Lukman Hakim Saifuddin Ajak Mahasiswa Jangan Ekstrem Beragama

Lukman Hakim Saifuddin Ajak Mahasiswa Jangan Ekstrem Beragama

Gedung Pustiknas, BERITA UIN Online – Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajak mahasiswa untuk tidak mengamalkan ajaran agama secara berlebihan atau ekstrem. Sebaliknya ajaran agama harus dipahami dan dijalankan secara moderat melalui pemahaman yang benar.

Hal itu dikatakan Lukman Hakim Saifuddin saat menjadi pembicara pada acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) bagi mahasiswa baru UIN Jakarta yang digelar secara virtual, Kamis (10/9/2020).

“Moderasi beragama di sini bukan berarti agamanya yang dimoderasi, melainkan cara kita memahami dan mengamalkan ajaran agama. Karena pada prinsipnya Islam itu sendiri sudah merupakan agama yang moderat atau sempurna,” katanya.

Menurut Lukman, ada dua faktor cara memahami ajaran agama yang benar. Pertama, secara ekternal, saat ini terjadi persaingan global dan persaingan hidup semakin ketat yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi informasi, maka manusia pun semakin mengalami stres. Oleh karena itu peran agama kemudian semakin urgen dan memiliki relevansinya sehingga manusia butuh pada agama.

Kedua, secara internal, dalam konteks keindonesiaan, penduduk Indonesia cukup besar dan memiliki wilayah yang luas. Selain itu juga memliki keragaman suku bangsa, etnis, budaya, dan agama. Bangsa Indonesia juga bahkan dikenal di dunia sebagai bangsa yang religius dan sangat menghormati kearifan lokal.

Agama dalam konteks ini menjadi sangat vital atau menduduki sangat penting bagi semua aspek kehidupan, baik dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bangsa, maupun dalam pemerintahan. Dengan kata lain agama menjadi pijakan ke mana orientasi dan tujuan bangsa akan diarahkan.

Karena agama itu penting dan strategis, maka bagaimana agama harus terjaga sehingga tidak berlebihan (ekstrem). Soalnya dalam beragama banyak sekali penafsiran atau multi tafsir, sehingga memunculkan beragam pendapat.

 “Jadi, sekali lagi, moderasi beragama itu berarti kita tidak terlalu mendewakan nalar dalam menerjemahkan teks-teks ajaran agama. Tetapi sebaliknya bagaimana kita mengontekstualisasikan ajaran agama sesuai tuntutan zaman,” jelas putra Menteri Agama era Presiden RI pertama Soekarno, KH Saifuddin Zuhri, itu. (ns)