Mandat Sosial Perguruan Tinggi

Mandat Sosial Perguruan Tinggi

Ahmad Tholabi Kharlie

REFLEKSI, anotasi, ataupun kritik terhadap sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi belakangan hangat diperbincangkan di ruang publik. Satu hal yang kerap menjadi catatan soal disparitas atau gap antara perguruan tinggi dan masyarakat. Perguruan tinggi dinilai asyik dengan dirinya, tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Sebutan sivitas akademika berada di menara gading tampak menemukan konteksnya.

Tridarma perguruan tinggi (triangle academic) yang merupakan instrumen untuk mendekatkan sivitas akademika dengan publik justru kerap menjadi sekadar pekerjaan rutin as usual business. Alih-alih memiliki nilai ideologis yang kontributif dan advokatif terhadap kepentingan publik, instrumen itu kerap disimplifikasi menjadi konversi poin untuk kepentingan laporan beban kerja dosen (BKD), sasaran kinerja pegawai (SKP), dan laporan-laporan sejenisnya. Meski secara administratif, pelaporan itu tetap penting sebagai bagian dari pertanggungjawaban kinerja sebagai dosen.

Kritik terhadap dunia pendidikan tinggi belakangan ini harus dibaca sebagai bagian dari upaya mengembalikan ekosistem perguruan tinggi berada di tengah masyarakat. Produk luaran yang dihasilkan perguruan tinggi harus merefleksikan kebutuhan sekaligus bagian dari solusi atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Perangkat ilmu pengetahuan berupa teori dan alat ukur dalam penelitian idealnya dipadukan dengan sikap sensitif terhadap persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Perguruan tinggi mestinya bersanding dengan masyarakat sebagai bagian dari mitra kolaborasi, sekaligus advokasi dalam menyelesaikan ragam persoalan di tengah masyarakat. Perencanaan penelitian bukan semata berdasar pada pagu anggaran, melainkan juga harus melampaui urusan teknis administratif itu.

Peran pemerintah melalui politik anggaran, politik kebijakan, serta badan riset, perguruan tinggi melalui sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, serta masyarakat mutlak dibutuhkan untuk menempatkan kerja akademik dalam bentuk hasil riset menjadi membumi dan bermanfaat bagi kepentingan publik. Keberadaan forum ilmiah juga harus terus dilakukan untuk membangun konektivitas antarpeneliti dan antar ilmuwan serta terciptanya transformasi pengetahuan dengan baik.

Interaksi peradaban
Pertemuan ilmiah yang kerap digelar pelbagai instansi, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi masyarakat sipil (civil society organization), dengan pelbagai skala yang digelar, dilihat sebagai ikhtiar untuk mempertemukan peradaban dunia melalui jalur ilmu pengetahuan. Tukar pikiran dan gagasan serta informasi antarilmuwan menjadikan perjumpaan ilmiah yang bernas. Terlebih, kemajuan teknologi informasi berbasis digital kian memudahkan kolaborasi ilmiah antarilmuwan dan peneliti.

Hal itu pula yang dilakukan dalam perhelatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang melibatkan para sarjana dan pemikir dari pelbagai negara yang membahas isu-isu aktual dikaji dalam perspektif kajian Islam. Indonesia, sebagai inisiator sekaligus host setiap tahunnya menempatkan sebagai negara yang memiliki profiling ideal untuk membincangkan isu keislaman, sosial, bahkan sains di negara dengan demografi masyarakat Islam terbesar di dunia dengan latar suku, agama, dan ras yang beragam.

Dalam konteks itu, Indonesia menjadi penggerak interaksi peradaban melalui jalur keilmuan dengan pendekatan studi keislaman. Seperti Konferensi Internasional yang digelar 1-4 Februari 2024 di UIN Walisongo itu membahas tentang peran agama sebagai bagian dari instrumen solutif dalam persoalan kemanusiaan mutakhir. Sejumlah isu dibahas, seperti nasionalisme, keadilan, gender, spiritualitas, minoritas, hingga krisis iklim.

Ikhtiar yang diinisiasi Kementerian Agama dan sivitas akademika perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri (PTKIN) itu akan menjadi snowball yang menyasar ke pelbagai sektor. Interaksi dan konektivitas jejaring intelektual-peneliti akan tumbuh berkembang, Gagasan dan capaian yang dihasilkan dari kegiatan itu akan menghasilkan pertemuan lanjutan yang menyebar ke pelbagai cakupan dengan keterlibatan banyak orang.

Dari perspektif geopolitik internasional, inisiasi itu semakin mengukuhkan peran Indonesia dalam kancah global, khususnya dalam isu perdamaian dan peran agama sebagai faktor penting dalam menyelesaikan konflik.

Mandat sosial
Ragam ikhtiar untuk mendekatkan eksosistem ilmu pengetahuan dengan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat merupakan perwujudan dalam rangka menunaikan mandat sosial (social mandatory) yang dimiliki kelompok intelektual. Meski saat ini tantangan bagi kelompok intelektual cukup kompleks, di tengah berlimpahnya arus informasi di tengah-tengah masyarakat.

Intelektual di abad modern, dalam catatan Francesco Antonelli (2010), memiliki cita-cita ideal, yakni sebagai penafsir kebutuhan massa (tindakan mediasi sosial), pemelihara pengetahuan tentang sejarah dan alam (tindakan kognitif), serta pembuat UU (tindakan normatif). Sikap itu muncul dari konsep kebenaran universal yang menempatkan kelompok ini memiliki superioritas moral, yakni memimpin dan mendidik massa.

Sayangnya, masih dalam catatan Antonelli, dalam rentang abad 19-20, kelompok intelektual menjadi tenaga kerja utama dalam menjalankan fungsi sosial yang kompleks melalui birokrasi pengetahuan, sistem informasi dan budaya, serta politik dan administrasi publik.

Latar sosial politik itulah yang melahirkan intelektual organik yang digulirkan Antonio Gramsci (1987), yakni intelektual yang terbirokratisasi (bureaucratized intellectual), yaitu mereka mengorganisasi massa dan pekerjaan sosial sekaligus menjadi objek yang terorganisasi dalam hierarki.

Di tengah perkembangan masyarakat yang dinamis dengan ditopang teknologi informasi yang masif, Antonelli menyebutkan situasi itu melahirkan intelektual molekuler (molecular intelectuals), yang memberi banyak peluang untuk melahirkan nilai dan proyek yang dapat diterapkan di tengah masyarakat serta memiliki peluang merealisasikan gagasan.

Fasilitas digital yang saat ini menjadi instrumen penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan makin kompatibel, dalam menunaikan mandat sosial oleh kelompok intelektual dengan memiliki ruang sekaligus peluang untuk menyampaikan gagasan, advokasi, dan eksekusi atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

Di saat yang bersamaan, peluang-peluang kolaborasi juga makin terbuka lebar. Pada akhirnya, seperti pernyataan Christopher Evans dalam The Micro Millennium (1979), "intelligence is the ability of a system to adjust appropriately to a changing world", sivitas akademika harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman yang sangat dinamis seperti saat ini untuk tunaikan mandat sosial, tak ada lagi ruang yang lain.

Penulis adalah Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di Media Indonesia, Senin 5 Februari 2024.