Menjaga Akal, Merawat Iman: Menakar Arah UIN Jakarta di Usia ke-68

Menjaga Akal, Merawat Iman: Menakar Arah UIN Jakarta di Usia ke-68

Oleh: Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*

Tanggal 1 Juni 2025, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menapaki usia ke-68. Usia yang tidak lagi muda untuk sebuah institusi pendidikan tinggi keagamaan. Dalam hampir tujuh dekade perjalanannya, UIN Jakarta telah menjelma dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang dibentuk oleh Departemen Agama pada 1957, menjadi Universitas Islam Negeri dengan 12 fakultas, puluhan program studi, dan ribuan alumni yang tersebar di berbagai sektor kehidupan nasional dan global. Tetapi, usia tua tidak selalu identik dengan kematangan. Maka pertanyaannya: apakah UIN Jakarta masih teguh pada cita awalnya—mengintegrasikan ilmu dan iman dalam lanskap keindonesiaan dan kemanusiaan?

Dari ADIA ke UIN: Jalan Panjang Integrasi Keilmuan

Sejarah UIN Jakarta bukan sekadar deretan perubahan nama dan status kelembagaan. Ia adalah refleksi dari ikhtiar panjang untuk menjembatani jurang dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Sejak berdirinya ADIA pada 1 Juni 1957, orientasi pendidikan Islam yang bercorak profesional sudah mulai disemai: mendidik para pegawai negeri agar memiliki kompetensi keislaman yang kontekstual.

Penyatuan ADIA dengan PTAIN Yogyakarta pada 1960, lalu pendirian IAIN Syarif Hidayatullah pada 1963 melalui SK Menteri Agama, menjadi babak awal perumusan sistem keilmuan Islam dalam bingkai akademik modern. Namun tonggak paling monumental adalah transformasi dari IAIN menjadi UIN pada 20 Mei 2002 melalui Keppres No. 31 Tahun 2002—sebuah momen historis yang tidak bisa dilepaskan dari visi besar Prof. Azyumardi Azra.

Azyumardi bukan hanya rektor transisional, tetapi arsitek ideologis yang meletakkan dasar integrasi keilmuan secara sistemik. Ia percaya bahwa umat Islam Indonesia harus keluar dari jebakan dikotomi ilmu-ilmu agama versus ilmu-ilmu dunia. Integrasi bukan sekadar soal penambahan fakultas sains, tetapi cara berpikir baru yang menempatkan Islam sebagai landasan etis dan epistemologis dalam membaca realitas.

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang berdiri pada 2004 menjadi bukti konkret bahwa UIN Jakarta tidak ingin menjadi menara gading ilmu syariah semata, melainkan universitas dengan spektrum keilmuan utuh—yang membumikan agama dalam konteks sosial, ekonomi, teknologi, dan kesehatan.

BLU dan Tekanan Pasar: Di Mana Distingsi UIN?

Namun waktu berjalan. Transformasi administratif terus terjadi. Pada 26 Februari 2008, UIN Jakarta resmi menjadi satuan kerja dengan status Badan Layanan Umum (BLU). Ini artinya, kampus ini mulai beroperasi dalam logika pelayanan publik yang dikelola layaknya entitas semi-swasta: dituntut efisien, mandiri secara finansial, dan kompetitif dalam sistem pendidikan tinggi nasional.

Pada titik ini, kita patut bertanya: apakah semangat awal untuk menjadi universitas dengan distingsi keislaman masih terjaga, atau malah terkikis dalam logika pasar?

Status BLU memang membuka ruang fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Tapi bersamaan dengan itu, muncul konsekuensi: kampus harus bersaing dalam pasar pendidikan, menjual program-program studi yang “laku”, dan seringkali terjebak pada pelabelan Islam yang dangkal demi branding belaka. Sementara substansi integrasi ilmu bisa saja dikesampingkan oleh urgensi akreditasi, indeks kinerja, dan capaian output.

Di tengah euforia pembangunan fisik dan rekrutmen dosen besar-besaran, pertanyaan paling mendasar tetap penting diajukan: apa yang membedakan UIN Jakarta dari universitas negeri lainnya? Apa yang membuat alumni UIN tidak hanya unggul dalam IPK, tetapi juga peka terhadap persoalan umat dan bangsa?

Mazhab Ciputat: Warisan yang Perlu Dihidupkan, Bukan Diabadikan

UIN Jakarta tidak dapat dilepaskan dari yang disebut kalangan akademik sebagai “Mazhab Ciputat”—sebuah ekosistem pemikiran yang mewadahi tradisi kritis, pemikiran pembebasan, dan inklusivitas keislaman. Mazhab ini lahir dari dialektika antara pemikiran Harun Nasution, semangat pembaruan Cak Nur, hingga keberanian epistemik generasi seperti Azyumardi Azra.

Namun kini, Mazhab Ciputat seolah terdengar sebagai romantisme masa lalu. Diskusi intelektual yang dahulu hidup di ruang-ruang mahasiswa, kini tergantikan oleh perburuan gelar dan sertifikat. Dosen muda lebih sibuk mengurus angka kredit daripada merumuskan wacana. Padahal, di tengah krisis etika digital, intoleransi berbalut agama, dan tantangan kemanusiaan global, keberanian berpikir ala Mazhab Ciputat justru semakin relevan.

Menjaga warisan bukan berarti mengkultuskan masa lalu. Tapi menjadikannya sebagai energi kritis untuk menghadapi masa depan. Di usia ke-68 ini, UIN Jakarta punya peluang untuk meredefinisi dirinya: bukan sekadar sebagai universitas dengan label Islam, tapi sebagai ruang hidup yang menghasilkan intelektual publik, pemikir progresif, dan agen transformasi sosial.

Menatap ke Depan: Distingsi sebagai Tanggung Jawab

UIN Jakarta tidak boleh puas hanya dengan akreditasi unggul atau ranking QS Asia. Distingsi sejatinya bukan pada fasilitas, tetapi pada visi. Sebagai bagian dari keluarga besar UIN di Indonesia yang kini terus bertambah, UIN Jakarta memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi pelopor—bukan sekadar pewaris.

Tanggung jawab itu hanya bisa ditunaikan jika kampus ini tetap berpihak pada ilmu yang membebaskan, pada integrasi yang substantif, dan pada Islam yang rahmatan lil alamin—bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam praksis pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Di usia 68, sudah saatnya UIN Jakarta menghindari jebakan instansi birokratis. Ia harus kembali menjadi komunitas akademik, tempat akal dijaga, iman dirawat, dan peradaban ditumbuhkan.

* Penulis adalah “Trio MAS” Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.