Menguatkan Toleransi Beragama: Sebuah Pelajaran dari Uzbekistan

Menguatkan Toleransi Beragama: Sebuah Pelajaran dari Uzbekistan

Oleh Asep Saepudin Jahar dan Kamilov Muzaffar Muratovich

Di tengah tantangan global yang terus berlanjut terhadap kebebasan beragama, Uzbekistan menghadirkan sebuah narasi tandingan. Sejak meraih kemerdekaan, negara ini telah mengembangkan model pemerintahan sekuler yang tidak hanya melindungi kebebasan berkeyakinan, tetapi juga secara aktif mendorong harmoni antarumat beragama di masyarakat yang dihuni oleh beragam komunitas keagamaan.

Pendekatan Uzbekistan mengakui bahwa agama adalah bagian penting dari kehidupan masyarakat, namun tetap menjaga prinsip kenegaraan yang sekuler demi menjamin keadilan dan kesetaraan. Konstitusi negara, bersama dengan undang-undang seperti “Tentang Kebebasan Berkeyakinan dan Organisasi Keagamaan,” menjadi dasar hukum yang kuat. Lebih dari sekadar dokumen, prinsip ini diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana lebih dari 130 kelompok etnis dan 16 denominasi agama hidup berdampingan secara damai.

Uzbekistan sejak lama menyadari bahwa toleransi harus ditanamkan dan dijaga. Reformasi pendidikan menekankan pentingnya memahami tradisi agama dan budaya yang beragam. Warisan spiritual para pemikir besar Muslim seperti Imam Abu Mansur Maturidi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dirayakan. Pada tahun 2025, pemerintah Uzbekistan memperingati ulang tahun ke-1.155 Imam Maturidi dengan merevitalisasi kompleks peninggalannya di Samarkand, sebagai bentuk komitmen dalam menghormati warisan Islam.

Kebebasan berkeyakinan—baik untuk meyakini, mengubah keyakinan, maupun memilih untuk tidak meyakini apa pun—bukan sekadar prinsip hukum. Ia telah menjadi norma budaya yang tertanam dalam identitas nasional. Presiden Shavkat Mirziyoyev kerap mengingatkan publik bahwa toleransi, kemurahan hati, dan saling menghormati merupakan nilai-nilai yang telah menjadi bagian dari pola pikir bangsa Uzbek, diwariskan turun-temurun.

Etos ini kini tertanam dalam strategi pembangunan nasional. Strategi “Uzbekistan Baru 2022–2026” memprioritaskan harmoni antaretnis dan pendidikan generasi muda. Di tengah maraknya pengaruh negatif terhadap kaum muda di berbagai belahan dunia, Uzbekistan berinvestasi pada ketahanan mereka dengan menanamkan nilai-nilai patriotisme, tanggung jawab sipil, dan rasa hormat terhadap semua agama.

Visi ini pun melampaui batas-batas nasional. Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2023, Presiden Mirziyoyev mengusulkan pembentukan Pusat Internasional untuk Dialog dan Toleransi Antarumat Beragama di Uzbekistan di bawah naungan UNESCO. Tujuannya adalah menyebarluaskan pengalaman Uzbekistan ke panggung global sebagai cetak biru hidup berdampingan secara damai di tengah meningkatnya ketegangan agama di dunia.

Upaya Uzbekistan juga mendapat pengakuan dari dalam negeri. Pada 2023, pemerintah memperkenalkan Lencana “Toleransi Beragama” untuk mengapresiasi individu yang berkontribusi pada perdamaian antarumat beragama. Kemudian, pada awal 2025, parlemen Uzbekistan (Oliy Majlis) mengadopsi Konsep Kebijakan Negara tentang Penjaminan Kebebasan Berkeyakinan dan Urusan Keagamaan, yang membentuk kerangka hukum dan kelembagaan untuk menjamin hak beragama serta mengatur hubungan negara-agama berdasarkan prinsip sekularisme, toleransi, dan harmoni antarumat beragama.

Apa yang dulu tampak sebagai cita-cita ideal kini menjadi kenyataan yang nyata di Uzbekistan. Dari reformasi pendidikan dan pelestarian budaya, hingga kebijakan luar negeri dan legislasi, negara ini membuktikan bahwa kebebasan beragama dan pemerintahan sekuler tidak hanya bisa berjalan berdampingan, tetapi juga dapat tumbuh bersama secara harmonis. Dalam dunia yang terpecah-belah, hal ini menjadi pelajaran penting.

Dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan global mencoba memprovokasi konflik antaragama, menyulut kebencian, dan mengganggu stabilitas masyarakat. Dalam konteks ini, mempromosikan harmoni dan kerja sama antarumat beragama menjadi semakin krusial. Uzbekistan menjawab tantangan ini dengan berpegang pada prinsip-prinsip utama: menegakkan jaminan hukum dan konstitusional, membangun budaya toleransi beragama, menjamin kebebasan organisasi dan tempat ibadah, serta mencegah penyalahgunaan agama untuk tujuan destruktif.

Sejak 2017, lebih dari 100 masjid baru telah dibangun di seluruh negeri, bersamaan dengan pendirian 23 organisasi keagamaan non-Islam. Saat ini, sebanyak 2.372 organisasi keagamaan beroperasi dengan bebas, mewakili Muslim, Kristen, Yahudi, Buddha, Baha’i, dan lainnya. Pengakuan yang luas ini mencerminkan komitmen terhadap pluralisme dan hidup berdampingan secara damai.

Yang juga penting adalah penekanan Uzbekistan terhadap pencegahan penyalahgunaan agama untuk tujuan merusak. Pemerintah mendukung pembentukan lembaga-lembaga terkemuka seperti Pusat Peradaban Islam dan Pusat Riset Internasional Imam Maturidi. Lembaga-lembaga ini mendorong pemahaman atas nilai-nilai spiritual dan pendidikan dari agama, sekaligus menolak tafsir radikal serta menanamkan tanggung jawab kewarganegaraan.

Dewan Antaragama (Inter-Confessional Council) yang berada di bawah Komite Urusan Keagamaan, turut mengoordinasikan berbagai upaya ini. Didirikan pada 2004 dan diperluas pada 2018 serta 2025, dewan ini kini mencakup perwakilan dari semua kelompok agama besar dan lembaga negara. Perannya bersifat konsultatif sekaligus praktis: memfasilitasi dialog, menyelesaikan masalah, dan menjaga harmoni antar komunitas keagamaan.

Pendidikan juga memainkan peran sentral dalam memperkuat toleransi. Di Akademi Islam Internasional Uzbekistan, diselenggarakan “kelas biner” yang melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai agama. Para mahasiswa diajak mengunjungi gereja, kuil, dan pusat komunitas agama Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Program ini membantu generasi muda memahami kekayaan keberagaman agama dan menangkal prasangka serta ekstremisme.

Namun, jalan yang ditempuh Uzbekistan tidak selalu mulus. Ruang informasi terbuka dan tren migrasi telah mempersulit pengendalian penyebaran paham radikal. Tafsir keliru terhadap agama, yang terkadang dijadikan pembenaran untuk menolak kewajiban sipil atau meremehkan hak-hak perempuan, juga mengancam kohesi sosial.

Untuk menghadapinya, Uzbekistan mengadopsi pendekatan proaktif. Pemerintah mendukung pendidikan dalam tujuh bahasa dan menyiarkan program dalam 12 bahasa guna menjamin inklusi lintas etnis dan agama. Di saat yang sama, Uzbekistan tetap tegas dalam mempertahankan sekularisme sambil mendorong penghormatan antarumat beragama. Dalam praktiknya, ini berarti agama dipisahkan dari urusan kenegaraan, tetapi semua keyakinan tetap diperlakukan dengan hormat dan adil.

Pengalaman Uzbekistan menunjukkan bahwa toleransi beragama membutuhkan keterlibatan aktif, dan bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi pluralisme dapat dibangun serta dilindungi.

Saat Uzbekistan terus memperkuat komitmennya terhadap toleransi dan harmoni antarumat beragama, negara ini berpotensi menjalin kemitraan yang bernilai bersama Indonesia. Sebagai dua negara mayoritas Muslim dengan warisan budaya yang kaya dan keragaman agama yang tinggi, Uzbekistan dan Indonesia menghadapi tantangan serupa, namun juga berbagi nilai-nilai dan fondasi yang sama dalam mendukung toleransi dan pluralisme.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mendorong harmoni antaragama, dan UUD 1945 menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga. Kementerian Agama memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog lintas iman, mengawasi pendidikan agama, dan mempromosikan toleransi, sementara masyarakat sipil berperan aktif dalam menjaga komunikasi dan dialog antarumat beragama.

Bertolak dari nilai-nilai yang sejalan dan pengalaman yang saling melengkapi, Uzbekistan dan Indonesia dapat bersama-sama mempromosikan model harmoni beragama di panggung global.

---

Asep Saepudin Jahar adalah Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kamilov Muzaffar Muratovich adalah Rektor Akademi Islam Internasional Uzbekistan.