Mencari Kesamaan, Solusi Konflik Indonesia Malaysia

Mencari Kesamaan, Solusi Konflik Indonesia Malaysia


Reporter: Hamzah Farihin

Auditorium NICT, BERITA UIN Online - Hubungan Indonesia-Malaysia sering dipahami dan dilihat secara emosional. Beberapa peristiwa seperti perlakuan terhadap para pekerja Indonesia, klaim Malaysia terhadap produk budaya dan karya Indonesia, berhasilnya Malaysia memenangkan kedaulatan terhadap pulau-pulau yang berbatasan dengan Malaysia yang telah memicu protes serius di Indonesia, cara terbaik solusi menyelesaikan konflik ini harus duduk bersama guna mencari kesamaan.

“Kita ketahui negara serumpun ini memiliki kesamaan, Indonesia dikatakan sebagai negara mayoritas Islam. Begitu juga Malaysia, budaya dan bahasanya. Bahkan al-Qur’an menjelaskan, jika ada suatu kaum bermasalah coba selesaikan dengan berunding dan duduk untuk dimusyawarahkan, apalagi ini negara serumpun,” ucap ahli Hukum International Prof Dr Hasyim Djalal, ketika menjadi pembicara dalam seminar International yang bertajuk "The Future Of Indonesia-Malaysia Relations and Asean” yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta bekerjasama dengan The Sasakawa Peace Foundation (SPF) dan Foreign Policy Study Group (FPSG) yang digelar di Auditorium NICT Kamis (13/10).

Menurutnya, sumber konflik Malaysia-Indonesia memang berkaitan dengan perebutan sumber-sumber ekonomi seperti di Sipadan-Ligitan, Ambalat, masalah lintas batas, perdagangan gelap, illegal logging, migrant dan human trafficking. Demikian juga dilaporkan sering terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia baik perbatasan udara, laut dan darat yang kemudian akan menimbulkan protes dari pihak Indonesia.

Dari berbagai protes itu, lanjut dia, kesan umum yang berkembang di Indonesia bahwa Malaysia adalah negara yang semakin arogan, menginjak wibawa Indonesia dan tidak pandai balas budi. Di media bahkan disarankan bahwa untuk mendapatkan kembali respek Malaysia terhadap Indonesia, seharusnya Indonesia tidak segan-segan melakukan konfrontasi seperti zaman Soekarno ataupun meningkatkan kemampuan tempur. Tidak sedikit yang menyarankan bahwa sudah saatnya Malaysia diberi pelajaran dari kesemena-menaan kebijakan mereka.

“Masalah-masalah ini jelas sangat penting untuk diselesaikan dan dicari jalan keluarnya. Namun sejauh ini penyelesaian berbagai masalah ini sering terhambat pada soal teknis pelaksanaan yang sulit dan kurangnya kemauan politik di kedua negara untuk sungguh-sungguh dalam menyelesaikan sengketa,” kilahnya.

Selain itu sambung dia, penyelesaian yang dilakukan dalam keadaan demikian seringkali bersifat reaktif dan sporadik tanpa menyelesaikan akar permasalahan sebenarnya. Ketika pemimpin Malaysia misalnya minta maaf sebagaimana dituntut oleh Indonesia atas beberapa masalah yang terjadi, hubungan kedua negara seperti normal kembali.

“Namun suatu saat beberapa masalah dengan sumber yang sama seperti penganiayaan terhadap TKI akan muncul kembali dan menimbulkan emosi dan reaksi yang berlebihan,” katanya.

Salah satu pendekatan yang dapat melengkapi berbagai kajian ini, dalam studi hubungan internasional adalah pendekatan konstruktivis. Konkretnya kedua negara telah mengalami konstruksi identitas yang berbeda satu dengan yang lainnya yang berlangsung terus menerus hingga sekarang.

“Pemahaman tentang shared atau collective identity antara kedua negara sudah semakin senjang bersamaan dengan berjalannya waktu, dan dalam hal ini pemahaman Malaysia berbeda dengan priode sebelum ini, dimana konsep serumpun misalnya dipahami sebagai salah satu bagian ‘collective identity untuk menyelesaikan konflik kedua Negara ini,” kilahnya.

Hadir dalam kesempatan ini, Direktur Pemberitaan Antara Saiful Hadi. Ia mengklaim konflik Indonesia-Malaysia terus memanas karena pengaruh  media yang terlalu berlebihan, seolah-olah mengajak perang, hingga diberitakan perbandingan jumlah tentara dan peralatan persenjataan antara kedua negara ini.

“Konflik Indonesia-Malaysia memanas pengaruh media sangat besar, sehingga masyarakat terprovokasi, terutama media non-muslim dan media industri yang dimiliki konglomerat yang berharap menjatuhkan presiden turun jabatan, karena tak bisa menyelesaikan konflik,” ujarnya.

Menurutnya, menyelesaikan konflik kedua negara serumpun ini dengan kesamaan merupakan juga cara terbaik. “Seperti yang kami lakukan selama ini, telah membawa 20 organisasi masa Islam ke Malaysia untuk mengikis kebuntuan komunikasi politik, begitu juga Malaysia yang telah membawa 25 organisasi kepemudaan ke Jakarta beberapa waktu yang lalu,” katanya.

Namun, menurut mantan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Prof Dr BA Hamzah, ia mengklaim konflik Indonesia Malaysia dipengaruhi Barat.

“Kedua negara ini tak bisa dipisahkan, karena banyak kesamaan, satu rumpun, konflik ini sebenarnya, bisa kita selesaikan secara baik-baik, tapi kita dikudai oleh orang-orang Barat,” kilahnya.