Menimbang eSports

Menimbang eSports

Iklan aplikasi permainan hago di enam stasiun televisi menuai protes masyarakat (14/5). Pasalnya, iklan tersebut melecehkan profesi guru. Selama ini para guru di sekolah melarang siswa bermain gim, tetapi iklan ini sebaliknya. Muncul petisi agar pihak hago meminta maaf kepada guru atas konten iklan tersebut.

Pihak hago menarik iklan tersebut dan meminta maaf. Masalah selesai. Di luar kontek iklan ini yang bikin heboh, ternyata belum banyak masyarakat yang tahu bahwa keterampilan bermain gim (gamer) bisa menjadi profesi yang menjanjikan. Disebut olahraga elektronik atau eSports.

ESport berbeda dengan bermain gim (gaming). Gaming untuk mengisi waktu luang atau sekedar rekreasi sedangkan eSports adalah bermain gim sebagai profesi. Atlet eSports berlatih kebugaran layaknya atlet pada umumnya. ESports masuk dalam Asian Games 2018 dalam skema eksibisi.

Atlet eSport Indonesia terhimpun dalam IeSPA (Indonesia eSport Association) yang saat ini masih menginduk pada organisasi FORMI (Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia). ESport akan diresmikan sebagai olahraga oleh Olympic Council of Asia pada Asian Games 2022 di Hangzhou, China.

Jumlah pemain gim di Indonesia mencapai 34 juta. Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan Newzoo, pendapatan dari industri gim di Indonesia mencapai Rp 13 Triliun di tahun 2018. Ini menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar ke-16 untuk industri gim di dunia.

Stigma Negatif Keterampilan bermain gim bisa menjadi profesi, tetapi belum direspon positif oleh pemerintah, apalagi oleh sekolah dan kampus. Gim identik dengan stigma negatif: pemalas, menghabiskan waktu, pemborosan, begadang, tidak produktif, tidak bermanfaat, dan tidak kreatif.

Mayoritas orangtua tidak suka anaknya hobi bermain gim, bahkan melarangnya. Gim melalaikan anak dari belajar, bersosialisasi, dan mengurus dirinya sendiri, seperti makan dan mandi secara teratur. Saat main gim, anak bisa berjam-jam di depan komputer sehingga lupa waktu.

Di sekolah tidak ada mata pelajaran atau ekstrakurikuler eSport. Di kampus juga tidak ada program studi atau konsentrasi eSport. Padahal, kurikulum lembaga pendidikan harus berubah seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Butuh berapa lama agar eSport diterima sekolah dan kampus?

Teori kecerdasan jamak Howard Gardner menjelaskan bahwa setiap anak bisa memiliki satu atau lebih kecerdasan yang beragam, seperti matematik, musik, bahasa, visual, naturalis, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, dan spiritual. Artinya, anak yang secara nyata memiliki passion dalam gim harus diarahkan agar kelak menjadi pemain gim profesional.

Bermain gim tidak selamanya negatif. Jika dilakukan dengan passion dan diarahkan untuk menjadi atlet profesional, maka semua pihak harus mendukungnya. Lain halnya jika anak bermain gim tanpa kenal waktu sehingga melupakan belajar, maka orangtua harus menghentikannya.

Kontrol orangtua dan pembinaan guru menjadi penting karena dampak negatif gim sangat nyata dan tidak ringan. Hal ini akan menjadi dilema bagi orangtua, guru, dan pemerintah. Kebiasaan bermain gim dianggap buruk, tetapi jika disalurkan dalam ajang yang tepat akan membuahkan prestasi dan kesuksesan finansial.

Dukungan Pemerintah Seperti atlet olahraga lainnya, atlet eSport membutuhkan latihan yang konsisten dan komitmen yang tinggi. Manajemen waktu menjadi penting: kapan belajar dan kapan berlatih. Dibutuhkan pelatih profesional agar melahirkan atlet eSport profesional kelas lokal dan dunia. Oleh karena itu, dukungan pemerintah menjadi penting, sehingga eSport masuk ke lembaga pendidikan. Pedoman implementasi eSport perlu dibuat dan disosialisasikan ke masyarakat, sekolah, dan kampus. Dengan demikian, stigma negatif gim lambat laun akan hilang.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi (28/1/2019) menginginkan eSport masuk kurikulum sekolah, bahkan sudah menyiapkan dana Rp 50 miliar untuk aneka kompetisi di level sekolah. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pun setuju dengan gagasan ini. Akan tetapi, hal ini belum mendapatkan respon positif dari sekolah. Sekolah tidak menyiapkan program atau semacamnya untuk menyambut gagasan Menpora tersebut.

Telah banyak pemain gim Indonesia yang berhasil di ajang lomba nasional maupun internasional. Otomatis mereka pun berhasil mengumpulkan uang, bahkan dengan jumlah yang sangat pantastis. Selain mendapatkan uang dari juara perlombaan, gamer juga ada yang mendapatkannya dari gaji bulanan, atau sebagai YouTuber.

Anak-anak yang memiliki passion dalam olahraga ini memerlukan dukungan orangtua dan guru. Jika mereka mendapatkan fasilitas yang memadai, maka mereka bisa menjadi atlet eSport profesional. Selanjutnya, mereka bisa mengukir prestasi, mengibarkan bendera merah putih, dan menyanyikan Indonesia Raya di kancah internasional seperti atlet-atlet lainnya.

Meskipun dilematis, kebijakan harus diambil. Sebagian orangtua bahkan guru mungkin protes. Kebijakan eSport bisa jadi menyadarkan generasi muda bagaimana bermain gim yang sehat. Orangtua dan guru memerlukan dukungan dan panduan bagaimana membimbing anak tentang gim.

Tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi muda mengisi pekerjaan-pekerjaan yang tumbuh saat ini bahkan yang akan ada di masa-masa mendatang. eSport adalah satu di antaranya. Jika tidak, maka pendidikan hanya akan melahirkan sarjana dan lulusan yang keterampilannya tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Lembaga pendidikan tidak lebih sebagai pencetak pengangguran.

Kurikulum lamban berubah, sedangkan ilmu pengetahuan maju sangat cepat. Banyak profesi baru muncul sementara struktur kurikulum tidak atau lamban beradaptasi dengan profesi-profesi baru tersebut. Para pendidik dan pemangku pendidikan harus sensitif, adaptif, inovatif, dan kreatif dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada saat yang sama mereka tetap mementingkan penanaman etika dan moral pada generasi milenial.

 Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: PGRI, 14 Juni 2019. (lrf/mf)