Memperbaiki Kualitas Debat Presidensial

Memperbaiki Kualitas Debat Presidensial

KITA masih punya tiga kali debat presidensial. Untuk itu, perlu mengevaluasi pelaksanaan debat perdana dan debat kedua yang sudah digelar dengan ragam kelebihan dan kekurangannya. Satu hal yang pasti, debat sangat diperlukan untuk menjadi uji publik para kandidat terkait dengan gagasan, program, komitmen, dan juga gaya kepemimpinan mereka sebagai calon pemimpin yang akan menentukan Indonesia lima tahun ke depan.

Debat presidensial punya makna sangat strategis dalam konteks pengarusutamaan literasi politik pemilih karena mereka harus tampil meyakinkan pemilih, bahwa pasangannya paling layak untuk dipilih.

Perbaikan penyelenggaraan

Debat ketiga, akan mempertemukan KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. Tema debat tentang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya. Sementara itu, debat keempat temanya ialah ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan serta hubungan internasional. Debat kelima akan mengangkat tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi serta perdagangan dan industri.

Seluruh tema-tema yang diangkat dalam debat sejak perdana hingga pamungkas, sesungguhnya tema tentang persoalan-persoalan yang fundamental dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pemilih berhak tahu apa yang akan dikerjakan para capres dan cawapres jika mereka dimandati kekuasaan.

Belajar dari debat perdana yang digelar pada 17 Januari, dan debat kedua yang digelar pada 17 Februari, ada beberapa catatan perbaikan untuk penyelenggaraan debat ketiga hingga kelima. Pertama, partisipan yang menjadi audiensi debat. Jika kita perhatikan, keberadaan para suporter capres/cawapres yang berasal dari tim pemenangan maupun relawan di lokasi debat sungguh tidak memiliki urgensi apa pun.

Dengan jumlah yang melimpah, dan teriakan yel-yel sebelum, sesaat serta sesudah debat, sangatlah mengganggu. Debat kedua menjadi contoh, pada saat tim pendukung Prabowo tak terima atas serangan yang dilancarkan Jokowi tentang penguasaan lahan di Kalimantan Timur dan Aceh, sontak membuat mereka protes dan kemudian terjadi keributan yang akhirnya viral di media sosial. Tak hanya itu saja, teriakan, tepukan tangan, yel-yel kedua belah pihak juga mengganggu fokus perdebatan sehingga moderator harus berulang kali mengingatkan.

Debat presidensial sendiri sudah ditayangkan secara langsung oleh media televisi juga melalui radio. Artinya, tak ada urgensi kehadiran tim hore pasangan calon di lokasi debat. Ingat, debat itu sendiri merupakan metode kampanye melalui komunikasi persuasif dengan mekanisme penyelenggaraan yang difasilitasi KPU dan disiarkan live oleh stasiun tv.

Dari logika komunikasi persuasi ini pun, para tim sukses bukanlah target komunikan debat presidensial. Karena rata-rata mereka pemilih kuat (strong voters) dari pasangan capres dan cawapres yang didukungnya. Menurut Theory of Reasoned Action (TRA) yang pertama kali diperkenalkan akademisi komunikasi dari University of Pensylvania, Icek Ajzen dan Martin Fishbein, dalam tulisannya Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior (1980), bahwa niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi dua penentu dasar. Berhubungan dengan sikap (attitude towards behaviour) dan yang lain berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms).

Teori ini menghubungkan keyakinan (beliefs), sikap (attitude), kehendak/intensi (intention), dan perilaku (behaviour). Untuk mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik untuk meramalkannya ialah mengetahui intensi orang tersebut.

Intensi ditentukan sikap dan norma subjektif. Komponen pertama mengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behaviour). Di samping itu, juga dipertimbangkan pentingnya konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding the outcome).

Komponen kedua mencerminkan dampak dari norma-norma subjektif. Norma sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggapnya penting (referent person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut.

Konteks bacaan teori ini di panggung debat, para pendukung yang hadir di lokasi debat tentu saja intensinya bukan untuk menyimak dan mengomparasikan secara seksama paparan data, argumen dan program kedua pasangan.

Sedari awal, tujuannya ialah memberi justifikasi atas norma subjektif yang sudah dibangun di diri dan kelompok masing-masing. Oleh karenanya, sikap dan perilakunya sudah pasti terpolarisasi dalam pembenaran versi masing-masing.

Debat ketiga hingga kelima, yang hadir di lokasi debat itu harusnya kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi stakeholders penting tema-tema yang diangkat dalam debat. Mereka yang memiliki irisan pengalaman dengan tema, dan bisa membentuk atau meneguhkan diskursus publik soal tema yang diangkat menuju perbincangan yang lebih substantif.

Model debat presidensial yang diselenggarakan Commission on Presidential Debate di Amerika sudah lama mengusung formal town hall. Biasanya yang dihadirkan sebagai audiensi ialah kelompok masyarakat yang relevan dengan tema.

Kedua, segmen-segmen dalam debat presidensial harus mampu menghadirkan dialektika bukan semata-mata panggung formal seremonial. Hal yang sudah dikoreksi dari debat perdana ialah tidak adanya lagi kisi-kisi pertanyaan yang memang tidak lazim dilakukan di berbagai negara yang menyelenggarakan debat presidensial. Yang harus diperkuat lagi ialah durasi segmen-segmen yang sifatnya eksploratif dan tarung bebas (free fight).

Saat debat para capres maupun cawapres memiliki enam segmen. Berkaca dari debat kedua kemarin, segmen keempat dan segmen kelima merupakan segmen paling menarik. Pertanyaan-pertanyaan spontan menjadi stimulus respons positif dialektika. Untuk debat ketiga sampai kelima, durasi waktu 4 dan 5 itu harusnya lebih diperpanjang lagi. Opsi lainnya, segmen eksploratif dan tarung bebas sesungguhnya sudah bisa dimulai dari segmen ketiga hingga kelima.

Ketiga, debat harus menghadirkan hal-hal baru yang belum diketahui termasuk data-data yang kerap tak bisa diakses dengan mudah. Narasi kampanye yang disampaikan para kandidat tidak lagi parsial. Butuh keajekan nalar dan data untuk menopang argumentasi yang lebih berisi.

Mereka yang berdebat dan tim suksesnya harus bisa bedakan mana urusan publik dan mana yang pribadi. Misalnya, serangan Jokowi ke Prabowo soal penguasaan lahan di Kalimantan Timur dan Aceh, masih bisa dipahami sebagai urusan publik (public interest). Terutama jika dikaitkan dengan aspek hukum dan keadilan dalam penguasaan lahan. Jadi, hal seperti ini jangan mudah dilaporkan sebagai serangan pribadi.

Hal lain, yang juga harus dikritik memang pertanyaan para capres dan cawapres jangan sampai terlalu teknis. Hindari akronim, atau istilah yang hanya familiar di kalangan tertentu, seperti istilah unicorn agar tidak terkesan menjadi pertanyaan jebakan. Debat ketiga hingga kelima, pertanyaan dan jawaban harus menunjukkan kelas debat presidensial.

Keempat, semua pasangan harus menahan diri untuk tidak terjebak pada skenario propaganda mendelegitimasi penyelenggaraan debat dengan menyemprotkan isu hoaks yang tidak bertanggung jawab. Setelah debat kedua, muncul tudingan Jokowi menggunakan earpiece yang dipasang di telinga sehingga Jokowi dituduh mendengarkan jawaban dari pihak lain.

Tudingan Jokowi mengenakan earpiece mencuat setelah muncul foto capture Jokowi yang memainkan sebuah pulpen di tangannya, sambil memegang telinga. Di pilpres AS juga sempat muncul tudingan Hillary Clinton menggunakan earpiece saat debat.

Modus serangannya sama, yakni mendelegitimasi kapasitas salah satu pihak. Tidak terlalu jelas siapa yang pertama kali memunculkan isu ini di dunia maya. Satu yang pasti, hal ini kontraproduktif dengan tujuan debat untuk merangsang perbincangan publik pada program dan gagasan.

Jangka panjang

Bagaimanapun debat itu merupakan satu di antara sembilan metode kampanye yang diatur Pasal 275 UU No 7 Tahun 2017. Dari satu pemilu ke pemilu berikutnya debat harus terus dinaikkan kualitasnya agar memenuhi ekspektasi banyak pihak, yakni menjadi momentum pendidikan politik yang bisa meyakinkan pemilih.

Indonesia pertama kali menggelar debat presidensial yang disiarkan secara langsung oleh televisi pada Pilpres 2004. Sejak itulah debat reguler digelar di Pilpres 2009, juga Pilpres 2014.

Dalam jangka panjang ada beberapa hal yang harus diperbaiki baik di level UU maupun peraturan KPU untuk menguatkan mekanisme debat presidensial di pilpres mendatang. Pertama, perguruan tinggi sebaiknya mulai diberi kebebasan untuk dilibatkan menjadi tempat penyelenggaraan debat presidensial.

Seperti di Amerika, debat-debat capres justru digelar di kampus. Debat perdana Hillary Clinton vs Donald Trump digelar di Hofstra University, di Hempstead, New York. Debat kedua yang mempertemukan antarcalon wakil presiden Tim Kaine (Demokrat) vs Mike Pence (Republik), digelar Longwood University, Virginia. Debat ketiga, digelar di Washington University di St Louis. Debat pamungkas, di gelar University of Nevada, Las Vegas.

Di Indonesia, debat di kampus masih terkendala UU Pemilu. Dalam Pasal 280 ayat 1 UU No 7 Tahun 2017 terutama poin h, kampanye dilarang menggunakan tempat pendidikan. Larangan ini harusnya ke depan tidak digeneralisasi untuk semua institusi pendidikan karena jelas-jelas merugikan aspek pendidikan politik terutama bagi pemilih pemula dan muda yang salah satu kantong potensialnya ada di kampus.

Kedua, waktu penyelenggaraan debat di tahapan kampanye juga harusnya diubah. Di Pemilu 2019, berdasarkan Peraturan KPU No 23 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi PKPU No 28 Tahun 2018 tentang Kampanye, waktu kampanye itu sudah dimulai sejak 23 September 2018 dan berakhir tanggal 13 April 2019. Namun, debat capres dan cawapresnya yang perdana baru digelar 17 Februari 2019.

Secara faktual kita bisa lihat selama September-Desember 2018 bahkan hingga awal Januari 2019, kampanye lebih banyak diisi narasi-narasi, bukan program. Misalnya, yang ramai menjadi polemik ialah perang diksi tampang Boyolali, sontoloyo, genderuwo, Indonesia akan punah, dan lain-lain. Ada ruang bolong, publik tidak terpapar kampanye program. Ke depan, sebaiknya debat capres bisa diselenggarakan sejak awal bulan masa kampanye sehingga bisa menciptakan atmosfer positif bagi perbincangan soal program dan gagasan.

Debat di satu sisi bisa menjadi momentum penting pemasaran politik. Sebagaimana ditulis Gery Mauser dalam bukunya Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy (1983), momentum tersebut untuk memengaruhi perilaku massa dalam situasi kompetitif.

Di sisi lain, debat menjadi ikrar para kandidat untuk menunjukkan komitmen ke depan jika mereka diberi mandat kekuasaan. Oleh karenanya, debat presidensial di Indonesia harus naik kelas, diselenggarakan secara serius dan menyentuh persoalan-persoalan substansial.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia, edisi Senin, 25 Februari 2019. (lrf)