Manuver Komunikasi Kekuatan Oposisi

Manuver Komunikasi Kekuatan Oposisi

DI penghujung proses kandidasi, manuver komunikasi kian intens dilakukan ragam kekuat­an yang memiliki kepentingan pada paket pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Di kubu petahana (incumbent), manuver yang dilakukan partai-partai yang menyatakan diri akan mengusung Jokowi sebagai capres, se­pertinya sudah di tahap ‘panggung’ yang mulai solid (solid stage).

Jokowi tinggal menunggu momentum yang tepat untuk mengumumkan sosok cawapresnya, sambil berhitung peta kekuatan lawan dan sejumlah faktor politik dinamis kontekstual yang mungkin berubah di menit-menit akhir masa pendaftaran.

Di kubu oposisi, manuver justru sedang mengalami titik kulminasi. Ada manuver SBY yang giat membuka jeja­ring komunikasi dengan ragam pihak, Prabowo yang sedang menguji reaksi para calon mitra koalisi, dan PKS yang posesif dengan calon dari kader mereka. Sekaligus PAN yang giat memosisikan diri sebagai mediator di tengah kebuntuan komunikasi para pihak.

Pernyataan meragukan

Manuver terbaru yang memantik banyak spekulasi tentunya pernyataan Prabowo Subianto dalam acara pertemuan ulama di Hotel Menara Pe­ninsula, Jakarta, Jumat (27/7). Prabowo melakukan manuver komunikasi lewat pernyataan verbalnya. “Saya siap menjadi alat umat dan alat rakyat Indonesia. Tapi kalau saya tidak dibutuhkan dan ada orang lain yang lebih baik, saya pun siap mendukung kepentingan rakyat dan umat. Itu komitmen saya bahwa dengan segala kekuatan saya dan Gerindra.”

Pernyataan Prabowo bisa memunculkan beragam tafsir politis. Antara lain banyak pihak yang mengaitkan pernyataan tersebut dengan kesiapan Prabowo untuk berganti peran dari capres menjadi king maker yang akan mendorong sosok lain menjadi penantang Jokowi.

Benarkah manuver komunikasi Prabowo tersebut mengindikasikan akan ada perubahan komposisi pasangan dengan tiadanya nama Prabowo di daftar utama capres penantang Jokowi? Terlalu prematur untuk menyimpulkan Prabowo tak akan maju ke gelanggang pertarungan Pilpres 2019.

Ada dua alasan mengapa penulis meragukan simpulan Prabowo sudah pasti menjadi king maker. Pertama, kepentingan elektoral Gerindra di pemilu legislatif yang waktunya bersamaan dengan penyelenggaraan pilpres. Sekarang ini, ada tren naiknya perolehan suara Gerindra sebagai dampak coat-tail effect atau efek ekor jas dari pencapresan Prabowo.

Dalam psikologi politik, coat-tail effect maksudnya adalah orang-orang yang sudah sangat terpesona dengan sosok/citra seseorang. Arus besar yang terbaca dari persepsi basis konstituen pemilih Gerindra, mereka tahu, suka, dan bisa menerima serta akan memilih Prabowo sebagai capres mereka.

Singkatnya capres yang dipersepsikan layak menjadi penantang Jokowi oleh basis pemilih Gerindra ialah Prabowo Subianto. Jika Prabowo tidak jadi mencapreskan diri, apakah sosok baru di luar dirinya akan memiliki coat-tail effect setara atau lebih besarkah daripada yang didapat Gerindra dari Prabowo Subianto? Inilah jawaban mengapa arus utama di internal Gerindra akan tetap ngotot meminta Prabowo Subianto menjadi capres mereka. Jika tidak, bukan tak mungkin suara Gerindra akan stagnan atau bahkan menurun di pemilu legislatif karena kehilangan figur utamanya di panggung utama.

Kedua, nama Prabowo Subianto sejak 2014 telah menjadi ikon penantang Jokowi. Dikalahkan Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2014 membentuk polarisasi dukungan di masyarakat. Kelompok pro-Jokowi dan pro-Prabowo terpelihara hingga sekarang. Bahkan di momentum tertentu seperti saat terjadinya Pilkada DKI 2017, polarisasi itu mengkristal lagi dan menghangatkan suasana politik jelang Pilpres 2019.

Prabowo terus memopulerkan diri sekaligus berupaya meneguhkan identitas dirinya selaku penantang. Hasilnya elektabilitas dia terjaga di nomor dua di bawah Jokowi selaku petahana. Pertanyaannya, apakah Prabowo dan Gerindra akan benar-benar rela meninggalkan ‘investasi’ politik yang telah dibangunnya selama ini? Dua argumen inilah yang membuat penulis meragukan tafsir ucapan prabowo ini bermakna prabowo akan menjadi king maker.

Meksipun realitas politiknya, sebagai sebuah brand politik, Prabowo sulit memenangani kontestasi jika tak menemukan formula tepat terutama menyangkut figur cawapres dan isu strategis untuk penetrasi ke basis-basis pemilih baru di luar yang sudah dibentuknya sejak 2014.

Makna pesan Prabowo

Dalam bacaan komunikasi politik, pernyataan Prabowo lebih tepat dimaknai sebagai strategi komunikasi persuasif ke partai-partai yang potensial menjadi mitra koalisi menantang Jokowi. Prabowo menyatakan jika ada yang lebih baik daripadanya, dia bersedia untuk mendukung yang bersangkutan menjadi capres. Ini pilihan gaya komunikasi yang cukup berbeda dari kebiasaan Prabowo saat berkomunikasi di panggung politik menuju pencapresan.

Jika dilihat dari kebiasaannya, gaya komunikasi politik Prabowo biasanya bauran antara dynamic style dan controlling style. Merujuk ke tipologi gaya komunikasi dari Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku mereka, Human Communication (1994), dynamic style memiliki kecenderungan agresif karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented).

Sementara itu, the controlling style, biasanya sangat ketat mengendalikan kuasa (power). Pilihan gaya komunikasi Prabowo saat beretorika di pertemuan ulama tempo hari lebih memilih equalitarian style (gaya kesetaraan). Pada orang dengan gaya komunikasi ini, biasanya arus verbal dan nonverbalnya selalu mencoba dua arah (two way traffic communication). Terbaca dari pesan Prabowo yang membuka ruang kemungkinan soal figur yang bisa menjadi capres jika lebih baik dari dirinya.

Ada dua makna dari manuver komunikasi Prabowo itu. Pertama, Prabowo sepertinya sedang menguji reaksi partai-partai yang berpotensi menjadi mitranya dalam koalisi penantang Jokowi. Hal itu terkait dengan keseriusan mereka mendukungnya menjadi capres, dan respons serta manuver partai-partai jika diberi peluang menyebut figur di luar dirinya.

Jika diurai substansi pesannya, apa kriteria lebih baik yang Prabowo maksudkan? Jika memang kriterianya ialah modal dasar elektoral, yakni menyangkut elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas, sudah barang tentu Prabowo akan diposisikan tertinggi di antara figur lain di kubu partai-partai penantang Jokowi, baik dari PAN, Gerindra, PKS, maupun Demokrat. Artinya, manuver komunikasi ini digunakan Prabowo untuk menunjukkan kesan diri (self-impression) tidak egois dan mau membuka ruang dialog.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia, edisi Senin, 30 Juli 2018 (lrf)