Memerdekakan Guru

Memerdekakan Guru

Indonesia telah merdeka selama 73 tahun, tetapi guru Indonesia belum merdeka. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan merdeka sebagai berikut: bebas dari penghambaan, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Dari definisi ini, guru kita belum merdeka seutuhnya. Hakikat guru merdeka adalah ketika mereka dimuliakan, disejahterakan, dikembangkan, dibebaskan berpikir, dan “dimudahkan” dalam menjalankan profesinya. Merujuk definisi ini, guru merdeka masih jauh panggang dari api. Padahal, hanya guru merdeka yang mampu menjalankan tugas mencerdaskan generasi muda Indonesia sesuai bakatnya masing-masing. Membiarkan guru tidak merdeka, cita-cita pembangunan generasi emas Indonesia tahun 2045 hanya isapan jempol belaka. Menggantang asap, ibarat pungguk merindukan bulan. Bangsa yang merdeka sepatutnya menempatkan guru sebagai profesi mulia, terhormat, dan merdeka. Merdeka Finansial Guru dikatakan merdeka manakala dalam menjalankan profesinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, guru sejahtera sebagaimana dinyatakan dalam Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005. Sebagai profesi, setiap guru terjamin kebutuhan hidup keluarganya. Seorang guru tidak layak bekerja sambilan, apalagi menjadikan mengajar sebagai pekerjaan sampingan. Baru sebagian kecil guru Indonesia sejahtera, yaitu guru PNS, guru bersertifikat, dan guru tetap sekolah favorit. Guru honorer dan belum tersertifikasi terpaksa harus mengajar di dua sekolah atau lebih, atau bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Guru merdeka secara finansial seharusnya menjadi cita-cita setiap pemimpin negeri ini. Jika tidak, adagium “kunci kemajuan bangsa adalah pendidikan, dan kualitas guru adalah kunci kemajuan pendidikan suatu bangsa”, hanyalah omong kosong. Guru harus dicukupkan materinya, baru ia akan bisa mengajar dengan baik. Alih-alih mengangkat guru honorer menjadi PNS atau guru tetap non PNS, pemerintah kerap menyindir kinerja dan kompetensi guru. Contoh, berulangkali Tunjangan Profesi Guru (TPG) disindir Kemenkeu Sri Mulyani, bahwa sertifikasi guru tidak berdampak peningkatan kopetensi guru. Solusi masalah rendahnya kompetensi guru bukan dengan menebar wacana penghapusan TPG, tetapi bagaimana pemerataan pelatihan peningkatan kompetensi guru bersertifikat dan non sergur. Perbaikan perekrutan calon guru adalah hal lainnya. Input guru harus diperhatikan bahkan sejak perekrutan mahasiswa fakultas keguruan. Eric A Hanushek dalam buku School Human Capital and Teacher Salary Policies (2016), menyimpulkan hasil risetnya bahwa, “Prestasi siswa dan produktivitas sekolah di Amerika Serikat sangat tergantung pada besaran gaji guru”. Katherine Mellon Charron, dalam buku Freedom’s Teacher (2011: 242) mengutip pengalaman Septima Clark mengajar di Kolombia pada 1930-an, “Not only was I teaching a full schedule and attending teacher training courses and going to civic club meetings of one sort and another, but I was also going to bridge parties and taking part in other social activities. I was being accepted”. Guru kita jelas tidak seperti digambarkan Clark tersebut. Guru kita sibuk di sekolah, dan tidak bisa membeli kebahagiaan untuk diri dan keluarganya. Hasil keringatnya hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anak. Tidak ada uang untuk memanjakan diri di salon, mall, restoran, membeli buku, atau berlangganan internet. Merdeka Belajar Kedua, guru punya kesempatan mengembangkan diri, seperti seminar, lokakarya, dan melanjutkan studi. Beban kerja guru 40 jam di sekolah perminggu menyulitkan guru belajar di dalam dan di luar sekolah. Masih banyak sekolah tidak memiliki sumber belajar yang memadai. Perpustakaan, internet, laboratorium, dan meja kerja guru tidak tersedia. Guru ibarat katak dalam tempurung. Kehidupannya adalah siklus rutinitas rumah, sekolah, dan rumah. Sebagian mereka jarang bahkan tidak pernah ikut pelatihan. Mereka yang melanjutkan studi S2 atau S3 sulit mendapatkan izin atasan, atau kurang mendapatkan dukungan kepala sekolah. Contoh, penjadwalan dan tugas mereka yang bersamaan dengan jadwal kuliah. Guru juga tidak bebas mengembangkan diri di luar sekolah karena ia harus hadir di sekolah sehari penuh (full day school). Ia terbelenggu syarat regulasi sertifikasi guru, beban kerja, dan otoritarianisme kepala sekolah atau yayasan. Penugasan guru keluar sekolah sering tidak objektif dan dimonofoli kepala sekolah atau guru-guru tertentu saja. Kecuali itu, guru kerap disibukan pekerjaan administratif syarat pencairan TPG, kenaikan pangkat, dan pengajaran K-13. Malangnya, pekerjaan ini kerap dikerjakan kolektif oleh satu orang guru yang merangkap operator sekolah. Alasannya, guru gagap teknologi alias tidak bisa komputer. Padahal, penting bagi guru belajar dan mengembangkan keilmuan melalui organisasi profesi, Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan lain sebagainya. Merdeka Berpolitik Ketiga, guru bebas menentukan pilihannya dalam Pilkada. Masalahnya, guru di beberapa daerah sering secara terbuka mendukung pasangan calon tertentu. Padahal guru PNS dan non PNS harus independen dan netral. Ia tidak boleh menjadi tim sukses pasangan calon bupati, walikota atau gubernur tertentu karena bertentangan dengan marwah dan etika guru. Ketika guru sudah berpihak, melakukan kampanye (terselubung atau terang-terangan), dan menjadi tim sukses Paslon tertentu, maka ia sudah tidak merdeka—terbelenggu politik kepentingan sesaat. Sejatinya guru harus berdiri untuk semua golongan. Mereka mitra pemerintah, siapa pun presiden dan kepala daerahnya. Ketika guru sudah terlibat politik praktis dalam bentuk dukungan terhadap salah satu pasangan calon kepala daerah, maka dia dan guru yang netral pun akan menanggung tulahnya. Tidak heran, guru dan kepala sekolah sering menjadi korban kebijakan kepala daerah baru. Tiba-tiba mereka dimutasi tanpa alasan yang jelas dan digantikan oleh “guru tim sukses” kepala daerah terpilih. Guru rentan dimanfaatkan dalam Pilkada untuk mendulang suara. Guru potensial menaikan elektoral pasangan calon tertentu. Meski demikian, guru atau organisasi guru sebaiknya ajeg. Mereka menolak dimanfaatkan politisi atau memanfaatkan organisasi untuk kepentingan politik praktis. Guru harus merdeka sejak dalam pikiran, termasuk soal Pilkada. Pemerintah harus menjamin guru merdeka secara finansial, merdeka untuk belajar, dan merdeka berpolitik. Tugas guru tidak ringan. Di tangan guru generasi muda dititipkan. Guru yang merdeka bisa melahirkan calon pemimpin yang visioner, dan warga negara yang beradab. Dua hal yang selalu kita rindukan saat mana bicara negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Kemajuan bangsa yang dicirikan antara lain kreativitas dan kesantunan warga, hanya bisa diraih melalui pendidikan yang bermutu. Pendidikan bermutu karena guru bermutu. Tidak diragukan lagi. Jika pemerintah memerdekakan guru, maka bangsa Indonesia yakin pasti maju. Dr Jejen Musfah MA, Kepala Program Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta, Sumber: SINDO, 18 Agustus 2018 (mf)