Membangun Masyarakat Desa melalui Kebijakan Pembangunan yang Inklusif di Era Industri 4.0

Membangun Masyarakat Desa melalui Kebijakan Pembangunan yang Inklusif di Era Industri 4.0

 

Oleh Agus Gumiwang Kartasasmita

Menteri Sosial RI

Bangsa Indonesia baru menuntaskan penyelenggaraan Pemilu 2019 yang merupakan pemilu paling rumit di dunia. Secara umum penyelenggaraan Pemilu 2019 dinilai sukses dan menghasilkan para pemimpin-pemimpin rakyat baik di lembaga eksekutif maupun legislatif secara demokratis. Meski sempat ada sedikit riak, tetapi saya kira riak dalam penyelenggaraan pemilu merupakan hal yang lumrah bahkan fitrah di dunia demokrasi dan menunjukkan antusiasme tinggi dari masyararakat terhadap proses demokrasi di Indonesia. Suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan indikator demokrasi Indonesia yang semakin matang dan terkonsolidasi. Pemilu telah usai. Kini saatnya kita merajut kembali persatuan dan kesatuan nasional yang sedikit banyak telah terkoyak karena perbedaan pandangan dan politik. Di depan kita banyak tantangan yang harus dihadapi bersama sebagai kesatuan bangsa Indonesia.

Tantangan utama bangsa demokrasi Indonesia yang lebih substansial saat ini dan ke depan adalah bagaimana dengan pemerintahan yang demokratis kita mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya dalam rangka memerangi kemiskinan dan ketimpangan, melalui program-program pembangunan kesejahteraan sosial. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar demokrasi tidak hanya bergaung dengan segala harapan dan janjinya saat Pemilu, tetapi juga memiliki korelasi yang jelas dengan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan.

Keberhasilan Indonesia dalam penanganan kemiskinan telah menarik perhatian dunia. Di tengah perlambatan ekonomi global, tren angka kemiskinan di Indonesia terus menurun hingga kini dalam sepanjang sejarah menyentuh level satu digit. Berdasarkan berita resmi BPS pada 15 Juli lalu, persentase penduduk miskin Indonesia  sebesar 9,41 persen pada Maret 2019, menurun 0,25 persen terhadap September 2018 (9,66 persen) dan menurun 0,41 persen terhadap Maret 2018 (9,82 persen). Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2018-Maret 2019, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebesar 136,5 ribu orang, sedangkan di daerah perdesaan turun sebesar 393,4 ribu orang. Persentase kemiskinan di perkotaan turun dari 6,89 persen ke 6,69 persen, sementara di perdesaan turun dari 13,10 persen ke 12,85 persen.

Penurunan angka kemiskinan ini disertai penurunan konsisten sejak tahun 2014 pada angka ketimpangan (gini rasio) dan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Gini rasio per Maret 2019 berada pada posisi 0,382 poin atau turun 0,002 poin dibanding September 2018. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2019 sebesar 1,55, turun dari 1,63 pada September 2018, sementara Indeks Keparahan Kemiskinan pada periode yang sama turun dari 0,41 ke 0,37. Berdasarkan daerah, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di daerah perdesaan sebesar 2,18 dan 0,55 per Maret 2019, lebih tinggi dari indeks di perkotaan sebesar 1,05 dan 0,24.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan selama periode September 2018-Maret 2019, menurut BPS, adalah peningkatan rata-rata nominal upah buruh tani, peningkatan rata-rata upah buruh bangunan, penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), terjaganya inflasi pada level rendah, stabilitas nilai tukar petani, penurunan harga eceran beberapa komoditas pokok, dan capaian realisasi bantuan pangan (rastra dan BPNT) yang baik dan tepat waktu.

Dari angka-angka tentang kemiskinan tersebut terlihat jelas bahwa masalah kemiskinan sebagian besar berada di daerah perdesaan. Berbagai studi telah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kemiskinan di perdesaan, antara lain (i) ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat terhambatnya akses masyarakat perdesaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi, seperti infrastruktur, telekomunikasi dan informasi, pasar, dan lain-lain; dan (ii) adanya ketimpangan dalam pelayanan dan pemberian hak-hak dasar seperti hak atas akses pendidikan dan kesehatan. Tingginya angka kedalaman dan keparahan di perdesaan seakan membenarkan adanya distribusi pendapatan yang berjalan kurang efektif bagi masyarakat desa akibat keterbatasan akses terhadap berbagai fasilitas.

Realita kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan menegaskan pentingnya membangun kebijakan pembangunan yang inklusif dalam rangka meniadakan hambatan-hambatan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat miskin –yang mayoritas berada di perdesaan– untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Terminologi pembangunan yang inklusif tidak terbatas kepada aspek ekonomi semata akan tetapi lebih luas memberikan akses kepada seluruh elemen masyarakat dalam menikmati hasil pembangunan, termasuk di dalamnya infrastruktur dan layanan dasar. Menurut ADB (2010), beberapa indikator pembangunan inklusif antara lain (i) laju pertumbuhan ekonomi, lapangan usaha produktif, dan infrastruktur ekonomi; (ii) pemerataan pendapatan, pengurangan kemiskinan, dan kesetaraan akses dan kesempatan; (iii) peningkatan kapabilitas sumber daya manusia; dan (iv) perlindungan sosial.

Paradigma pembangunan inklusif merupakan reaksi terhadap paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Dalam paradigma pertumbuhan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat mendorong pemerataan pendapatan dan berlanjut pada pengurangan angka kemiskinan (trickle down effect). Pada implementasinya, di banyak negara berkembang ada gejala peningkatan angka kemiskinan absolut, ketimpangan distribusi pendapatan, dan pengangguran meski terjadi pertumbuhan ekonomi yang stabil (Warsilah, 2015). Indonesia memiliki pengalaman bagaimana kegagalan trickle down effect tersebut, menyusul krisis moneter pada tahun 1997.

Pasca krisis moneter, muncul kesadaran bahwa pemerataan ekonomi harus diupayakan sedemikian rupa melalui formulasi program-program konkret yang membumi dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan sosial dalam pembangunan. Konsep ini kemudian dinamakan pembangunan inklusif. Pengertian inklusif digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka dan mengikutsertakan semua orang, termasuk mereka yang selama ini termarjinalkan (Lenoir, 1974). Dengan demikian, kunci pembangunan inklusif terletak pada peran proaktif pemerintah untuk menyelenggarakan program-program pembangunan kesejahteraan khususnya mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial dan partisipasi aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan sekaligus mitra pemerintah dalam menjalankan program-program tersebut.

Pemerintahan Jokowi sedari awal telah mencanangkan pembangunan kesejahteraan sosial yang menekankan pendekatan inklusif. “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa”, “membangun Indonesia dari pinggiran”, “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”, “meningkatkan produktivitas rakyat”, dan “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan membangun sektor-sektor strategis ekonomi domestik” merupakan poin-poin Nawacita merefleksikan paradigma pembangunan inklusif yang diusung oleh Presiden Jokowi. Berbasis pada paradigma tersebut, segala bentuk program pembangunan diarahutamakan pada pembukaan akses dan kesempatan masyarakat lapisan bawah, termasuk di perdesaan dan daerah-daerah terpencil, untuk meningkatkan skala aktivitas ekonomi dan kesejahteraan. Secara sederhana dan kasat mata, komitmen ini dapat dilihat antara lain dari pembangunan infrastruktur fisik yang massif di berbagai daerah hingga pelosok. Membuka daerah-daerah yang terisolir, memberikan akses yang sama bagi masyarakat luar pulau Jawa dan masyarakat pedesaan, memberikan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang setara antara perkotaan dan perdesaan bukan hanya akan berdampak pada distribusi pendapatan yang seimbang, tetapi memberikan kesempatan yang sama bagi semua daerah dan masyarakat untuk mendapatkan aksesibilitas yang sama terhadap semua sumber daya ekonomi bangsa.

Visi pembangunan yang inklusif juga tercermin dari peningkatan anggaran perlindungan sosial, bahkan di tengah perlambatan ekonomi global dan postur APBN yang ketat. Anggaran perlindungan sosial naik dari 249,7 T di tahun 2015 ke 274,7 T di tahun 2017 dan 387,3 T di tahun 2019. Anggaran perlindungan sosial tersebut difokuskan khususnya bagi 40% masyarakat lapisan terbawah melalui berbagai skema program antara lain PKH, Bantuan Pangan, JKN/PBI, Dana Desa, PIP, Bidik Misi, dan subsidi di luar subsidi pajak.

Paradigma pembangunan inklusif sejatinya menjiwai di hampir semua kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial. Semua program Kementerian Sosial sangat terkait dengan upaya membuka kesempatan dan ruang keterlibatan bagi masyarakat yang terekslusi secara sosial (termasuk ekonomi) sehingga memerlukan layanan kesejahteraan sosial. Kategori warga yang terekslusi sosial yang ditangani oleh Kementerian Sosial antara lain masyarakat miskin, penyandang disabilitas baik fisik atau mental, warga lanjut usia, anak terlantar dan anak berurusan dengan hukum, korban NAPZA, eks-napi teroris, dan pemerlu layanan kesejahteraan sosial lainnya. Mayoritas penerima manfaat dari layanan Kementerian Sosial merupakan masyarakat perdesaan. Berikut beberapa program yang dapat menjadi ilustrasi bagaimana inklusivitas yang sangat menekankan partisipasi publik sangat kental dalam program-program Kementerian Sosial. Ini juga sebagai bekal wawasan bagi saudara sekalian peserta KKN sebelum terjun ke desa-desa.

Pertama, Basis Data Terpadu Kemiskinan. Sesuai amanat UU Penanganan Fakir Miskin, seluruh program penanggulangan kemiskinan baik berupa bansos atau subsidi harus mengacu pada Basis Data Terpadu yang dikelola oleh Kementerian Sosial. BDT mencakup kelompok 40 persen warga lapisan terbawah (termiskin) yang pada proses awalnya diusulkan oleh masyarakat melalui Musdes/ Muskel. Muskel/ Musdes tidak hanya bersifat konsultatif tetapi memiliki posisi strategis dalam proses pengambilan keputusan.

Kedua, Program Keluarga Harapan (PKH). PKH ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup melalui akses layanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial serta mendorong perubahan perilaku dan kemandirian di kalangan masyarakat miskin. Dalam PKH, masyarakat merupakan subyek pemberdayaan, sementara Pemerintah hanya memfasilitasi dan menyediakan pendampingan. Pendampingan dilakukan oleh para pekerja (pendamping) sosial yang direkrut dari anggota masyarakat. Para pendamping sosial secara berkala melakukan pertemuan dengan keluarga penerima manfaat terkait peningkatan kemampuan keluarga dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, perlindungan anak, dan kesejahteraan sosial. Ada proses deliberasi antara KPM sebagai bagian dari masyarakat dengan pendamping sosial sebagai ‘bagian’ dari pemerintah yang outputnya digunakan sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan selanjutnya.

Ketiga, Rastra/Bantuan Pangan Non Tunai  (BPNT). Program ini merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan dengan mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar pangan. Desain program BPNT juga diarahkan untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong pertumbuhan usaha mikro di bidang pangan dalam bentuk e-warong. E-warong terdiri dari koperasi atau warung/ toko yang dibentuk oleh masyarakat miskin yang disahkan sebagai tempat pencairan bantuan pangan (khususnya beras atau telur). Studi Microsave (2019) menyatakan bahwa BPNT membuka peluang usaha terutama bagi kaum perempuan (68%). Ini menunjukkan bahwa BPNT memberdayakan dan menempatkan perempuan sebagai fokus dan meningkatkan posisi mereka dalam rumah tangga. Dari studi ini juga ditemukan bahwa dengan adanya program ini 87% penerima manfaat untuk kali pertama memiliki rekening bank.

Keempat, bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) bagi masyarakat miskin perorangan atau kelompok usaha bersama (KUBE). UEP-KUBE ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin melalui usaha ekonomi produktif dan membangun harmoni hubungan sosial antar warga. Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan masyarakat miskin menciptakan lingkaran setan kemiskinan akibat rendahnya kemampuan untuk bersaing di pasar kerja. Karena itu, perlu ada intervensi pemberdayaan dengan menciptakan usaha mikro bagi masyarakat miskin. UMKM merupakan penyumbang terbesar bagi ketersediaan serapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDRB.

Kelima, Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia. Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur tua. Suatu negara disebut berstruktur tua jika proporsi lansia mencapai 7 persen ke atas. Jumlah penduduk lansia di Indonesia saat ini sebesar 24,4 juta jiwa atau 9,27 persen dari total penduduk, dengan tren pertumbuhan yang terus meningkat dan diprediksi mencapai 11,3 persen pada tahun 2020. Pertumbuhan lansia merupakan tantangan yang tidak ringan bagi pembangunan nasional karena lansia merupakan kelompok yang rentan jatuh ke dalam kemiskinan, ketelantaran, dan masalah kesejahteraan sosial lain akibat menurunnya tingkat pendapatan, produktivitas, kesehatan, dan kemampuan sosialisasi. Karena itu, perlu upaya serius dari kita semua untuk menjadikan lansia sebagai aset sumber daya manusia yang tetap sehat, produktif, mandiri, sejahtera.

Kementerian Sosial sendiri menyediakan berbagai program perlindungan sosial bagi lansia melalui bantuan sosial, penguatan asistensi sosial, dan penguatan layanan sosial berbasis komunitas bagi warga lansia. Pelayanan diberikan melalui panti-panti pendampingan sosial lansia berbasis perawatan rumah (homecare). Ini merupakan model rehabilitasi sosial dengan mengutamakan peran masyarakat dalam keluarga. Dalam rangka mendorong terciptanya lingkungan inklusif bagi lansia, Kementerian Sosial telah mengeluarkan Permensos Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Ramah Lanjut Usia.

Keenam, Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas. Berdasarkan SUSENAS Tahun 2018, sekitar 9%-12% penduduk Indonesia atau sekitar 30 juta jiwa merupakan penyandang disabilitas sedang dan berat. Angka ini bertambah dari sekitar 8,56% atau 22 juta jiwa berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2015. Disabilitas ditemukan di seluruh kelompok usia, termasuk usia produktif,  meski prevalensinya lebih banyak terjadi pada kelompok lansia. Data Kementerian Tenaga Kerja Tahun 2013 menyebutkan bahwa diantara sekian banyak penyandang disabilitas yang menganggur, 23,9% diantaranya berstatus sebagai Kepala Rumah Tangga yang sangat berperan dalam perekonomian keluarga. Ini menunjukkan bahwa rantai kemiskinan di kalangan penyandang disabilitas merupakan masalah yang krusial.

Upaya yang saat ini tengah digalakkan oleh Kementerian Sosial adalah dengan memperkuat skema perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas melalui bantuan sosial (seperti PKH, BPNT, PIP, ASPDB dan Aslut), penguatan asistensi sosial, dan penguatan layanan sosial berbasis komunitas bagi warga penyandang disabilitas. Penyelenggaraan pelayanan bagi warga penyandang disabilitas oleh Kementerian Sosial antara lain berbasis panti, homecare, dan daycare. Dalam rangka pemenuhan hak untuk bekerja, Kementerian Sosial telah bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja di bidang industri. Kementerian Sosial juga mejalin kerja sama dengan sedikitnya 97 perusahaan swasta untuk penyaluran tenaga kerja penyandang disabilitas yang telah mendapatkan pelatihan vokasional dari Kementerian Sosial.

Pentingnya pembangunan yang inklusif dalam upaya menjawab tantangan pembangunan kesejahteraan sosial, khususnya dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan, semakin menemukan kontekstualitasnya dengan kehadiran revolusi industri 4.0. Apa yang dimaksud dengan industri 4.0 adalah suatu situasi kerja di mana manufaktur terhubung secara digital yang ditopang oleh empat unsur, yaitu internet of things, big data, cloud computing, dan artificial intellegence. Digitalisasi juga merambah industri-industri lain. Peran-peran produksi yang selama ini dikerjakan oleh tenaga manusia di era industri 4.0 akan digantikan oleh program-program digital sehingga banyak sektor pekerjaan yang hilang. Mesin-mesin pintar akan menggantikan banyak pekerjaan manusia, tidak hanya pekerjaan yang bersifat repetitif seperti halnya di pabrik-pabrik tetapi juga beragam profesi non-repetitif seperti akuntan, analis keuangan, konsultan, dokter, penerjemah, arsitek, pustakawan, telemarketer, kasir, pegawai pos, teller, agen, dan sebagainya. Di Amerika Serikat misalnya, 48.000 teller bank harus dirumahkan atas alasan efisiensi akibat berkembangnya sistem online perbankan telah memudahkan proses transaksi layanan perbankan. Menurut Prof. Ir. Dwikorta Karnawati, M.Sc. (Kompas, 2019), 35 persen jenis pekerjaan manusia yang dipelajari di perguruan tinggi saat ini akan hilang dalam lima tahun mendatang dan 75 persen dalam 10 tahun ke depan. Bahkan menurut McKinsey, sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan di Indonesia berpotensi digantikan oleh sistem digital. Sementara menurut laporan World Economic Forum (2018), diprediksi sebanyak 133 juta pekerjaan akan tercipta karena perkembangan teknologi namun 75 juta di antaranya tidak akan dilakukan oleh manusia.

Salah satu tantangan ke depan yang dihadirkan oleh revolusi Industri 4.0 bagi pembangunan kesejahteraan sosial dengan demikian adalah pengangguran massal akibat tenaga manusia digantikan oleh robot dan algoritma. Industri 4.0 mengarah ke digitalisasi yang membutuhkan kerja otak daripada kerja otot sehingga blue collar atau buruh kasar akan digeser oleh white collar yang lebih mengedepankan intelejensi. Akibatnya, sebagian masyarakat akan tertinggal karena lapangan pekerjaan yang tumbuh berkembang semakin memerlukan kapasitas intelektual yang memadai. Tantangan tersebut harus dapat diantisipasi dengan transformasi pasar kerja dengan mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri dan kebutuhan keterampilan. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan adalah keterampilan dan kompetensi SDM harus tetap secara konsisten ditingkatkan sesuai kebutuhan pasar kerja yang semakin lama semakin pesat berkembang. Perhatian besar dalam hal ini patut diberikan kepada masyarakat perdesaan yang umumnya tanpa intelektualitas dan keterampilan yang memadai sehingga sangat rentan tereksklusi akibat tidak adanya peluang untuk mengakses lapangan pekerjaan.

Mencermati tantangan tersebut, maka membangun sebuah kerangka kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang inklusif bagi masyarakat perdesaan menjadi penting. Ada dua alur yang saling terkait dalam respon ini, yang keduanya terkait dengan komitmen kita untuk mengurangi angka kemiskinan dalam jangka panjang dan merespon bagaimana masyarakat bawah mampu terlibat dalam persaingan tenaga kerja di era industri 4.0. Dalam pembangunan yang inklusif, upaya mengurangi kemiskinan merupakan tujuan utama. Untuk mencapai tujuan ini, pertumbuhan yang inklusif tergantung dari tiga komponen penting: keberhasilan memaksimumkan kesempatan atau peluang ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat; ketersediaan jaringan pengaman sosial bagi seluruh lapisan masyarakat; dan keberhasilan menjamin keadilan akses terhadap kesempatan kerja (Hill, Khan, Zhuang, 2012).

Pemerintah Indonesia sendiri telah menyatakan optimismenya dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0. Dalam Roadmap Making Indonesia 4.0., Revolusi Industri 4.0 merupakan peluang untuk merevi­talisasi sektor manufaktur Indonesia dan menjadi salah satu cara untuk mempercepat penca­paian visi Indonesia untuk menjadi 10 ekonomi terbesar di dunia. Implementasi Making Indonesia 4.0 “…diyakini akan membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi di tahun 2030; mengembalikan angka nett export industry 10%; menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 7-19 juta; meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat; serta mengalokasikan 2% dari GDP untuk aktivitas R&D teknologi dan inovasi atau tujuh kali lipat dari saat ini” (Kemenperin, 2018).

Revolusi industri 4.0 juga pada dasarnya membuka kesempatan lapangan pekerjaan yang baru, seperti pengelola dan analisis data digital, operator mesin robotik, dan usaha-usaha mandiri lain yang memanfaatkan teknologi digital. Dengan teknologi digital, pengelolaan bisnis tidak lagi berpusat pada kepemilikan individual, tetapi menjadi pembagian peran atau kolaborasi atau gotong royong atau kita kenal dengan shared economy. Go-Jek menjadi contoh aktual. Go-Jek pada Juni 2016 bervaluasi sebesar 17 triliun dan meningkat menjadi 24 triliun di 2018, padahal Go-jek sama sekali tidak memiliki armada tetapi bermitra dengan lebih dari 400 ribu pemilik kendaraan di tahun 2018. Revolusi industri 4.0 sejatinya menyajikan peluang yang luas bagi siapapun untuk maju. Teknologi informasi menyebabkan semua orang terhubung di dalam sebuah jaringan sosial yang sangat besar. Dengan jaringan yang besar, informasi akan melimpah sehingga menyediakan manfaat yang besar bagi perekonomian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, sekalipun kesempatan kerja di era Industri 4.0 ini cukup besar, pengentasan kemiskinan tidak secara otomatis terjadi tanpa adanya kesetaraan dalam memperoleh kesempatan kerja. Ketimpangan dalam akses terhadap kesempatan kerja sering kali terjadi karena adanya perbedaan pada kemampuan sumber daya manusia (SDM). Kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang memadai tidak mampu bersaing dengan kelompok masyarakat yang lebih kaya. Mereka dihadapkan pada kondisi persaingan yang tidak seimbang (uneven playing field). Ini menyebabkan ketidakmampuan kelompok masyarakat miskin dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pertumbuhan.

Mencermati hal tersebut, dalam kerangka kebijakan pembangunan inklusif berbagai intervensi yang dapat berkontribusi pada pembangunan kesejahteraan sosial harus menjangkau dimensi-dimensi sosial yang lebih luas seperti pemerataan, pemberdayaan dan penguatan hak ekonomi, sosial dan budaya, daripada membatasi ruang lingkup hanya ke persoalan pendapatan yang ditargetkan dan transfer bantuan untuk meningkatkan konsumsi. Misalnya, mendorong keberfungsian sosial dan ekonomi para penyandang disabilitas atau lanjut usia, membangun kesadaran hukum di tengah masyarakat untuk melindungi kelompok minoritas, mendorong perubahan sikap dan perilaku masyarakat miskin dan membekali mereka dengan keterampilan agar mereka mampu bersaing di pasar kerja dan di level yang lebih tinggi, memberikan pendampingan kewirausahaan, mengadvokasi kaum perempuan berkaitan tentang hak-hak mereka dan bagaimana mengakses hak-hak tersebut, mendorong para pekerja untuk berani mengklaim hak-hak mereka, membuka akses masyarakat terhadap fasilitas perbankan, dan sebagainya.

Dihadapkan pada tantangan dan kebutuhan membangun daya tahan masyarakat secara berkelanjutan di era Industri 4.0 ini, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menghadirkan kelembagaan yang kapabel dan SDM yang kompeten. Segenap Sivitas Akademika di Perguruan Tinggi, tidak terkecuali UIN Jakarta, sebagai bagian dari sokoguru pembangunan Indonesia diharapkan dapat berperan secara nyata turut aktif membangun jati diri bangsa. Dengan predikat cendekiawan atau intelektual, kaum terpelajar diharapkan mampu mengambil peran secara proaktif dalam momentum revolusi industri 4.0.

Selain pengajaran dan penelitian, Tri Darma Pendidikan menuntut Sivitas Academika untuk melakukan pengabdian di dalam masyarakat. Program pengabdian masyarakat seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) sangat penting diintensifkan. Namun, kampus juga dapat mulai mengembangkan konsep yang berkelanjutan bagi pembangunan masyarakat khususnya di perdesaan dan membangun suatu semangat akademik untuk mencetak pekerja-pekerja sosial (social workers) yang handal. Kampus juga diharapkan menyediakan kurikulum yang menumbuhkan watak yang inklusif, yaitu mencetak mahasiswa yang mempunyai sensitivitas terhadap masalah-masalah kesejahteraan sosial di dalam masyarakat. (ns)

Catatan:

Artikel ini merupakan bahan ceramah yang disampaikan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pada Kuliah Umum bertema “Memperkuat Ketahanan Desa dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0” dalam rangka pelepasan peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa UIN Jakarta di Auditoriun Harun Nasution pada 22 Juli 2019.