Mengelola Surplus SDM Indonesia dari Pesantren

Mengelola Surplus SDM Indonesia dari Pesantren

Oleh Ahmad Tholabi Kharlie

Pesantren merupakan model pendidikan khas berbasis keislaman yang dimiliki Muslim Indonesia. Entitas pendidikan ini lahir dan tumbuh seiring penyebaran Islam di Nusantara. Eksistensi pesantren, dan sebutan lainnya, dalam kenyataannya telah membersamai penguatan sumber daya manusia (SDM), khususnya bagi masyarakat Muslim di Indonesia.

Dalam kurun tiga tahun terakhir, eksistensi pesantren mengalami kemajuan yang cukup pesat. Khususnya terkait dengan rekognisi negara terhadap pesantren yang diwujudkan melalui legal policy, baik dalam bentuk regeling, beschikking, maupun politik anggaran.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren serta pelbagai aturan turunannya mengonfirmasi tentang wajah baru pesantren. Keterlibatan negara dalam pemajuan pesantren menjadi milestone perkembangan pesantren di Indonesia. Dukungan dan fasilitasi negara secara determinan akan memberi dampak yang cukup signifikan bagi pengembangan pesantren di Indonesia.

Apalagi, jika melihat perkembangan santri yang tumbuh dan berkembang di pesantren, dalam tiga dekade terakhir ini mengalami perkembangan signifikan.  Penguatan kapasitas para santri ini ditandai dengan fase masuknya para santri di sejumlah perguruan tinggi, baik perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) maupun perguruan tinggi umum (PTU), termasuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, baik di Timur Tengah, Eropa, Afrika, termasuk Amerika.

Fenomena ini secara konkret memberi dampak yang cukup penting, khususnya dalam peningkatan SDM Indonesia dari kalangan santri. Latar belakang sebagai santri akan melahirkan SDM profesional plus—profesional di bidang masing-masing dengan pemahaman keagamaan yang mumpuni—yang telah, sedang, dan akan lahir dari rahim pesantren.

Kelahiran banyak sarjana (scholar) yang berlatarbelakang santri ini menandai fase musim semi intelektual. Keberadaan sarjana santri ini semestinya dapat dikelola dengan baik. Pengelolaan tersebut dengan cara melakukan pemetaan (mapping), pendistribusian (distribution), termasuk penguatan (empowering) di ruang publik, baik negara maupun partikelir.

Upaya tersebut semata-mata sebagai ikhtiar menyambungkan spirit mata rantai (sanad) para masyayikh dan ulama Nusantara yang menjadi bagian dari pendiri bangsa (the founding fathers). Pengabdian ulama Indonesia secara nyata memiliki peran signifikan, baik saat pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, hingga kini. Untuk itu, tugas para santri saat ini adalah melanjutkan spirit para ulama pendahulu kita.

SDM profesional plus

Gelombang melimpah-ruahnya sarjana berlatarbelakang santri dalam dua dekade terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan lahirnya profesional di luar bidang keagamaan, yang di awal 80-an atau 90-an relatif sulit untuk dijumpai. Saat ini cukup mudah menemukannya.

Ragam profesi yang sebelumnya tidak pernah terlintas dari kalangan santri, kini bisa dengan mudah ditemukan, seperti profesi dokter, insinyur, bahkan profesi yang belakangan digandrungi anak muda, yakni konten kreator berbasis digital. Uniknya, mereka merupakan para penghafal Alquran (huffazh) dan fasih membaca teks arab tanpa penanda (kitab kuning).

Lahirnya profesi di luar bidang keagamaan yang muncul dalam dua dekade terakhir tentu tidak terlepas dari kebijakan negara dalam memfasilitasi beasiswa pendidikan bagi warga negara, tak terkecuali dari kalangan santri. Termasuk program beasiswa dokter santri dan 5000 doktor dari Kementerian Agama menjadi bagian dari upaya nyata melahirkan sarjana profesional di bidangnya masing-masing.

Pilihan profesi yang semakin beragam ini kian menjadikan profil santri Indonesia cukup berwarna. Maka, tak berlebihan bila posisi santri cukup menentukan di momen penting seperti saat memasuki bonus demografi pada tahun 2030, termasuk saat Indonesia Emas tahun 2045.

Sejatinya ada nilai pembeda profesionalitas santri dengan di luar santri. Di atas kertas, aktivitas profesional dari kalangan santri sejatinya tidak terlepas dari spirit moralitas dan pemahaman keagamaan yang tidak dangkal. Di titik ini, profesional yang berlatarbelakang santri semestinya menjadi role model dalam urusan integritas dan moralitas di pelbagai profesi, bukan sebaliknya.

Tidak sekadar itu, profesional santri tentu tidak bersikap egois atau individualis yang hanya mementingkan diri sendiri. Santri yang lahir dari rahim pesantren memiliki keterpautan jasmani dan rohani dengan umat. Persinggungan santri dengan kiai dan umat menjadi pembeda dengan profesional lainnya.

Kehidupan yang bersahaja, sederhana, dan disiplin di lingkungan pesantren menjadi modal penting untuk menautkan rasa, batin, dan sikap dari profesional berlatarbelakang santri dengan umat.  Di sinilah letak nilai plusnya.

Membumikan santri

Setiap jaman memiliki tantangan yang berbeda-beda. Begitu pula saat ini, tantangan generasi kini tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun setiap generasi memiliki sisi persamaan, yakni spirit untuk senantiasa berkhidmat kepada umat (khidmat al-ummah).

Dalam konteks tersebut, identifikasi tantangan generasi saat ini penting dilakukan agar apa yang dilakukan santri sesuai dengan apa yang dirasakan oleh umat (masyarakat). Santri dan umat, memiliki kesamaan nilai (value), rasa (taste), pandangan (view), dan orientasi (orientation), baik dalam urusan keagamaan, kemasyarakatan, serta kebangsaan.

Sejumlah persoalan di tengah masyarakat yang belakangan mendesak untuk segera ditangani idealnya sarjana santri turut bersama-sama menjadi bagian dari solusi atas persoalan keumatan dalam bidang ekonomi, pendidikan, lapangan pekerjaan, serta lingkungan. SDM profesional dari kalangan santri yang jumlahnya berlimpah itu harus turut mengambil peran dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut.

Langkah ini, dengan demikian, dimaksudkan untuk mendekatkan santri dengan umat. Para sarjana yang berlatarbelakang santri harus kembali berkhidmat kepada umat. Ilmu pengetahuan yang dimiliki para santri di masing-masing bidang tidak lantas menjadikan santri berjarak dengan umat, apalagi menjadi kelompok elite yang berdiri di menara gading. Santri harus kembali bersama dan mewarnai umat.

Akselerasi kontribusi santri dalam penyelesaian masalah kemasyarakatan dan keumatan dapat masuk dari pelbagai pintu yang tersedia. Seperti melalui mekanisme politik kenegaraan di ruang publik, baik legislatif maupun eksekutif.

Para santri yang mendapat kesempatan berkontribusi di ruang publik tersebut haruslah menjadi pelopor lahirnya kebijakan publik (public policy) yang pro umat. Ragam persoalan yang disebut di atas, semestinya akan lebih cepat diatasi melalui kebijakan publik yang solutif.

Mandat sosial (social mandatory) yang diemban para santri tentu berbeda dengan kalangan lainnya di luar santri. Setidaknya, selain mengemban misi sosial, di saat yang bersamaan memiliki misi rohani sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Moralitas perjuangan dan pengabdian menjadi pembeda dengan kalangan lainnya di luar santri. Konsekuensinya, pejabat publik dari kalangan santri harus berperilaku salih secara spiritual dan salih secara sosial.

Pintu kontribusi lainnya yang dapat dilakukan kalangan santri melalui upaya di luar kenegaraan (non-goverment). Penguatan umat melalui jalur ekonomi juga tak kalah penting. Lahirnya entreprenuer dari kalangan santri telah memberi kontribusi nyata dalam hal pembukaan lapangan pekerjaan. Meski harus diakui tak mudah melahirkan pengusaha dari kalangan santri. Persoalan permodalan kerap menjadi masalah krusial.

Sejalan dengan hal tersebut, ketersediaan regulasi mengenai pesantren akan menjadikan titik pijak untuk melahirkan santri unggulan. Kebijakan afirmatif dari negara terhadap pesantren menjadi kesempatan baik untuk penguatan kapasitas santri. Tidak hanya di bidang keagamaan namun peningkatan soft skill, seperti melalui keberadaan balai latihan kerja (BLK) di sejumlah pesantren di Indonesia harus dimaksimalkan dan diberdayakan lebih optimal.

Setidaknya, pelbagai upaya tersebut diharapkan menjadi mekanisme efektif untuk mendekatkan santri kepada umat. Santri yang berada di ruang publik, baik di lingkungan negara maupun swasta, dapat lebih mengoptimalkan potensi dan jejaring untuk menjadi bagian dari solusi masalah keumatan dan kebangsaan. Utama dari itu, keberadaan santri juga tak menjadi beban masyarakat dan negara. Santri harus menjadi bagian dari solusi untuk setiap masalah bangsa. (ns)

Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia, Alumnus Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat, Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (PP LPTNU), Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 21 Oktober 2021.