Literatur Islam Indonesia: Radikal?

Literatur Islam Indonesia: Radikal?

Azyumardi Azra

Perbincangan tentang khazanah literatur Islam Indonesia menghangat ketika muncul pertanyaan, apakah di dalamnya ada kandungan ajaran dan paham ‘radikal’ atau ‘radikalisme’?

Pertanyaan ini muncul dan berkembang sejak awal milenium baru sampai sekarang ketika ada orang, sel, atau kelompok yang memegangi dan menyebarkan ekstremisme yang bisa berujung pada radikalisme dan terorisme di berbagai negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia atau di negara (seperti di Barat) di mana kaum Muslimin merupakan komunitas agama minoritas.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diingatkan kembali, dalam pembahasan tentang khazanah literatur Islam Indonesia sebelumnya jelas tidak ada ajaran ‘radikal’ atau ‘radikalisme’.

Turats Islam Indonesia dalam masa yang panjang sejak abad 16 sampai sekitar 20 tahun terakhir tak mengandung ajaran yang dapat mendorong kemunculan pemahaman dan gerakan ekstrem-radikal dalam masa kontemporer.

Absennya pemahaman dan paham radikal, bukan hanya dalam khazanah literatur kepulauan nusantara abad 16-19 yang kemudian mengalami transisi sejak awal abad 20.

Jika di masa sebelumnya, wilayah ini dikenal sebagai kepulauan nusantara atau wilayah ‘ashab al-Jawiyyin atau menurut penguasa kolonial ‘Hindia Belanda’, sejak awal abad 20, sebutan ‘Indonesia’ atau ‘Indunisiyyin’ terus meningkat penggunaannya.

Misalnya, organisasi pelajar Indonesia di Kairo yang semula bernama ‘al-Jam’iyah al-Khairiyah al-Thalabah al-Jawiyah’ berganti menjadi ‘Jam’iyah Thallabah Indunesia wa Malaya’.

Sejak masa ini, khazanah literatur bertambah kaya dengan perkembangan pemikiran dan gerakan modernisme atau reformisme dan juga pan-Islamisme.

Berbeda dengan khazanah literatur Islam kepulauan nusantara di masa sebelumnya (abad 16-19) yang bersumber dari Haramayn kosmopolitan, pemikiran Islam modernis-reformis banyak berasal dari Mesir.

Kairo sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 menjadi pusat pemikiran dan gerakan modernisme-reformisme Islam lewat tokoh seperti Muhammad Ali Pasya, Rifa’ah Badawi al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Thaha Husain, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Pembaharuan (islah dan tajdid) pemikiran dan praktik Islam yang dianggap bercampur dengan tradisi religio-sosio kultural lokal menjadi salah satu tema pokok literatur Islam Indonesia sejak dasawarsa awal abad 20. Tema pokok lain, menyangkut Islam dan politik dalam konteks negara Indonesia merdeka.

Khazanah literatur Islam masa ini mencakup pemikiran tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Agus Salim, Muhammad Natsir, Sukarno, HAMKA, Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali. Mereka mewakili corak pemikiran berbeda sejak dari modernis-reformis, pasca-modernis, traditionalis dan pasca-traditionalis.

Sejak awal abad 20 pula, bisa terlihat literatur Islam Indonesia kian kaya corak dan aliran pemikiran, yang bukan tak sering bertentangan satu sama lain. Pada saat yang sama juga kaya wacana vernakularisasi, indigenisasi, dan kontekstualisasi yang kemudian memperkuat khazanah literatur Islam Indonesia distingtif.

Hasilnya, khazanah literatur Islam Indonesia adalah sumber yang sangat kaya untuk dikembangkan lebih lanjut oleh ulama, pemikir, dan sarjana Islam Indonesia.

Namun, sejak akhir 1970-an muncul dan bertebaran literatur mengandung paham tak kompatibel dengan tradisi Wasathiyah Islam Indonesia—atau tegasnya mengandung pemahaman yang dapat mengarahkan pembacanya ke arah radikalisme.

Literatur seperti ini, umumnya terjemahan penulis seperti Abu al-A’la al-Mawdudi, Maryam Jameelah (Jamaati Islami Pakistan), Hassan al-Banna, dan Sayyid Qutb (al-Ikhwan al-Muslimin Mesir). Literatur seperti ini cukup populer di kalangan mahasiswa di kampus atau mereka yang kemudian menjadi anggota kelompok ‘usrah’ yang dipimpin ‘amir’ yang menolak otoritas negara.

Namun, rezim Orde Baru yang kuat mampu mencegah pemikiran dan gerakan seperti ini berkembang—mereka terpaksa bergerak ‘di bawah tanah’.

‘Eksplosi’ literatur radikal mulai terjadi sejak awal milenium baru berbarengan dengan liberalisasi politik Indonesia, peningkatan kemajuan teknologi komunikasi instan, dan konflik antara Barat dan dunia Muslim.

Peristiwa ‘Nine-Eleven’ (9/11/2001) di beberapa kota di AS yang diikuti penyerbuan Amerika ke Afghanistan (2001) dan Irak (2003) mendorong peningkatan radikalisasi di kalangan Muslim.

Dengan perkembangan itu, literatur yang mengandung paham radikal menemukan popularitas baru. Literatur yang dihasilkan pemimpin dan aktivis gerakan transnasionalisme semacam Alqaidah kemudian ISIS juga menyebar di Indonesia—termasuk lewat daring .

Di kalangan Muslim Indonesia, mulai muncul penulis yang menulis karya mengandung paham radikal. Menghadapi fenomena ini, literatur Wasatiyah Islam perlu kembali diperkuat. Produksi karya cetak dan online tentang Islam yang damai adalah kebutuhan sangat mendesak yang tak bisa ditawar lagi. (zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikel dimuat kolom Resonansi Koran REPUBLIKA, 6 Januari 2022.