Mempersoalkan Independensi KPU

Mempersoalkan Independensi KPU

Orang boleh saja tidak percaya pada kredibilitas partai politik (parpol).Namun, hal itu tidak boleh terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Sekali KPU membuat kesalahan fatal dan mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada hasil kerjanya, maka produk berupa legalitas wakil rakyat dan pemerintah juga akan dipertanyakan masyarakat. Begitu pun jika KPUD tidak lagi kredibel, kita khawatir bahwa produknya juga diragukan masyarakat. Jika terjadi demikian, hal itu akan merobohkan demokrasi dan wibawa pemerintah. Apakah skeptisisme masyarakat terhadap KPU dan KPUD baru merupakan kekhawatiran ataukah sudah terjadi? Jawabannya perlu disurvei secara nasional.

Jika perlu lembaga pemerintah mengambil inisiatif melakukan survei demi menjaga pilar demokrasi dan pemerintahan yang berwibawa. Dengan mencuatnya kasus Andi Nurpati, salah seorang anggota KPU yang kemudian bergabung dengan parpol, kecaman dan kekecewaan masyarakat bermunculan. Mereka menilai Andi Nurpati mengambil sikap sangat pragmatis untuk memenuhi agenda pribadi dengan melecehkan lembaga KPU. Dewan Kehormatan KPU memang telah memberhentikannya secara tidak hormat demi menjaga independensi serta wibawa penyelenggara dan wasit pemilu ini. Namun kalau pihak KPU dan kalangan parpol tidak ikut membantu menjaga kredibilitas KPU, yang salah tidak hanya Andi Nurpati, melainkan pihak-pihak lain turut andil melemahkannya.

Dalam dunia bisnis pun yang namanya insider trading dianggap sebagai penipuan publik. Begitu pun kalau wasit pemilu ikut main, maka nurani rakyat akan terlukai dan pada urutannya pemerintah yang dihasilkan juga akan terkena getahnya karena prosesnya cacat sehingga hasilnya pun akan dinilai cacat. Yang juga menyedihkan, tapi tidak banyak diekspos adalah pelanggaran yang terjadi di jajaran KPUD. Ada di antara mereka yang kabarnya meninggalkan jabatan KPUD, lalu mencalonkan diri sebagai bupati. Kalau berita ini betul, wajar sekali kalau kepercayaan rakyat menurun terhadap lembaga ini. Beberapa teman lalu menghubungkan kembali ingatannya ke masa awal proses pembentukan KPU yang instrumen tes seleksinya kontroversial itu.

Ada mantan anggota KPU yang sudah berpengalaman, latar belakang pendidikannya urusan pemilu dan politik, tapi ketika seleksi gagal. Demikianlah, kasus Andi Nurpati mencuatkan beberapa pelajaran penting untuk perbaikan KPU ke depan. Perlu perbaikan undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP) yang lebih tegas dan visioner sehingga siapa pun yang berminat masuk menjadi anggota KPU atau KPUD memang mereka yang memilih posisi independen, tidak seenaknya pindah gerbong ke parpol. Kalaupun ada yang berhenti di tengah jalan, kecuali alasan sakit atau meninggal, mesti diberi sanksi yang lebih berat dan eksplisit demi menjaga kredibilitas KPU dan hasil kerjanya.

Tak kalah penting juga lembaga pengawas pemilu yang sekarang disebut Bawaslu. Sewaktu saya jadi Ketua Panwaslu pada Pemilu 2004, anggotanya cukup beragam dan komplet. Ada unsur polisi dan jaksa yang memang ahli dalam bidang penyidikan dan penuntutan hukum. Lalu ada tokoh wartawan yang gesit melakukan komunikasi sosial. Ada lagi aktivis LSM yang akrab dengan kalangan parpol dan ormas. Semua itu sangat membantu kinerja Panwaslu saat itu. Yang menarik direnungkan, biaya proses seleksi pemilihan komisioner sangat mahal, tapi hasilnya sering kali mengecewakan.

Sebut saja komisioner di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPU, Komisi Yudisial (KY), serta komisi lainnya, biaya proses seleksinya di atas Rp 6 miliar dan sebagian besar dananya habis untuk biaya iklan di surat kabar atau televisi. Catatan-catatan kecil di atas semoga jadi bahan kajian untuk diperbaiki di masa depan. Jangan sampai suatu saat rakyat akan kehilangan kepercayaan pada demokrasi akibat kesalahan teknis-administratif dan perilaku beberapa pribadi atau perilaku parpol yang menyebalkan.

Sekali lagi, kita semua mesti ikut bertanggung jawab mengawasi serta menjaga independensi dan kredibilitas KPU dan KPUD karena jika tidak, akan sangat fatal implikasinya.(*)

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Jumat, 16 Juli 2010

Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

Â