Membangun Masyarakat Pasca Bencana

Membangun Masyarakat Pasca Bencana

Pada paparan singkat ini, akan diuraikan apa yang dimaksud dengan pendekatan pemberdayaan khususnya bagi masyarakat yang sudah terkenda bencana alam, seperti Tsunami atau bencana alam lainnya.

Pemahaman akan pendekatan ini salah satunya kami termukan dalam pelatihan selama lima hari bersama pakar trauma bencana dari McGill University, Marc Laporta, April lalu. Marc mengatakan, satu hal yang terkadang banyak dilupakan oleh relawan, baik pemerintah maupun kalangan NGO’s adalah mendekati masalah trauma masyarakat pasca bencana dengan pendekatan pemberdayaan budaya. Laporta mengajukan kasus bencana Tsunami di NAD yang ia kunjungi sebelum memberikan pelatihan. Di sana, tuturnya, banyak masyarakat yang terkena musibah tidak didekati menurut pandangan budayanya. Padahal praktiknya itu tidak terlalu sulit, hanya saja para relawan harus lebih bersabar saja.

Sebelum menjelaskan bagaimana pendekatan budaya ini, terlebih dahulu akan kita review konteks sosialnya dan mengapa pendekatan ini sangat strategis dilakukan.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa musibah yang terjadi selalu mengundang empati banyak pihak dan kalangan. Solidaritas kemanusiaan yang mengalir luar biasa ini, ternyata tidak hanya membawa berkah, seperti cepatnya proses penanggulangan pasca bencana, mengalirnya dana yang kemudian menghidupkan kembali nadi perekonomian, sosial, dan budaya, namun juga membawa ”berkah” lain.

Di sinilah kemudian terjadi semacam pertukaran atau kontak budaya yang diawali dengan proses advokasi maupun pemulihan trauma pasca bencana. Untuk mengatasi problem ini, kemudian pihak-pihak yang melakukan pendampingan menggunakan berbagai pendekatan. Beragamnya pendekatan yang dilakukan memang sesuai dengan background masing-masing relawan/pendamping. Tetapi satu hal pasti, selalu dan pasti terjadi ”dialog” budaya antar pihak-pihak itu. Namun kebanyakan, proses dialog terjadi searah, yakni pihak relawan atau fasilitator berperan sebagai ”dokter”, ”guru”, ”psikiater”, dan sebagainya.

Memerankan diri sebagaimana kapasitasnya, jelas sangat baik. Namun sebagai masyarakat yang bisa jadi stress karena bencana yang menderanya, sesungguhnya setiap pendekatan selalu memiliki kelemahan. Satu di antaranya, pendekatan yang telah disebut di atas, kadang kosong dari dimensi pemahaman budaya.

Pertanyaannya, mengapa pendekatan pemberdayaan budaya penting untuk melengkapi pendekatan-pendekatan yang ada dan telah dilakukan itu?

Pendekatan pemberdayaan budaya menjadi penting karena dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memiliki world view sendiri tentang peristiwa-peristiwa yang besar yang terkait dengan diri mereka dan alam. Ini sesungguhnya kosmologi masyarakat dalam hubungan antara alam raya dengan pelaku-pelaku yang hidup di dalamnya. Sehingga, meskipun pada praktiknya setiap bencana menyedot banyak kehilangan sumberdaya, namun tidak semua persepsi mengenai setiap musibah adalah bencana.

Untuk itu, dengan memahami cara pandang mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Ben Anderson sewaktu meneliti Serat Centini misalnya, menjadi sangat penting bagi para relawan atau pendamping. Cara pandang mereka terhadap dinamika alam, kemudian akan berpengaruh besar terhadap seberapa membebani sebuah bencana bagi mereka. Jika mereka menganggap bahwa bencana yang terjadi merupakan siklus alam untuk menjaga tata keseimbangan misalnya, maka sejatinya proses-proses pemulihannya harus melekatkan hal ini.

Sebagai contoh, dalam kehidupan sosial masyarakat Sunda dikenal satu falsafah mengenai relasi antara manusia dengan alam lingkungannya harus tetap dilekatkan pada ”rawayan jati, ngertakeun bumi lamba, jeung miara kabuyutan”. Falsafah yang artinya bahwa kehidupan itu manusia hari ini adalah jembatan dari manusia generasi masa lalu untuk generasi mendatang,yang memiliki tugas suci membangun kesejahteraan kehidupan, dan memiliki berbagai nilai-nilai baik meski ia datang dari masa lalu. Sehingga ketika manusia tidak memerankan diri pada falsafah di atas, niscaya alam ”bereaksi”.

Sedangkan Laporta menyarankan bahwa setiap orang secara budaya memiliki sikap dan perilaku cara mempertahankan diri dari ”keganasan” alam untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Pola pertahanan yang sudah menjadi state of mind masyarakat juga bisa menjadi input positif ketika melakukan recovery psikologis ini.

Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Pengembangan Masyarakat Islam Bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan, Sumber: Koran Harian Jurnal Nasional, Ditulis ulang pada Ahad, 7 Oktober 2018 (MF)