Magnet Sekolah Negeri

Magnet Sekolah Negeri

Bulan Mei ini adalah masa orangtua mencari sekolah yang tepat untuk anak-anak mereka. Kegiatan ini menguras tenaga, pikiran, dan uang orangtua. Sekolah negeri menjadi pilihan pertama karena kualitas, gratis, atau jauh lebih murah dibanding sekolah swasta.

Keluarga dari kelas atas, menengah, apalagi miskin mengincar sekolah negeri. Setiap tahun, pendaftarnya selalu jauh lebih banyak dibanding kuota yang disediakan panitia. Kondisi ini sering dimanfaatkan oknum guru dan kepala sekolah untuk melakukan jual beli kursi.

Tiga Kategori

Tidak semua sekolah negeri memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP), baik di ibu kota, kota, pinggiran, maupun daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal). Fasilitas dan gurunya kurang sehingga proses pembelajaran pun berlangsung tidak efektif. Inilah sekolah negeri kategori nonfavorit.

Kualitas lulusan di sekolah ini biasa saja karena prosesnya yang tidak standar tadi. Sekolah ini dipilih bukan karena kualitas tetapi karena gratis atau murah. Sekolah negeri tetapi gurunya mayoritas honorer. Siswanya minim prestasi.

Hal ini jauh berbeda dengan sekolah negeri favorit yang jumlahnya tidak sebanyak sekolah sebelumnya. Di setiap kota jumlahnya bisa dihitung jari. Sarana dan gurunya di atas standar nasional pendidikan. Kurikulum dan manajemennya bagus. Kepala sekolahnya kreatif.

Siswa sering mengikuti aneka lomba dalam dan luar negeri bahkan kadang menjadi juara. Lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi negeri dan swasta favorit. Belajar di sini nyaman dan menyenangkan karena sarana memadai dan guru kompeten.

Orangtua memilih sekolah kategori ini karena kualitas. Seandainya berbayar mahal pun, orangtua yang mampu akan bersedia. Karena itu, persaingan masuk sekolah ini sangat ketat. Syaratnya tidak mudah, bahkan membutuhkan kesabaran saat pendaftaran daring (online).

Kategori lainnya adalah sekolah negeri yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan tetapi tidak berprestasi atau biasa saja. Meskipun fasilitas cukup, tidak mampu mengembangkan bakat dan potensi siswa karena kinerja guru dan kepala sekolah buruk.

Sekolah ini diminati masyarakat tetapi tidak menjadi rebutan meskipun persaingannya tetap ketat. Jumlah sekolah ini banyak, dan berada di antara sekolah favorit dan nonfavorit. Guru-guru di sekolah ini memerlukan kepala sekolah visioner yang mampu melecut motivasi belajar dan mengajar mereka. Tidak ada alasan malas karena secara ekonomi mereka yang PNS sudah sejahtera.

Syarat Penerimaan

Saat ini Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) menggunakan sistem zonasi secara daring. Sistem ini lahir karena sistem sebelumnya dianggap banyak kekurangan, di antaranya jarak sekolah dengan rumah siswa jauh, dan hanya berpihak kepada siswa cerdas.

Syarat utama penerimaan di sekolah negeri adalah jarak rumah siswa, bukan prestasi akademik: nilai rapor dan Ujian Nasional (UN). Semakin dekat rumah siswa, semakin besar peluang diterima di sekolah negeri. Nilai akademik dipertimbangkan tetapi kecil persentasenya.

Siswa yang jarak rumahnya jauh harus memiliki nilai akademik yang sangat bagus. Kecuali itu, yang rumahnya jauh sementara nilainya kecil harus melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa. Tidak sedikit orangtua yang memalsukan kartu ini demi masuk sekolah negeri.

Sistem zonasi ini memberi peluang bagi keluarga miskin di sekolah negeri pada satu sisi, tetapi tidak melarang keluarga kaya pada sisi yang lain. Keluarga kaya perlu dilarang atau setidaknya dibatasi karena sekolah negeri itu gratis atau sangat murah, dan jumlahnya sedikit di setiap kota, kabupaten, dan kecamatan.

Tanpa sekolah negeri, mereka bisa memilih dan membayar sekolah swasta bagus yang jumlahnya cukup banyak saat ini. Anak-anak dari keluarga miskin harus diberi peluang belajar di sekolah negeri daripada anak-anak keluarga kaya. Inilah di antara kelemahan sistem zonasi.

Kecerdasan Jamak

Sistem zonasi menghapus sistem yang hanya mementingkan kecerdasan akademik siswa. Selama ini sekolah negeri—apalagi yang favorit—mengumpulkan siswa-siswa cerdas berdasarkan nilai UN yang tinggi. Muncul pernyataan, jika fungsi sekolah adalah mencerdaskan, mengapa hanya menerima siswa-siswa yang cerdas saja.

Selaiknya, guru bisa menerima siswa dari beragam tingkat kecerdasan: sangat cerdas, cerdas, kurang cerdas, dan tidak cerdas. Setiap siswa, cerdas maupun tidak, berhak mendapatkan pendidikan yang baik. Sekolah negeri yang dibiayai penuh oleh pemerintah tidak boleh hanya dinikmati oleh siswa cerdas, apalagi dari keluarga kaya.

Tugas guru adalah mengajar dan mendidik siswa dengan baik sesuai standar. Jika guru mengajar dengan baik dan sungguh-sungguh, maka siswa dengan kecerdasan standar pun akan berprestasi. Biarkan siswa berkembang sesuai dengan kecerdasan dan bakatnya masing-masing.

Guru-guru yang merasa lebih nyaman dan lebih memilih mengajar siswa-siswa pintar saja seperti dulu, adalah pikiran keliru. Jika guru-guru PNS yang saat ini sudah sejahtera dengan berbagai tunjangan dari pemerintah pusat dan daerah, dan dengan fasilitas sekolah yang nyaman, hanya mau mengajar siswa-siswa yang cerdas di atas rata-rata, dengan alasan mengejar prestasi, siapa yang akan mengajar siswa-siswa dengan kecerdasan menengah dan rendah?

Bukankah seharusnya mereka yang PNS justeru lebih terpanggil mengajar dan mendidik siswa dari kalangan tidak mampu sekaligus rendah dalam kecerdasan? Dengan demikian, melalui pendidikan dasar dan menengah yang baik dari guru-guru, kelak mereka bisa berhasil meraih mimpi-mimpinya.

Akhirnya, setiap guru harus ingat bahwa kecerdasan akademik hanya satu di antara aneka kecerdasan anak. Jika siswa lemah dalam aspek akademik, maka guru dan kepala sekolah dituntut menemukan dan mengembangkan bakat siswa dalam bidang seni, olahraga, atau musik.

Keterbatasan fasilitas sekolah untuk mengembangkan bakat anak bisa diatasi dengan kemauan guru dan siswa yang kuat. Mereka pasti menemukan jalan keluar untuk pemenuhan alat-alat tersebut asalkan mau berusaha dan niat yang baik, tulus, dan ikhlas.

Sekolah yang hanya mengejar prestasi akademik akan membunuh bakat siswa dalam bidang tertentu. Sekolah yang hanya berorientasi akademik adalah sekolah gagal. Saatnya sekolah Indonesia mengembangkan pendidikan berbasis kecerdasan jamak (multiple intelligence) agar semua siswa mampu berprestasi (juara) sesuai dengan bakatnya masing-masing.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Media Indonesia, 27 Mei 2019. (lrf/mf)