Maaf dan Terima Kasih

Maaf dan Terima Kasih

COBA hitung dan renungkan, berapa banyak kita berbuat salah dan menyinggung perasaan orang setiap harinya? Entah kepada keluarga,teman,mitra kerja,atau anak buah.

Lalu, jumlahkan kesalahan itu setiap akhir pekan atau akhir bulan.Bayangkan,andaikan dalam komunikasi sosial tak ada kata maaf, entah dalam konteks minta maaf atau memberi maaf, betapa pengap dan tidak nyaman suasana serta relasi sosial di antara kita semua. Maaf merupakan kata magis, apalagi diucapkan sepenuh hati, membuat manusia semakin menjadi manusia. By forgiving one to another,we are all becoming more human. Orang yang enggan atau bahkan tidak pernah meminta maaf kepada orang lain pasti jiwanya tidak sehat.

Kepribadiannya mentah. Sebab, sesungguhnya tiada hari kita tidak berbuat salah, sengaja atau tidak sengaja, dan menyinggung perasaan orang lain yang ada di sekeliling kita.Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin banyak teman dan anak buah, maka semakin banyak pula seseorang berbuat salah, sehingga mestinya semakin banyak pula sering meminta maaf.

Di sisi lain, orang yang enggan dan pelit memberi maaf, jiwanya kurang sehat, karena lama-kelamaan endapan kesal, kecewa, dan benci kepada seseorang akan terasa semakin berat dan menjadi beban pikiran serta perasaan.

Orang yang memaafkan secara tulus sesungguhnya akan menyehatkan dirinya sendiri, karena dengan memaafkan, berarti dia mampu menerima kenyataan pahit, kemudian berusaha melupakan, dan seterusnya membuka lembaran baru yang putih dan segar. Dengan demikian, memaafkan, melupakan, dan membangun lembaran baru di hari esok adalah sumber kesehatan seseorang, masyarakat dan bangsa.

Tindakan memaafkan juga meringankan beban psikologis yang akan menyehatkan. Tentu saja, memaafkan yang sehat ada kalanya mesti disertai hukuman dan kemarahan sebagai pendidikan bagi mereka yang berbuat salah. Saya sering merenung, apakah bangsa ini mampu memaafkan terhadap sesamanya ataukah lebih senang balas dendam?

Memaafkan itu bukan aib, bukan pula menunjukkan pribadi yang lemah. Sebaliknya, hanya mereka yang lapang, berjiwa besar, dan memiliki rasa percaya diri serta menjalani hidup dengan ikhlas yang akan bisa memaafkan orang lain. Mungkin Nelson Mandela termasuk pribadi yang mampu memaafkan lawan-lawan politiknya sehingga jiwanya pun tampak sehat.

Berterima Kasih

Pasangan dari maaf adalah terima kasih. Kata ini juga memiliki kandungan makna yang amat mulia dan dalam. Jika kata maaf menyadarkan betapa kita sering membuat salah dan menyakiti orang lain, dalam kata terima kasih mengingatkan kita betapa banyak setiap harinya seseorangmenerimakebaikanhati dan pertolongan orang lain. Kita tidak bisa hidup tanpa bantuan dan kebaikan hati orang lain.

Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin banyak memerlukan bantuan orang lain, sehingga mestinya semakin banyak pula menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman atau keluarga yang telah memberi pertolongan. Menarik direnungkan, apa pun pemberian orang,dijawab dengan ungkapan ”terima kasih”. Entah pemberian itu berupa tenaga,materi, moral, dan bentuk apa pun lainnya, semuanya dijawab dengan kata terima kasih, bukannya menyebut materi yang diberikan.

Apa makna dan rahasia di balik ini semua? Maksudnya, dalam relasi sosial kita mesti saling berbagi cinta kasih. Dengan dorongan kasih itulah, kita tergerak untuk membantu orang lain sesuai dengan konteks dan kemampuan. Jadi, adalah kasih yang mendorong kita menolong orang lain,sehingga yang menerima akan merasakannya dan menjawab dengan kata ”terima kasih”.

Tanpa cinta kasih, perbuatan kita kehilangan makna dan efek positifnya menguap.Jalinan cinta kasih di antara kita yang terdalam adalah jika energi dan relasi kasih itu merupakan pancaran dari kasih Tuhan. Bukankah setiap melakukan perbuatan yang baik, kita dianjurkan mengucapkan ”Bismillahirrahmanirrahim”?

Maksudnya, hendaknya orang yang beriman menjadi penerus sifat kasih-Nya untuk menanamkan dan menyebarkan di manapun kita berada, dimulai dari kehidupan keluarga, tempat bekerja,lalu melebar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rasanya kehidupan bangsa ini sedang diterpa krisis nilai dan kejiwaan, enggan untuk saling memaafkan dan saling berterima kasih secara tulus.

Tanpa kedua nilai dan sikap itu, betapa pun melimpahnya sumber alam Indonesia, maka tidak akan mendatangkan kedamaian. Betapa pun kaya,pintar, dan tampan serta cantiknya pasangan suami-istri, kalau masingmasing egois, enggan saling memaafkan dan berterima kasih, maka pertengkaran dan perceraian yang terjadi. Coba perhatikan, pribadi yang matang, bangsa yang beradab, dan politisi yang berkualitas selalu keluar dari lisannya ucapan maaf dan terima kasih.

Contoh yang paling mutakhir adalah hubungan sosial-politik Hillary dan Obama.Betapa ketat dan mahalnya persaingan antara keduanya untuk memperebutkan posisi sebagai calon dari Partai Demokrat untuk menuju Gedung Putih. Namun, persahabatan dan persaingannya sangat memukau, penuh kecerdasan dan kesantunan dalam berpolitik.

Ketika Hillary kalah, dia memuji Obama dan menyatakan siap membantu sepenuhnya. Begitu pun Obama, dia sangat berterima kasih atas persahabatannya dan dukungannya dalam proses konvensi yang amat mahal itu. Dari segi ajaran dan nilai, para pengkhotbah baik di masjid, gereja, maupun wihara selalu menekankan agar kita saling memaafkan dan berterima kasih.

Kalau saja nilai dan sikap ini dihayati dan dipraktikkan,sejak lingkungan dan komunitas terdekat, pasti akan tercipta suasana yang damai,nyaman,dan kondusif untuk berprestasi.Sebaliknya, kebencian dan perasaan tidak dihargai akan membuat suasana tidak produktif bahkan cenderung saling menjegal.Maaf dan terima kasih yang disampaikan secara tulus akan membuka katupkatup penghubung empati dan simpati di antara kita yang sudah tertutup.

Energi maaf dan terima kasih akan memperlebar saluran sambung rasa positif yang semula menyempit. Akan lebih terasa kalau ekspresi maaf dan terima kasih diperkuat dengan tatapan mata simpati, senyum apresiasi, dan jabat tangan persahabatan, terjadilah pergeseran dari rasa ”ke-aku-an” menjadi ke ”ke-kami-an”dan ”ke-kita-an”.

Energi semacam inilah yang mesti kita sebarkan di Indonesia saat ini. Sebagai umat yang beriman, ditambah lagi melihat kondisi bangsa yang berjalan tertatih-tatih di tengah negara- negara lain yang berjalan melaju,tidak layak dan hanya merugi memelihara sikap saling membenci, memfitnah, dan menjatuhkan pesaingnya setiap ada peluang untuk berebut kursi kekuasaan,baik sebagai bupati, gubernur,maupun presiden.Persaingan dan kompetisi itu perlu, bahkan suatu keharusan.

Namun,mari kita buat kompetisi itu indah dan meriah bagaikan festival permainan sepak bola Eropa yangkitanikmatibeberapapekan ini. Siapa pun yang menang, mesti berterima kasih kepada yang kalah, karena tanpa lawan tanding tidak akan ada sang juara. Masingmasing saling memuji dan bersikap sportif di depan publik dan wasit. * Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 27 Juni 2008