandangan saling serang, klaim kebenaran, fitnah, dan saling memojokkan antarkandidat menjadi pemandangan yang lumrah terjadi, bahkan menjadi sajian utama kampanye politik mereka. Ironisnya lagi, mereka dengan sengaja menjual kesengsaraan rakyat demi pencitraan kandidat yang diusungnya.

Tak pelak, hampir sulit dibedakan mana yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat atau aspirasi kelompok/pribadi. Semuanya tampil menawan dengan balutan pencitraan terkonsep yang prorakyat dan pembangunan.

Kini, seluruh kandidat yang akan bertarung di pilpres mendatang terus berkompetisi meraih simpati publik melalui beragam strategi kampanye yang dimilikinya, mulai dari mendekati tokoh-tokoh masyarakat dan ulama, eks TNI/Polri, safari kunjungan ke daerah, hingga seabrek iklan di media massa.

Begitu pula dengan pemanfaatan isu agama. Semua dilakukan demi meraih simpati masyarakat. Sepertinya isu agama masih dianggap instrumen penting dalam mobilisasi massa dalam meraih dukungan pemilih.
Namun, kampanye di atas tidak diimbangi dengan kualitas program, konsep yang ditawarkan, dan etika politik yang baik. Alhasil, mereka hanya bisa obral janji, meniupkan angin surga perubahan untuk kesejahteraan.


Kampanye Berkualitas

Mengubah wajah dan nasib bangsa ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bim salabim, layaknya pesulap ulung yang dapat menghilangkan sesuatu dan memunculkannya kembali dalam sekejap.

Dalam pandangan penulis, banyak hal potensial yang bisa digarap oleh para kandidat capres-cawapres dan tim kampanyenya untuk menyuguhkan materi kampanye yang berkualitas.

Persoalan ekonomi misalnya. Kemajuan perekonomian bangsa ini tidak bisa diselesaikan dengan menyuguhkan satu proposal program, misalnya ekonomi kerakyatan saja, namun harus lebih komprehensif dan memiliki skala prioritas. Sektor riil, sektor energi dan migas, pemberdayaan ekonomi lemah, serta penguatan ekonomi mikro dan makro juga harus sejalan sinergis menopang pertumbuhan ekonomi.

Tak kalah bagusnya adalah isu pendidikan. Persoalan pendidikan bisa menjadi salah satu topik ”jualan” para kandidat untuk meraih simpati publik. Coba tengok Kevin Rudd, Perdana Menteri Australia dari Partai Buruh yang baru saja terpilih. Ia juga mengangkat isu pendidikan sebagai tema kampanye. Rudd berjanji untuk menghadirkan digitalisasi di ruang-ruang kelas dengan memberikan jatah satu komputer untuk setiap anak.

Isu pendidikan sebenarnya bisa menjadi ”magnet” besar ketertarikan masyarakat. Pasalnya, pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Keinginan untuk mendapatkan kualitas pendidikan terbaik di tengah kehidupan ekonomi yang serba terbatas menjadikan masyarakat begitu haus akan adanya tawaran perubahan kebijakan, semisal pendidikan gratis dan beasiswa pendidikan bagi kalangan miskin.

Selain kedua isu di atas, isu kesehatan sangat menarik. Isu kesehatan menjadikannya tawaran cerdas menghadapi persoalan bangsa. Lebih lagi pasca terkuaknya kasus Prita Mulyasari, perubahan pelayanan kesehatan bisa dijadikan isu yang sangat menjual.

Tentunya masih banyak lagi ”jualan” kampanye lainnya yang bisa dihadirkan ke tengah masyarakat. Yang pasti, isu etnis dan agama bukan lagi jualan politik strategis dalam pilpres mendatang. Isu ini terlalu sensitif dan berbahaya untuk dimainkan sebagai amunisi politik. Apalagi bila dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mengeruk di air keruh.

Kebinekaan mutlak kita pertahankan karena ia bisa menjadi kekuatan besar dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harus diingat, janji adalah janji yang harus ditepati dan diperjuangkan. Konsep ”habis manis sepah dibuang” mutlak dihindari. Untuk kesekian kalinya, jangan lagi kecewakan rakyat dengan segala pengharapannya. Apalagi dengan sengaja menjual kesengsaraan rakyat demi meraih kekuasaan semata.

Penulis berharap, seluruh kandidat capres-cawapres Pilpres 2009 beserta tim suksesnya dapat menyuguhkan tawaran program berkualitas. Tentunya dibarengi dengan etika kompetisi yang sehat dan menghindari black campaign karena hal demikian justru merendahkan martabat dirinya sendiri.

Siapa pun yang terpilih menjadi presiden 2009-2014 kelak, semoga dapat menjalankan amanat dan kepercayaan rakyat dengan sebaik-baiknya dan menjadi presiden bagi seluruh rakat Indonesia. Semoga pilpres ini berjalan sukses, jurdil, aman, dan bermartabat. Amien

Penulis adalah peneliti di Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sholehudin A Aziz