Membaca Monuver Politik Golkar Abu Rizal Bakrie

Membaca Monuver Politik Golkar Abu Rizal Bakrie

[caption id="attachment_9414" align="alignleft" width="300"]UIN Jakarta DR Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta[/caption]

Oleh : Gun Gun Heryanto

Akhirnya Partai Golkar memutuskan untuk menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) selambat-lambatnya tahun ini pada bulan Juni, sekaligus mendeklarasikan dukungannya kepada pemerintah yang di pimpin Jokowi-JK. Penting untuk memaknai keputusan Rapimnas Golkar yang berakhir Senin, (25/01/2016) itu.

Dalam konteks substansi komunikasi politik, apa yang dilakukan Golkar kubu Abu Rizal Bakrie (ARB) ini sesungguhnya belum menyentuh persoalan utama, yakni menyatukan kembali Golkar yang terkoyak. Oleh karena itu, menarik memaknai monuver poitik ARB dkk ini secara kritis.

Putusan Rapimnas Golkar dengan nuansa dramaturgi dan mekanisme pertahanan diri. Dramaturgi bisa diamati  dari gelaran Rapimnas yang secara optimal dijadikan panggung politik ARB yang mencoba menebar pesonanya sebagai “negarawan” yang tak lagi berambisi menjadi Ketua Umum Golkar kedepan sekaligus menjadi pahlawan karena memutuskan setuju munaslub ketika mayoritas dewan pengurus daerah tingkat 1 menolaknya. Kesan yang ingin dibangun adalah ARB masih menjadi tokoh sentral menentukan tidak egois, dan punya komitmem kuat menyelesaikan konflik internal yang berlarut-larut.

Mekanisme pertahanan diri terbaca dari upaya menjadikan Rapimnas sebagai pengkondisian instrumental bagi langkah politik kubu Abu Rizal Bakrie dikemudian hari. Kubu ARB menjalankan strategi ganda. Pertama mendorong proposal negosiasi ke pemerintah untuk dapat pengakuan kepengurusan. Langkahnya cukup cerdik dan politicking. Rapimnas memutuskan untuk memutar haluan politik Golkar dengan menyatakan dukungan ke pemerintah tetapi disaat bersamaan membeli waktu (buying time) untuk mengesahkan dukungan resminya ke pemerintah melalui munsalub.

Jadi sesungguhnya Golkar belum benar-benar mendukung pemerintah Jokowi-JK hingga dukungan tersebut disahkan di munaslub. Artinya ada jeda waktu empat hingga lima bulan sebelum munasnlub yang memungkin menjadika Golkar “bola liar”. Golkar kubu ARB mencoba memainkan kepiawaian negosiasinya dengan menjadikan dua tawaran yakni setuju menggelar munaslub dan dukungan ke pemerintah dengan barter kepengurusan munas Bali diakui dan disahkan terlebih dahulu oleh pemerintah. Logika dalam negosiasinya, kepengurusan hasil Munas Bali mendesak disahkan pemerintah alasanya karena diperlukan untuk memberi kepastian bisa tidaknya menggelar munaslub. Strategi ini memberikan umpan lambung bola panas kepemerintahan untuk turut menyelesaikan konflik Golkar. Jika pemerintah tidak mengeluarkan surat keputusan tentang kepengurusan yang sah, ada alasan munaslub gagal digelar dikemudian hari, yakni tidak adanya niat baik dan niat politik pemerintah menjustifikasi kepengurusan yang bisa menggelar munaslub tersebut.

Sebaliknya jike pemerintah setuju menegluarka surat keputusan , kubu ARB untung banyak. Kubunya akan memiliki legitimasi pengurus yang sah, menyingkirkan rival utamanya, Agung Laksono dkk dari gelanggang pertarungan sekaligus berpotensi mencicipi kue kekuasaan dengan masuk menjadi barisan pendukung pemerintah.

Kedua, melalui Rapimnas juga ada pengkondisian internal yang diberlakukan ARB untuk melihat arah pergerakan dukungan baginya dari penguruh Golkar daerah dan organisasi-organisasi sayap utamanya. Hal ini diperlukan karena ARB membuka ruang negosiasi seandainya munaslub benar-benar terealisasi. Tawaran ARB adalah dirinya tidak akan maju lagi menjadi calon ketua umum. Akan tetapi tidak aka nada negosisasi gratisan! Kubu ARB  merancang skenario memperbesar kewenangan Ketua Dewan Pertimbangan. Kabar yang berembus, ARB dirancang mengisi Ketua Wntim dengan mengokohkan satu kewenangannya yakni menetapkan calon dan wakil calon presiden dari Golkar di Pemilu 2019. Golkar punya sejarah terlalu besarnya kewenangan Dewan Pembina di era Soeharto. Saat itu Dewan Pembina bisa membatalkan kebijakan /keputusan DPP Golkar dalam keadaan mendesak. Akankah ARB mengulang dalam kondisi yang sama dengan Golkar di era Orde Baru? Jika dia diberi kewenangan menjadi veto player menentukan masa depan Golkar, peluang ARB untuk mencekeramkan kekuasaan di Golkar nyata adanya. Jika tulus mau menyelasaikan konflik, seharusnya ARB membangun komunikasi politik yang intens dengan semua pihak yang terlibat konflik internal termasuk kubu Agung Laksono dan menggelar Munaslub bersama-sama. Konflik politik tidak akan selesai dengan kuadran dominative melainkan harus kuadran negosiasi kolaboratif atau integrative.

DR Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel telah dimuat di harian Fikiran Rakyat terbit edisi 28 Januari 2016.