May be Yes,May be No

May be Yes,May be No

 
COBA renungkan iklan rokok di televisi berikut ini. Kapan mau nikah? Kapan? Pemuda tampan yang ditanya tadi menjawab, ”May...”.”May be yes,may be no”.

Iklan ini ingin menyampaikan pesan bahwa rokok yang dipromosikan mengandung nikotin ringan, enteng, sehingga layak dinikmati. Enjoy aja, katanya. Lalu, jawaban ”May..” kesan pertama kawinnya bulan Mei nanti. Tetapi secara jenaka dan enteng lalu diteruskan, ”May be yes,may be no”. Mungkin mau nikah, tetapi mungkin juga akan hidup bujangan saja.

Iklan ini hampir-hampir menunjukkan realitas dan kondisi rumah tangga kalangan artis dan selebriti yang begitu rapuh. Kerapuhan rumah tangga tentu saja tidak hanya terjadi di kalangan artis. Namun karena selebriti, kondisi rumah tangga mereka yang laris manis menjadi bahan gosip dan konsumsi televisi, menjadi sorotan publik.

Konsep berumah tangga masyarakat desa dan orang kota tampaknya berbeda, terutama orang kota yang tergolong selebriti,mandiri,dan secara ekonomi berkecukupan.Di desa,kalau seorang wanita sudah menginjak umur dua puluh tahun,orangtuanya sudah mulai khawatir kenapa belum memiliki calon jodoh yang jelas. Sebaliknya perempuan kota yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan cukup mengalami perubahan besar dalam melihat lembaga perkawinan.

Begitu Rapuhkah Lembaga Perkawinan?

Coba sekali-sekali mengikuti acara seputar kehidupan selebriti melalui televisi. Hampir semua aspek dan sepak terjang kehidupan mereka dijadikan komoditas pemberitaan dan manjur untuk menjaring iklan sponsor. Sejak dari proses perkenalan, makan dan jalan bareng, sampai dinyatakan ”jadian” sebagai pacar, semuanya menjadi sajian harian dengan rating tinggi.

Menjadi masalah ketika kehidupan rumah tangga figur-figur yang menjadi pujaan masyarakat itu ternyata berantakan. Lalu antara suami dan istri yang sudah retak itu saling mengeluarkan pernyataan yang tidak etis.Mereka saling menggugat dan membuka aib masing-masing. Bayangkan, bagaimana perasaan keluarga dekat, entah anak, orangtua, mertua, ataupun adik mereka menyaksikan pameran aib yang sangat tidak terpuji itu? Pasti hatinya ikut terluka dan sedih.

Lalu di mana pengaruh pendidikan agama, keluarga maupun perguruan tinggi selama ini, yang mengajarkan bahwa setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelemahan? Lebih tercela lagi kalau aib sesamanya diumbar ke publik, bukannya ditutupi sambil mencari penyelesaian secara rasional dan bersahabat. Lebih menyedihkan lagi mengingat orang yang dikecam dan dibuka aibnya itu adalah orangtua dari anak kandung mereka sendiri.

Jadi, bangunan keluarga demikian tidak saja rapuh,namun juga kehilangan kepekaan serta standar etis dan moral publik. Berikut indikator lain bahwa konsep rumah tangga telah berubah.Ada beberapa artis dan bintang iklan terang-terangan mengaku punya anak,namun ayahnya tidak jelas,atau dirahasiakan sehingga masyarakat menyimpulkan bahwa anak itu lahir di luar ikatan pernikahan.

Apakah mereka nikah atau tidak,itu urusan pribadi mereka berdua, tidak baik untuk menghakimi tanpa bukti. Namun jangan salahkan masyarakat yang berprasangka negatif kalau mereka sendiri tidak mau menyebutkan siapa ayah anak itu. Contoh di atas dikemukakan hanya untuk menunjukkan bahwa standar, konsep, dan persepsi tentang perkawinan memang sudah berubah.

Sebelum melangsungkan akad nikah, biasa saja bila calon pasangan selebriti membuat perjanjian dan deklarasi tertulis tentang harta kekayaan masingmasing, agar kalau terjadi perceraian memudahkan untuk pembagian harta. Gejala ini mengisyaratkan bahwa perceraian itu tampaknya dianggap lumrah dan sudah siap-siap sejak awal menikah. Lagi-lagi peristiwa semacam ini bukan lagi dianggap tabu dan malapetaka sebagaimana orangtua dulu memandangnya.Oleh sebagian selebriti, hal itu dijalani dengan enteng.

”Masih banyak calon pasangan lain, mengapa mesti dipusingkan?” mungkin begitu mereka pikir. ”Enjoy aja...”, kata iklan. Dan tentu bagi televisi akan menjadi sumber berita yang mendatangkan iklan. Gosip, gosip, gosip...semakin digosok semakin sip. Jalan pikiran pemirsa pun telah teracuni. Pasangan selebriti yang lagi tidak akur, sedang bertengkar, dan perang dingin, dikompor-kompori dan dipancing-pancing oleh wartawan untuk saling adu pernyataan.Suasana pun bukannya malah membaik dan mendorong untuk rekonsiliasi, melainkan semakin lebar dan menajam konfrontasinya. Mengapa mesti begitu?

Anugerah dan Amanah

Dalam ajaran Islam, pernikahan itu merupakan perjanjian agung dan suci yang dikukuhkan dengan kesamaan iman, cinta kasih, dan kesediaan untuk berkorban. Salah satu bentuk pengorbanannya adalah menahan diri dan belajar memahami serta menerima kelebihan dan kekurangan masingmasing.

Lalu dengan iman dan cinta, masing-masing berusaha mendukung yang lain untuk tumbuh, bukannya menindas dan mengeksploitasi. Ikatan pernikahan, menurut Islam, disejajarkan dengan perjanjian agung antara Tuhan dan para rasul-Nya untuk menerima amanah menyebarkan kabar keselamatan dan memakmurkan muka bumi. Bayangkan, apa jadinya bumi langit seisinya yang telah diciptakan Tuhan jika tak ada penghuninya?

Untuk menjaga dan memperbanyak penghuni,Tuhan menganjurkan pernikahan. Jadi, posisi pernikahan itu suci, mulia, dan merupakan ibadah. Dengan demikian,membangun lembaga rumah tangga harus dengan niat sebagai ibadah, dan mesti dijaga kesucian serta kemuliaannya. Pernikahan itu anugerah Tuhan yang mesti disyukuri sekaligus amanah Tuhan yang mesti dijaga dan dipertanggungjawabkan.

Pernikahan bukan suatu kontrak bisnis dengan kalkulasi untung-rugi secara material dan fisikal, tetapi sebuah aktualisasi diri dan partisipasi dalam proyek Tuhan untuk memakmurkan bumi, meneruskan keturunan, dan membangun peradaban. Itulah sebabnya semua agama besar dunia sangat mengutuk perceraian dan sangat menganjurkan agar suami-istri saling mencintai dan menghargai di jalan Tuhan.

Tanpa iman dan cinta kasih, semua kemegahan duniawi, sejak dari harta, anak, pangkat,rupa,dan ilmu akan berubah menjadi kutukan dan sumber malapetaka serta pertengkaran. Coba saja amati, ada yang ribut-ribut berebut anak, harta, dan saling membuka aib masingmasing. Bukankah hidup itu sebuah anugerah dan festival yang mesti dirayakan dan disyukuri?

Kita mesti menyadari, pernikahan itu bertemunya dua pribadi yang berbeda dan penuh dengan sumber perselisihan.Tetapi dengan kesadaran iman, cinta kasih, kesediaan untuk saling belajar dan berkorban, rumah tangga tak ubahnya sebuah rekreasi yang mengasyikkan. Kita bertemu teman sejati di perempatan jalan kehidupan, berjalan secara pasti sambil menikmati taman dunia,melangkah menuju kampung ilahi bertemu Tuhan Sang Kekasih.
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 18 Juli 2008