Menag Ajak Sivitas Akademika Kontekstualisasikan Ajaran Agama

Menag Ajak Sivitas Akademika Kontekstualisasikan Ajaran Agama

Auditorium, BERITA UIN Online – Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin mengajak kepada semua sivitas akademika UIN Jakarta agar mengontekstualisasikan ajaran agama sesuai dinamika zaman. Sebab, pemahaman agama yang cenderung hanya tekstual dapat mendorong munculnya ekstremitas. Untuk itu diperlukan adanya sosialisasi moderasi beragama yang terus menerus di kalangan umat Islam.

“Moderasi beragama adalah cara kita memahami ajaran Islam dengan benar. Karena itu kita harus mengontekstualisasikan ajaran tersebut agar tidak terjebak pada pemahaman yang berlebihan dan mendorong ke bentuk ekstremitas,” katanya saat berceramah Halal bihalal bersama keluarga besar UIN Jakarta di Auditorium Harun Nasution, Selasa 911/6/2019).

Halal bihalal dihadiri Rektor UIN Jakarta Amany Lubis, para wakil rektor, serta para guru besar. Tampak pula Rektor UIN Jakarta periode 1998-2006 Azyumardi Azra dan Rektor UIN Jakarta periode 2006-2015 Komaruddin Hidayat.

Menag mengatakan, tantangan perguruan tinggi Islam seperti UIN Jakarta ke depan adalah bagaimana mengontekstualisasikan ajaran tersebut dengan cara, misalnya, menyosialisasikan ajaran Islam agar selalu relevan dan memiliki urgensi sesuai dinamika zaman.

Untuk mengawali hal itu, Menag berharap perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), khususnya UIN Jakarta, agar memiliki pusat kajian moderasi Islam (washtiyatul Islam). Sebab, kata Menag, umat Islam saat ini sedang menghadapi dua kutub ekstrem dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Dua kutub ekstrem itu misalnya ada yang bertumpa kepada teks, yakni konservatisme dalam memahami ajaran agama. Hal itu wajar karena sumber rujukan, baik dari kitab suci al-Qur’an maupun Hadis, adalah berupa teks. Termasuk dalam hal ini adalah pandangan para ulama terdahulu.

“Nah, dalam memahami ajaran agama tersebut, kita terkadang lebih mendewakan teks dan mengabaikan konteks. Teks hanya dipahami dalam bentuk teks itu sendiri tanpa melihat konteks. Pemahaman seperti inilah yang sering menjadi problem,” katanya.

Sebaliknya, kata Menag, ada juga kutub ekstrem lain, yakni lebih bertumpu pada akal dan nalar. Dengan akal dan nalar tersebut mereka bebas menerjemahkan teks sehingga terkadang tercerabut dari teks itu sendiri.

Menag mengatakan PTKIN perlu menjaga moderasi beragama agar ada keseimbangan di antara dua kutub ekstrem tersebut. “Saya melihat PTKIN seperti UIN Jakarta memiliki tiga akar yang kuat dalam upaya menjaga moderasi beragama ini,” katanya.

Pertama, PTKIN memiliki sumber daya manusia yang mampuni dan kompeten dengan banyaknya guru besar maupun doktor yang memilikli otoritas dan legalitas untuk berbicara soal keilmuan. Kedua, PTKIN memiliki tradisi keilmuan yang mengakar pada keilmuan klasik yang terjaga “sanad”nya, yakni adanya ketersambungan keilmuan. Dalam hal ini, transfer  keilmuan dan pengetahuan yang dikembangkan setidaknya dapat dipertanggungajawabkan secara ilmiah karena dilakukan melalui proses akademik, misalnya seorang guru yang mengijazahkan ilmunya kepada murid dan seterusnya.

Ketiga, tradisi memahami keislaman Indonesia. Tradisi tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun dan diwarisi oleh para ilmuwan, seperti tentang nilai-nilai keislaman yang terintegrasi dengan kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu umat Islam Indonesia menjadi lebih arif dalam memandang persoalan-persoalan kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai keislaman.

“Jadi, ketiga kekuatan inilah yang harus dijaga dan dikembangkan. Kehidupan umat Islam dikawal oleh PTKIN, sehingga PTKIN ikut berkontribusi dalam menjaga peradaban dunia,” tandas Menag. (ns)