Memuliakan Hak Prerogatif Presiden

Memuliakan Hak Prerogatif Presiden

TOPIK perbincangan panas seusai perhelatan Pemilu Presiden 2019 merupakan soal pembentukan kabinet Jokowi-Amin. Banyak rumor beredar di ragam media sosial, baik tekanan eksplisit maupun implisit, kepentingan dari berbagai pihak yang meminta Jokowi memilih orang yang menjadi representasi kelompoknya.

Padahal, semua tahu bahwa memilih menteri ialah hak prerogatif presiden. Di posisi itulah, seharusnya semua pihak memuliakan hak yang melekat pada presiden terpilih. Berikan kesempatan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi agar dengan tenang dan cermat menentukan siapa saja yang akan membantunya menjalankan kabinet lima tahun ke depan.

Jebakan demokrasi kolusif 

Memilih calon menteri dan menata komposisi kerap melahirkan dilema untuk apa pun yang akan diambil presiden di tengah relasi kuasanya dengan ragam kekuatan politik, terutama dengan partai yang punya kekuatan nyata di DPR.

Beberapa pihak gencar mendorong agar Jokowi merangkul kekuatan baru di luar mitra koalisi yang ada saat ini. Argumentasi yang kerap dimunculkan ialah diksi rekonsiliasi. Meskipun kata rekonsiliasi dengan penekanan makna pada skema bagi-bagi kursi ini, sesungguhnya mendistorsi keluhuran rekonsiliasi itu sendiri.

Salah satu makna rekonsiliasi dalam KBBI adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi selalu membutuhkan syarat utama, yakni saling menghormati (respect), niat baik (good will), dan pemahaman bersama (mutual understanding).

Rekonsiliasi bukan soal bagi-bagi kekuasaan (power sharing) di tingkat elite, melainkan lebih pada upaya menjaga suasana lebih komunikatif satu sama lain, saling menghormati tahapan proses yang sudah dilalui berlandaskan aturan, serta menjaga suasana kebersamaan, terutama untuk memulihkan hubungan di masyarakat.

Cara instan memulihkan hubungan dengan memindah gerbong partai-partai yang awalnya berbeda kongsi menjadi bagian dari penyokong pemerintah, justru berpotensi menambah dalam kekecewaan di lapis akar rumput masing-masing. Rekonsiliasi pun akan terkesan menjadi sangat elitis.

Bisa saja muncul asumsi soal ketergantungan kuat Jokowi pada partai-partai yang sejak awal mengusungnya di pilpres. Kekuatan mitra koalisi Jokowi saat ini di DPR berkisar di angka 62%. Jika tak solid, sangat mungkin ada satu atau dua partai mitra koalisi ‘balik badan’. Situasi ini, tentu bisa melahirkan kerentanan pola hubungan, terutama soal dukungan minimal lebih dari 50% suara di DPR.

Meski demikian, lebih rentan lagi jika Jokowi merangkul semua kekuatan untuk masuk dan berpotensi menyebabkan ‘obesitas’ kekuasaan. Penambahan mitra baru di kabinet belum tentu cocok, bahkan bisa saja menimbulkan suasana tak harmonis di antara mitra koalisi yang memang sedari awal sudah mengusung dan mendukung Jokowi-Amin.

Perhatian utama Jokowi lebih baik jika difokuskan pada pemantapan pola hubungan dengan kekuatan mitra yang sudah ada, dengan menyiapkan kabinet yang benar-benar siap bekerja lima tahun ke depan. Selain itu, memberi kesempatan kepada beberapa partai kompetitor di pilpres untuk konsisten dengan sikap dan posisi politiknya sebagai kekuatan pengontrol di luar pemerintahan.

Hal itu sangat diperlukan dalam pematangan demokrasi Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Publik perlu memiliki saluran artikulasi kepentingan. Kritik dan ketidakpuasan mereka di luar suara pemerintah, bisa disalurkan melalui kanal-kanal kekuatan yang bisa meresonansikan suara mereka secara lebih baik, misalnya, melalui partai pengontrol dengan kekuatan mereka di DPR.

Dilema harus diatasi presiden dengan memantapkan ulang tekad kuat untuk membangun pemerintahan kuat dan prorakyat. Bukan semata-mata membuat semua orang happy! Jokowi bisa tampil menjadi pemimpin pengambil risiko (risk taker leader) dengan mendahulukan kepentingan rakyat. Indikasi awalnya, tentu saja dengan membentuk kabinet kuat yang siap bekerja cepat dan tepat.

Jika mau meninggalkan legacy yang baik, Jokowi tidak perlu terjebak pada skema koalisi besar yang berlebihan untuk menggaransi kekuasaannya. Merangkul semua pihak boleh-boleh saja, tetapi juga perlu dipikirkan dampaknya pada efektivitas dan soliditas pemerintahan.

Fungsi checks and balances sangat diperlukan agar pemerintah juga ada yang mengontrol sehingga tidak terlena jika gagal memenuhi harapan-harapan rakyatnya.

Kekuatan di luar pemerintahan bisa berperan dengan mulia. Peran ini sangat perlu diperkuat dan dilembagakan secara konsisten, terutama oleh para pihak yang sedari awal memang mengusung pasangan berbeda. Realitasnya memang sulit karena pola koalisi di Indonesia kerap berjalan dua tahap.

Koalisi pertama, saat kandidasi dan kompetisi. Tahap kedua, saat pembentukan pemerintahan. Fenomena ini, terus terjadi sehingga koalisi kerap berjalan penuh basa-basi. Pola hubungan bersifat asimetris, tidak terlalu jelas mana lawan dan kawan seperjalanan. Akibatnya, persentase dukungan tak lebih dari angka matematis di atas kertas yang sulit diharapkan mewujud solid sepanjang periode kekuasaan.

Jokowi harus keluar dari jebakan model demokrasi kolusif (collusive democracy). Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporan yang berjudul SBY's Feet of Clay mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation telah mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.

Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'koopsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif tampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiada parpol oposisi yang efektif di parlemen dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi politik yang ada.

Hubungan promiscuous ini memiliki residu, yakni aliansi politik yang tidak akan pernah mapan. Parpol-parpol yang tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah sehingga kita kerap mendapatkan perilaku parpol pendukung pemerintah bercita rasa oposisi atau sebaliknya pindah kongsinya partai-partai kompetitor menjadi penyokong kekuasaan.

Hal sangat krusial dalam aliansi parpol ialah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya, pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan dengan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi, atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain.

Inilah penyakit lama pascareformasi yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan. Hingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Wajah kabinet

Jokowi di awal periode kedua harus menampilkan wajah kabinet yang meyakinkan, baik soal komposisi siapa saja yang akan mengisi maupun nomenklatur pos-pos kementerian yang akan dibentuk. Presiden Jokowi sudah memberi sinyal, akan membentuk kabinet dengan komposisi 55% menteri dari kalangan profesional nonpartai dan 45% dari kalangan partai politik.

Hal ini disampaikan Jokowi saat bertemu pemimpin media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8). Saat pembentukan kabinet di awal periode pertama, Jokowi memilih 18 menteri dari kalangan profesional nonpartai dan 16 menteri dari kalangan parpol.

Hal yang paling substansial dalam distribusi dan alokasi orang sebenarnya bukan lagi pada debat dikotomis profesional dan partai politik. Semua menteri yang akan diangkat wajib memiliki pengalaman profesional atau punya pengalaman lapangan yang lebih dari memadai di urusan-urusan kementerian bersangkutan, dan sepenuhnya bekerja membantu presiden sesuai leading sector yang dipercayakan kepadanya.

Dalam bahasa akademik komunikasi, terutama dari model Wilbur Schramm, inilah yang disebut sebagai field of experience. Lapangan pengalaman yang sama, akan menentukan munculnya pemahaman bersama (mutual understanding) atas persoalan kementerian bersangkutan dari hulu ke hilir. Istilah akademik lainnya dari Charles Egerton Osgood, yakni soal komunikasi sirkular (circular communication).

Presiden selaku pemilik hak prerogatif tentu memerlukan orang yang siap tanggap, cekatan, serta mampu merespons dengan baik, cepat, dan tepat setiap arahan serta arus besar perubahan yang diinginkan presiden.

Presiden tentu sudah memiliki matriks kompetensi tentang menteri-menteri yang diharapkan bisa membantunya lima tahun ke depan.

Fokus pada kebutuhan menjadi kunci karena presiden tak akan bisa menyenangkan keinginan semua kalangan. Oleh karenanya, memilih menteri bukan semata-mata karena pertimbangan simbolik representasi. Memang benar, sejak Orde Baru hingga pascareformasi sekarang ini, pola pembentukan kabinet nyaris sama, yakni selalu mempertimbangkan keseimbangan politik di antara kekuatan-kekuatan nyata di masyarakat. Polanya, selalu ada representasi daerah seperti wakil dari timur, representasi kelompok agama, representasi khalayak kunci, seperti ormas besar, militer, dan pengusaha. Ada representasi partai politik, dan yang baru dari yang kerap disampaikan Jokowi, yakni representasi generasi.

Saat pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8), Jokowi juga menegaskan akan adanya menteri di bawah usia 30 tahun. Tentu, keinginan itu patut diapresiasi mengingat perubahan generasi ialah keniscayaan.

Menjembatani alih generasi merupakan salah satu poin yang patut dihargai. Di berbagai negara, menteri muda juga sudah menjadi hal biasa. Ada Aida Hadzialic yang sempat menjadi Menteri Sekolah Menengah Atas, Pendidikan tinggi, dan Pelatihan Swedia pada 2014. Saat diangkat usianya masih 27 tahun. Ada Shamma Al Mazrui, yang merupakan Menteri Urusan Pemuda di Uni Emirat Arab. Saat usia 22 tahun pada 2015, dia diangkat menjadi menteri. Ada Sebastian Kurz yang kelahiran 1986. Dia menjabat sebagai kanselir di Austria dari Desember 2017 hingga Mei 2019 di usianya yang baru menginjak 27 tahun. Yang dekat dengan Indonesia, di Malaysia ada Syed Saddiq bin Syed Abdul Rahman, kelahiran 6 Desember 1992. Dia menjadi menteri termuda Malaysia yang diangkat pada usia 25 tahun.

Dari contoh-contoh tersebut, bisa menjadi pelajaran untuk kita, sesungguhnya tidak masalah jika Jokowi menghendaki ada menteri berusia muda. Namun, para menteri yang dipilih bukan semata-mata karena representasi simbolis yang kita elaborasi di atas. Hal paling fundamental dan substansial dari pilihan presiden, tentu saja terletak pada tiga syarat utama yang harus ada.

Pertama, menteri wajib memiliki integritas tinggi. Jangan libatkan orang bermasalah dalam jajaran kabinet karena justru akan menjadi beban dan menghambat akselerasi yang dikehendaki Jokowi. Kedua, menteri dengan basis kompetensi sangat memadai. Jangan pilih calon menteri yang baru belajar bekerja. Jokowi menghendaki menteri ialah eksekutor yang kuat, cepat, dan tepat. Ini tak mungkin didapat dari orang-orang yang baru coba-coba menjadi menteri. Ketiga, punya jaringan komunikasi politik yang memadai.

Menteri ialah jabatan politis. Oleh karenanya, diperlukan kepiawaian mengelola sumber daya dan jaringan komunikasi lintas sektoral agar seluruh program dan prioritas kebijakan pemerintah bisa diimplementasikan dengan optimal.

Nomenklatur pos kementerian baru bisa saja dimunculkan dengan harapan adanya terobosan. Catatan kritisnya jangan sampai tumpang-tindih dengan kementerian dan lembaga yang sudah ada, atau berpotensi menimbulkan masalah koordinasi terutama karena sistem organisasi dan tata laksana yang tidak jelas saat pos kementerian baru tersebut benar-benar dibentuk.

Saatnya semua pihak memuliakan hak prerogatif Presiden! Prerogatif berasal dari bahasa Latin praerogatio, yakni hak istimewa. Dalam bahasa Thomas Jefferson, hak prerogatif itu kekuasaan yang langsung diberikan Konstitusi (power granted him directly by constitution).

Di Pasal 17 UUD 1945 jelas dan tegas dinyatakan Presiden dibantu menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan presiden. Dengan demikian, tidak pada tempatnya jika ada para pihak yang mendikte presiden terkait dengan kavling-kavling menteri yang diinginkan. Momentum ini sekaligus menjadi ujian kesejarahan kepemimpinan presiden setelah mengantongi mandat kuasa rakyat.

Tantangan Indonesia di berbagai bidang sangatlah berat. Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam sidang bersama anggota DPD dan DPR di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (16/8), mengajak seluruh komponen bangsa menjadi pemenang di era disrupsi. Untuk menjadi pemenang, Jokowi harus memulai dengan menampilkan wajah kabinetnya yang membawa harapan perubahan secara bersama-sama.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia, edisi Senin 19 Agustus 2019. (lrf)