Listening to the Sign of Nature

Listening to the Sign of Nature

DALAM beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita-berita mengenai musibah dalam berbagai bentuk.

Dari musibah dalam bentuk amuk antarkelompok massa, hingga amuk alam yang sama-sama menelan korban jiwa, harta, yang tak sedikit jumlahnya. Mendengar kejadian yang mengenaskan itu, tentu begitu mengguncang pikiran dan nurani, ditambah dengan suguhan gambar lewat televisi seakan semakin membawa kita pada sebuah episode drama kehidupan yang tidak pernah diimpikan siapa pun. Amuk massa ataupun amuk alam kelihatannya seperti sebab (cause) bagi lahirnya penderitaan bagi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat. Tercerabutnya nyawa tak berdosa oleh perseteruan massa atau luluh lantaknya harta benda, jiwa,  dan alam oleh amuk semesta, hanyalah sebagian dari realitas yang ditinggalkan peristiwa tadi.

Belum lagi efek trauma yang dialami mereka yang beruntung selamat dalam kejadian itu. Namun,  apakah benar bahwa fenomena amuk alam itu sebagai sebab (cause) atau akibat (effect) dari sesuatu yang lain? Suatu hari saya berbincang dengan seorang kawan dan dia bercerita tentang bagaimana lancarnya urusan yang dia kerjakan hari itu; dengan tersenyum, dia bilang “sepertinya hari ini, semesta merestui.” Tentu saja ini ungkapan untuk menunjukkan betapa senangnya dia karena hari itu semua pekerjaan dan rencananya berjalan seperti yang diinginkan. Namun, sesungguhnya ada implied meaning dari ungkapan itu, bahwa bila ada keselarasan antara manusia dan semesta alam, kehidupan akan terasa lebih nyaman, ringan.

Karena itu, barangkali ada benarnya bila dikatakan bahwa semakin pandai dan tajam indera kita mendengar tanda yang disuarakan alam, semakin lebih dekat kita dengan kehidupan yang damai. Sesungguhnya, alam memberikan sinyal-sinyal tentang apa yang akan terjadi. Namun sayangnya, semakin hari semakin terlihat bahwa tidak semua orang mau dan mampu menangkapnya. Kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam ini (sign of nature) biasanya dominan pada masyarakat tradisional atau primitif. Intuisi dan indera keenam mereka terasah tajam sehingga mampu membaca gejala-gejala alam dan kemudian beradaptasi untuk hidup berdamai dengan lingkungannya, termasuk dunia flora dan fauna.

Di antara keahlian yang lahir dari ketajaman dan kepekaan terhadap alam tersebut adalah kemampuan untuk mengetahui sumber air di bawah tanah,ketika orang hendak menggali sumur dan pawang hujan yang memiliki kemampuan menunda atau memindahkan tempat turunnya hujan. Biasanya ini dimanfaatkan mereka yang akan melaksanakan hajatan atau turnamen golf.Believe it or not, fenomena ini sudah banyak disaksikan para golfersdi lapangan. Ketajaman mendengarkan suara alam,sesungguhnya merupakan sebuah sikap yang akan membuat manusia lebih menghargai alam dan memperlakukannya dengan baik. Alam diperlakukan bukan sekadar sebagai benda mati, melainkan sebagai sesuatu yang mampu berbicara pada manusia.

Dengan sikap itu, setiap jengkal tanah,setiap batang pohon,dan setiap lembar daun akan diperlakukan sebagai makhluk yang tidak boleh disia-siakan, apalagi dirusak semaunya. Bukan hanya itu, bahkan makanan pun kemudian akan diperlakukan dengan baik dan tidak dimubazirkan. Saya pernah diberi tahu bahwa itulah salah satu faktor mengapa orang Jepang begitu hati-hati memperlakukan alam, termasuk makanan dan minuman.Lihatlah tradisi menata, memperlakukan tanaman, makanan, dan tradisi minum teh yang memiliki tata cara sedemikian rupa. Katanya, karena dalam Shinto, dipercayai bahwa dalam setiap benda itu ada kami atau spirit, sehingga setiap benda di alam ini harus diperlakukan dengan baik.Semakin baik perlakuan kita terhadap alam, semakin baik pula ia akan memperlakukan kita.

Pada masyarakat modern, ada kecenderungan untuk tidak percaya pada alam pikiran mistis yang sulit dijelaskan secara ilmiah-rasional. Misalnya mengantisipasi fenomena alam yang dipakai pada masa primitif. Mereka lebih tertarik pada analisis empiris-rasional berdasarkan bantuan teknologi yang mudah dilihat dan dijelaskan hasilnya. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, perilaku alam dianggap lebih bisa dipahami dan dideteksi. Meskipun tidak mutlak, setidaknya sangat terbantu. Misalnya ramalan cuaca, aktivitas gunung berapi, sampai tingkat tertentu dapat diprediksi sebelumnya apa kira-kira yang akan terjadi.

Pendekatan ilmiah ini juga berlaku pada penetapan hari-hari besar keagamaan seperti datangnya awal Ramadan dan Idul Fitri, karena dianggap lebih akurat ketimbang dengan penglihatan mata telanjang, terutama ketika cuaca mendung. Di Indonesia, sesungguhnya kita sudah memiliki ilmuwan yang banyak dan teknologi yang cukup maju. Namun, keterlambatan mengantisipasi fenomena alam ini masih terjadi karena masih perlunya diaktifkan peran pemerintah dalam memberi penerangan pada rakyat tentang bagaimana menyikapi kondisi alam dan perubahan iklim secara global.

Lebih dari itu, juga perlunya dibuat peraturan yang jelas dan selanjutnya dikawal secara tegas. Misalnya saja, ketidakmampuan mencegah berulang kali terjadinya kecelakaan laut akibat cuaca dan kelebihan penumpang kapal. Dalam hal ini, kemampuan mendengar tandatanda alam harus ditambah dengan ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan. Dalam konteks ini misalnya, faktor manusianya yang lebih dominan atas terjadinya musibah. Di belahan bumi mana pun, manusia akan belajar dari alam, mendengarkan isyarat dan suara alam, agar tetap survive, damai, dan sejahtera. Teknologi perumahan di Jepang, misalnya, umumnya sudah mengantisipasi dengan potensi terjadinya gempa. Demikian juga konstruksi rumah di wilayah subtropis dan wilayah tropis seperti Indonesia, memiliki karakter yang berbeda.

Begitu juga halnya sikap penduduk, diharapkan bijak bagaimana bersahabat dengan kondisi alam setempat. Kalau berbicara secara ilmiah, setiap wilayah memiliki karakter tersendiri, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan bagi penduduknya. Daerah yang dekat Gunung Merapi memang tanahnya subur dan pemandangan indah, tetapi risiko tinggal di dekatnya adalah terkena luapan lahar panas ketika meletus. Begitu pun di wilayah pesisir, air pasang dan tsunami sewaktu-waktu bisa terjadi. Tetapi dengan mengasah kepekaan membaca tanda-tanda yang dikirim oleh alam, misalnya apa yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu, ketika tiba-tiba air laut surut dan ikan bergelimpangan di mana-mana, atau mulai munculnya abu di sekitar Gunung Merapi, sesungguhnya bisa diantisipasi akan ada tsunami dan letusan.

Namun, tetap saja dengan bantuan teknologi modern dan perhatian pemerintah maka berbagai risiko tadi akan lebih mungkin lagi untuk dikurangi. Terhadap mereka yang terkena musibah dan telah pulang ke kampung ilahi mendahului kita semua, saya yakin dan berdoa, semoga arwahnya hidup di alam baru yang justru jauh lebih indah dan damai. Semoga keluarga yang ditinggalkan melepasnya dengan cinta dan ikhlas agar yang bepergian merasa nyaman.

Selanjutnya, baik pemerintah maupun masyarakat untuk waktu ke depan bersinergi mencari solusi membangun sistem pendeteksian dan pemantauan yang lebih baik, permukiman yang lebih aman dari efek bencana alam, dan yang lebih penting lagi adalah geliat tak ramah alam ini hendaknya membuat kita makin belajar untuk semakin menghargai alam dan mengasah pendengaran dan penglihatan kita untuk membaca dan menangkap tanda-tanda yang dikirimkannya kepada kita. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Rektor UIN Syarif Hidayatullah