Makna Imsak dan Puasa

Makna Imsak dan Puasa

Dr. K.H. Syamsul Yakin MA: Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Secara etimologi, puasa yang dalam bahasa Arab berarti shiyam dan shaum sama artinya dengan imsak yang berarti menahan. Setidaknya itu pengertian yang dibuat oleh Syaikh Muhmmad bin Qasim al-Ghazi dalam karyanya Fath al-Qarib al-Mujib. Dalam bahasa kita, imsak dan puasa adalah dua kata yang berbeda dan sama dalam beragam pengertian.

Dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan puasa secara terminologi,  yakni menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkannya, disertai niat sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Yang membatalkan puasa adalah memenuhi syahwat perut dan kemaluan serta memasukkan benda nyata ke dalam rongga.

Allah SWT berfriman, “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah/2: 187). Nabi SAW bersabda, “Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq.” (HR. Bukhari).

Berdasar informasi di atas, bisa dipahami persamaan dan perbedaan antara imsak dan puasa. Pertama, puasa adalah imsak atau menahan. Tapi tidak setiap aktivitas menahan makan, minum, dan bersetubuh dinamakan puasa. Kedua, puasa memiliki waktu, yakni sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Ketiga, aktivitas menahan makan, minum, dan bersetubuh dari terbit fajar hingga matahari terbenam yang tidak disertai niat tidak dihukumi puasa menurut syariat. Perbuatan ini hanya memenuhi pengertian puasa secara etimologi, yakni imsak (menahan). Puasa tanpa niat sia-sia. Nabi SAW bersabda, “Amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud dengan niat puasa di sini adalah bukan membaca lafazh niat dalam bahasa Arab yang dilakukan sendirian atau berjamaah dan dipimpin oleh imam Tarawih. Menurut Salim bin Sumair dalam Safinah al-Najaa, niat itu adalah menyengaja sesuatu berbarengan dengan  melakukan perbuatan tertentu yang tempatnya di dalam hati.

Keempat, secara sosio-historis, imsak adalah penanda waktu, yakni sejak usai makan sahur sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan Subuh. Sepanjang waktu  imsak kita masih boleh makan dan minum. Dalam bahasa kita, sesudah adzan Subuh itu apapun aktivitas menahan bukan dinamakan imsak tapi dinamakan shiyam atau shaum (puasa) itu sendiri.

Memang ada yang menarik tentang imsak sebagai penanda waktu menahan yang ternyata adalah sunah. Zaid bin Tsabit berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi SAW kemudian beliau shalat”. Lalu aku bertanya, “Berapa lama jarak antara adzan Subuh dan Sahur?” Nabi SAW menjawab, “Sekadar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jarak antara sahur dan adzan Subuh yang menurut Nabi SAW sepanjang orang membaca 50 ayat Alqurann  itu adalah imsak dalam pengertian yang kita kenal selama ini. Di Indonesia, ulama mengantarai waktu imsak itu sepuluh menit. Berbeda dengan di Timur Tengah. Ulama di sana menetapkan waktu lima belas menit.

Terakhir, Nabi SAW memanfaatkan waktu imsak dengan membaca Alquran. Maka kita juga dapat  memanfaatkan waktu tersebut dengan ibadah serupa. Waktu imsak bukanlah waktu untuk tidur lagi, menonton televisi, atau berselancar di dunia maya (main gadget). Waktu imsak masih bagian dari waktu sahur. Kita bisa juga memanfaatkannya untuk istighfar hingga adzan Subuh.

Terbit di https://republika.co.id/berita/qa6v5b374/makna-imsak-dan-puasa (zm/sam)