Menengok Kondisi Pendidikan di Brunei Darussalam

Menengok Kondisi Pendidikan di Brunei Darussalam

[caption id="attachment_204983" align="alignright" width="300"] Delegasi UIN Jakarta bersama pimpinan Kolej Universiti Perguruan Ugama Seribegawan Brunei Darussalam, Senin (16/10/2017) saat melakukan lawatan inisiasi kerja sama akademik.[/caption]

Brunei Darussalam, BERITA UIN Online-- Indonesia, Malaysia, Thailand, Filiphina, dan Brunei Darussalam (BD) adalah negara Asia Tenggara yang memiliki keunggulan tradisi dan kekhasan dalam bidang pendidikan.

Kemajuan pendidikan sebuah negara akan sangat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam berinteraksi. Cara pandang tersebut bisa jadi karena kenyamanan hidupnya.

Demikian catatan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Dr Fauzan yang menjadi salah satu anggota delegasi lawatan inisiasi kerja sama bersama Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada, Wakil Rektor Bidang Kerjasama Prof Dr Murodi, Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan Wahdi Sayuti MA, dan Direktur Madrasah Pembangunan Dr Bahrissalim ke Brunei Darussalam melalui akun medsosnya, Kamis (19/10/2017).

“Bagaimana tidak, jika di negara kita masih berbincang tentang dana BOS, SPP, dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan beragam reaksi, di BD sudah fokus pada penyelenggaraan pendidikan yg berkualitas, semua pembiayaan pembelajaran (siswa/mahasiswa dan guru/dosen) sudah menjadi tanggung jawab pemerintah (kerajaan),” ujarnya di sela-sela waktu rehatnya di Masjid Omar Ali Saifuddin BD sambil menambahkan, “Semua pelajar/mahasiswa, diberi tanggungan hidup (allowance) yg besar, tugas pelajar hanya belajar dan belajar."

Fauzan melihat BD sangat serius dalam memperhatikan kesejahteraan para guru dan dosen dengan memberikan apresiasi yang luar biasa kepada mereka.

“Sangat luar biasa, berbeda sekali jika dibandingkan dengan di negeri kita, bisa menimbulkan kecemburuan sosial,” ujar Fauzan berkelakar.

Walaupun demikian, lanjutnya, bicara tentang standar pendidikan dan aturan tentang kompetensi guru, Indonesia tidak kalah hebat dan idealitas aturannya sangat baik jika diterapkan untuk selanjutnya bisa diseimbangkan dengan apresiasi yang diberikan.

Menurut analisis Fauzan, jika BD bisa melakukan hal tersebut, kemudian mengapa Indonesia masih terus berproses, menurutunya ada tiga asumsi yang bisa dikedepankan.

Pertama, BD hanya berpenduduk 400 ribu orang, sementara kekayaan (terutama minyak) cukup melimpah, sangat rasional.

Kedua, lanjutnya, komitmen dan political will pemerintah luar biasa tinggi, terutama pada soal pendidikan agama atau diniyah. Di semua jenjang pendidikan wajib menerapkan agama sebagai basis pembelajaran. Keberadaannya harus menjadi ruh dari semua pelaksanaan pendidikan, dan porsi kurikulum yang sedikit agak berbeda dengan sistem di Indoneisa.

Terakhir, BD terus mempertahankan tradisi Melayu Islam (jika istilah pribumi-non pribumi tidak diperbolehkan) di setiap sudut aktifitas masyarakat, terlebih pada bidang pendidikan.

“Jargon Melayu Islam Beraja melekat kuat dalam pengembangan Model Kurikulum SPN 21, selain literasi, keusahawanan, dan tiga domain/ranah yang selalu ada dalam pendidikan,” tegas doktor ilmu pendidikan jebolan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2015 ini.

Kondisi demikian, menurut Fauzan, jelas telah berimplikasi pada tata nilai atau kesantunan perilaku keseharian yang cukup positif. (mf)