Menjadi Hamba Bertakwa

Menjadi Hamba Bertakwa

Tujuan berpuasa Ramadan adalah menjadi hamba bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183). Setelah mengikuti pendidikan Ramadan selama sebulan penuh, seperti apakah profil hamba bertakwa itu? Mengapa hamba harus bertakwa kepada Allah SWT?

Menjadi orang bertakwa sejatinya merupakan proses menjadi hamba pemenang, hamba yang beruntung di dunia dan akhirat, selalu memperoleh rahmat dan ampunan Allah.

Profil lulusan pendidikan Ramadan yang bertakwa itu idealnya mencerminkan kualitas diri sebagai hamba yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan salat dengan istikamah, membudayakan infak, sedekah, baik di waktu lapang maupun susah (QS. al-Baqarah [2]: 3, Ali Imran [3]: 133-135), mampu mengendalikan diri, menahan amarah (tidak mudah emosi), berhati lapang, bersedia memaafkan sesama, selalu mengingat Allah ketika akan berbuat zalim atau keji, konsisten beristighfar kepada-Nya, berhenti berbuat keji dan maksiat (QS. Ali Imran [3]: 134-135).

Selain itu, hamba bertakwa selalu menunjukkan kinerja mental spiritual yang positif, dengan membuktikan diri selalu melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat fitrah dan harta, memberikan dermanya kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, dan fakir miskin, menepati janji, apabila berjanji (berkomitmen), tidak suka berbohong dan berdusta, berjiwa sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan perang; dan menjadi orang yang benar dan jujur  dengan keimanannya (QS. al-Baqarah [2]: 177)

Itulah profil lulusan atau alumni pendidikan Ramadan yang termasuk menang dan beruntung. Karena itu, pada hari Idulfitri ini kita saling mengucapkan “minal ‘aidin wal faizin” (Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk orang yang kembali kepada kesucian dan beruntung atau memperoleh kemenangan).

Benarkah para shaimin dan shaimat (puasawan dan puasawati) sudah sukses meraih kualitas dan derajat takwa sebagaimananya dinarasikan oleh al-Qur’an tersebut? Hanya Allah yang Maha Tahu dan Maha Menilai ketakwaan hamba.

Siapakah hamba bertakwa yang beruntung itu? Menurut al-Qur’an, hamba bertakwa yang beruntung (al-muflihun atau al-faizun) adalah hamba yang dijanjikan sebagai calon penghuni surga (QS. at-Taubah [9]: 20; al-Hasyr [59]: 20); selalu taat dan takut kepada-Nya (QS. an-Nur [24]: 52), sabar dalam ketaatan, menjauhi kemaksiatan, dan menghapi aneka ujian kehidupan (QS. al-Mu’minun [23]: 111); berkata dan berkomunikasi benar (QS. al-Ahzab [33]: 70-71); selalu berjihad dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar (berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran) (QS. Ali Imran [3]: 104); berjiwa filantropis, gemar berderma, dan mengeliminasi kekikiran diri (QS. at-Taghabun [64]: 16)

Mukmin yang beruntung selalu menyucikan dirinya, dengan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan.

Mukmin yang beruntung hasil didikan Ramadan senantiasa ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan), bukan ber-fastabiqul ma’ashi wal munkarat (berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan kemungkaran); selalu menyucikan diri dan berkompetisi dalam kebajikan (fastabiqul khairat) (QS. al-A’la [87]: 14-15; as-Syams [91]: 9).

Kembali kepada pertanyaan awal, mengapa harus bertakwa kepada Allah SWT? Tentu saja, selain berharap menjadi hamba-Nya yang beruntung dan meraih kemenangan hakiki duniawi dan ukhrawi, hamba harus bertakwa kepada-Nya karena beberapa alasan sangat rasional.

Pertama, Allah selalu membersamai hamba yang bertakwa. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. an-Nahl [16]:128).

Orang dibersamai Allah pastilah orang yang dekat dengan-Nya, dan bersama dengan Allah itu pasti tidak akan pernah dikecewakan, pasti membahagiakan, pasti mendapat ampunan dan kasih sayang-Nya, karena Allah itu Maha Kaya, Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan seterusnya.

Kedua, selain dibersamai, hamba bertakwa itu dicintai oleh Allah. “Sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sesungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 76].

Orang yang dicintai oleh Allah adalah orang-orang spesial, yaitu orang-orang yang berbuat baik (muhsinin), sabar (shabirin), menyucikan diri (mutathahhirin), berlaku adil (muqsithin), dan orang berperang di jalan Allah dengan barisan yang teratur (memiliki manajemen jihad yang solid dan strategis).

Ketiga, hamba bertakwa itu merupakan panggilan spesial dari Allah. Allah memanggil orang yang bertakwa itu dengan panggilan kesayangan “wahai hamba-hamba-Ku”. “Maka bertakwalah kepada-Ku, wahai hamba-hamba-Ku.” (QS az-Zumar [39]: 16).

Hamba-hamba Allah yang bertakwa itu akan memperoleh kabar gembira. “Sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (al-Qur’an).

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS az-Zumar [39]: 18-19).

Keempat, surga itu disiapkan untuk merindukan berkumpulnya hamba-hamba bertakwa. Karena itu, hamba bertakwa selalu responsif, bersegera memohon ampunan Allah (QS. Ali Imran [3]: 133).

Sedemikian indahnya narasi balasan kenikmatan bagi hamba bertakwa di akhirat kelak, Allah memastikan bahwa “Sesungguhnya orang-orang bertakwa  berada dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa  yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka.

Sesungguhnya sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam (di waktu sahur) mereka memohon ampun kepada Allah.” (QS adz-Dzariyat [51]: 15-18).

Ramadan hampir mendekati akhir. Belum tentu, tahun depan kita mendapatkan kesempatan “memperbaiki diri” menjadi hamba bertakwa.

Karena itu, kita harus berusaha untuk menjadikan takwa itu sebagai bekal terbaik, modal dan investasi terbaik, sekaligus sebagai “pakaian harian” kita (QS al-Baqarah [2]: 197; al-A’raf [7]: 26).

Nabi Saw berpesan, bertakwalah kepada Allah, di manapun dan kapan pun. Tindaklanjutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu menjadi penghapus keburukan. Dan berinteraksilah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Muslim).

Dengan demikian, menjadi hamba takwa itu harus menempuh jalan kebaikan, ketaatan dan kedekatan diri dengan Allah SWT. (Ang)

Muhbib Abdul Wahab (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia). Sumber: https://manado.tribunnews.com/2020/05/20/renungan-ramadan-28-menjadi-hamba-bertakwa?page=3, Rabu, 20 Mei 2020. (zm/mf)