Media Zainul Bahri: Gagasan Pluralisme Agama pada Masyarakat Teosofi Indonesia

Media Zainul Bahri: Gagasan Pluralisme Agama pada Masyarakat Teosofi Indonesia

[caption id="attachment_13245" align="alignright" width="300"]Media Pakar pendidikan Hongkong Prof Henry Ma dan pakar pendidikan Korea Selatan Prof Kim memperesentasikan makalahnya tentang pendidikan pada International Conference on Social Sciene and Business pada 27 Agustus 2016 di Jepang[/caption]

Gedung Rektorat, BERITA UIN Online-- Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada MA menugaskan dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuludin Dr Media Zainul Bahri MA untuk mengikuti kegiatan International Conference on Social Sciene and Business pada 25-27 Agustus 2016 di Jepang.

Dalam konferensi tersebut, Media berkesempatan mempresentasikan makalahnya tentang The Indonesian Theosophical Society (1900-1940) and The Idea of Religious Pluralism pada Sabtu (27/8/16).

Dalam makalahnya, Media mengurai suatu episode dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia, yaitu gagasan pluralisme agama pada Masyarakat Teosofi Indonesia (MTI), suatu kumpulan masyarakat terpelajar di Nusantara yang eksis pada rentang waktu 1901 hingga 1933 yang anggotanya didominasi Kaum Priyayi Nusantara (Jawa dan Sumatera), orang-orang Belanda dan Eropa non Belanda.

Menurutnya, gagasan mereka yang bergairah mengenai pandangan dan sikap keberagamaan yang inklusif-pluralis pada masa itu sesungguhnya terkait erat dengan ajaran perenialisme, humanisme religious, Kejawenisme, Islam Jawa dan pandangan Sufistik sufi-sufi Islam yang mereka anggap banyak mengidealisir gagasan mengenai pluralism agama.

“Tampak pula bahwa Islam, atau tepatnya para anggota teosofi Muslim Jawa telah memberi warna yang sangat kental (berpengaruh) bagi pandangan, nafas, cita-cita, dan sikap keagamaan gerakan teosofi Indonesia yang tidak pernah terjadi pada gerakan teosofi dimanapun di dunia ini,” ujar Media.

Pandangan keagamaan yang mendalam dan wawasan yang luas pada MTI, lanjutnya, lahir sebagai hasil dari pergumulan banyak ide dan perjumpaan dengan bangsa-bangsa Eropa, Amerika, India, Cina, dan kekayaan kultur bangsa sendiri, terutama kultur jawa yang condong kepada harmoni.

Selain presentasi, dosen matakuliah Kitab Suci Agama-agama dan Filsafat Agama-agama itu juga mengikuti presentasi dari pakar pendidikan Hongkong Prof Henry Ma dan Korea Selatan Prof Kim.

Bagi Henry Ma, tidak ada jalan lain untuk menghadapi semua lini tantangan kini dan di depan, selain model pendidikan yang mengajak anak didik untuk kreatif, kritis, dan imajinatif dengan berbagai variasi dan modifikasinya. Menurut pakar pendidikan yang aktif mengkampanyekan "Pendidikan Kreatif" di Hongkong ini, titik tekannya adalah kreatif dan kritis (kognitif).

Sementara bagi Kim (dengan pengalaman Korea), model pendidikan yang paling beradab dan kokoh adalah model dengan basis simpati dan empati (homo empaticus). Titik tekannya adalah intuisi.

“Inilah yang kini banyak hilang dalam dunia pendidikan modern, sehingga banyak para pendidik dan anak didik tidak lagi humanis. Di Indonesia, model mana yang dikembangkan?” tutup Media dengan meninggalkan pertanyaan untuk para pakar pendidikan. (mf)