MENGALAH

MENGALAH

Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengalah bukan berarti kalah. Mengalah adalah strategi berdakwah. Allah SWT mengajarkan, “Maka dengan rahmat Allah kamu berlaku lembut kepada mereka. Bila kamu berlaku kasar dan berhati keras, maka pastilah mereka akan menghindar dari sisimu, maka maafkan mereka” (QS. Ali Imran/3: 159). Maksudnya, maafkanlah pelanggaran yang mereka lakukan.

Pahala mengalah itu sendiri adalah surga. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengalah dalam satu pertengkaran dan memang ia salah, maka akan dibangunkan untuknya sebuah rumah pada bagian bawah surga. Barangsiapa yang mengalah padahal dia benar, maka akan dibangunkan untuknya sebuah rumah pada bagian tengah surga”.

Ternyata mengalah bukan ketika salah saja, tapi juga benar. Karena persoalannya bukan pada salah atau benar, namun mengalah itu menunjukkan ketinggian akhlak. Nabi SAW melanjutkan, “Barangsiapa memperbaiki akhlaknya, maka akan dibangunkan untuknya sebuah rumah pada tempat tertinggi di surga” (HR. Ibnu Majah).

Jadi akhlak adalah kunci untuk meraih surga pada tempat tertinggi. Kendati bisa dipelajari dan dibiasakan, namun akhlak tidak bisa dibuat-buat. Menurut Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq, akhlak adalah respons spontan. Artinya, akhlak adalah perilaku jiwa yang mendorong raga untuk melakukan kebaikan tanpa melibatkan pikiran terlebih dahulu.

Inilah wajah agama yang hanif. Ia dipenuhi nasihat, baik dalam perkataan, perbuatan, termasuk dalam diam. Berkali-kali Nabi SAW mewanti-wanti, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat” (HR. Muslim). Mengalah dalam sebuah debat kusir adalah nasihat untuk mematikan potensi konflik dan api permusuhan.

Dalam Adab al-Syafi’i wa Manaqibuhu, Imam Abdurrahman al-Razi mengutip pernyataan Imam Syafi’i, “Aku mendebat seseorang untuk memberi nasihat”. Pernyataan ini adalah refleksi, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. al-Nahl/16:125). Secara sosio-historis, Imam Syafi’i memang diketahui sering mengalah dalam perdebatan. Hal itu tergambar dari pernyataannya, seperti dikutip Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah, “Setiap kali berdebat dengan orang alim aku menang. Namun berbeda halnya kalau berdebat dengan orang bodoh, aku malah kalah”.

Terkait pahala mengalah yang berhadiah surga itu tidak hanya perdebatan seperti yang diuraikan di atas, tapi juga dalam kehidupan berumah tangga. Perbedaan pendapat yang tipis kerap jadi meruncing antara suami dan isteri apabila tidak ada yang mau mengalah. Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian yang termasuk ahli surga?”

Inilah jawaban Nabi SAW, “Mereka yang besar kasih sayangnya, subur (banyak anak), mudah minta maaf kepada suaminya, yang apabila bersalah atau disakiti dia segera mendatangi suaminya dan memegang tangannya seraya berkata, ‘Demi Allah aku tidak akan memejamkan mata hingga kamu ridha (memaafkan aku)” (HR. Nasa’i).

Di pihak lain, sang suami juga harus bersedia mengalah. Allah SWT memberi nasihat, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. al-Nisa/4: 19).

Apalagi tugas suami adalah memelihara anak dan isterinya dari api neraka sebagaimana firman Allah SWT, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. al-Tahrim/66: 6). Dan yang pasti keduanya saling membutuhkan, “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (QS. al-Baqarah/2: 187). (sam/mf)