Latinisasi Aksara Pinggirkan Elit Tradisional Islam

Latinisasi Aksara Pinggirkan Elit Tradisional Islam

Gedung FAH, BERITA UIN Online— Latinisasi atau romanisasi aksara di tanah air yang berlangsung massif di dekade 1940-an dan 1950-an berdampak cukup serius terhadap penggunaan berbagai bahasa yang sebelumnya sudah mapan. Tidak hanya mengkreasikan hilangnya kekayaan aksara lokal yang sudah mapan sekaligus juga menyebabkan keterpinggiran para pemimpin tradisional Islam di tanah air.

Demikian benang merah seminar internasional bertajuk Romanization, Nationalization, and Secularization of Bahasa Indonesia since Independence di Ruang Teater Gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Rabu (3/7/2019). Seminar menghadirkan KevinW. Fogg, Research fellow, Basenose College and Faculty of History University Oxford.

Seminar internasional dibuka langsung Dekan FAH, Saiful Umam Ph.D. Seminar sendiri diikuti para pengajar dan mahasiswa, termasuk juga sejumlah peminat kajian linguistik dan sejarah Nusantara.

Dalam paparannya, Kevin menjelaskan, masyarakat Indonesia sebelum dan beberapa waktu setelah kemerdekaan lebih familiar menggunakan bahasa Melayu atau lokal dengan aksara Arab atau setempat seperti aksara Lontara. Bahkan dalam tradisi keilmuan Islam, para elit ulama bahkan masyarakat pada umumnya menggunakan bahasa Melayu atau bahasa etnik setempat dengan aksara Arab.

Namun kondisi demikian perlahan-lahan berubah seiring pergerakan nasional yang dilakukan para elit politik dan birokrat yang dibesarkan dalam tradisi pendidikan Belanda atau Barat. Kebutuhan bahasa nasional Indonesia dengan standar penulisannya dalam aksara latin mengubah peta penggunaan aksara non-latin yang sudah banyak digunakan sebelumnya.

Perubahan ini semakin massif setelah pemerintahan di tanah air mendorong latinisasi. Diantaranya pembentukan Komisi Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 20 Oktober 1942 dan terbentuknya Komite Kerja Bahasa Indonesia yang didirikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1947 yang mempercepat romanisasi aksara di tanah air.

Pada akhirnya, pemerintah menetapkan bahasa Indonesia sekaligus aksara latin sebagai bahasa dan aksara nasional. Kendati masih digunakan, namun kondisi ini menyebabkan penggunaan bahasa setempat dengan aksara Arab Melayu dan aksara etnik lokal menurun.

Kondisi demikian, sebut Kevin memberikan sejumlah dampak. Salah satunya, hilangnya kekayaan aksara lokal yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat Indonesia. “Menulis dan membaca aksara Arab mungkin masih terbiasa sebagai bagian dari masyarakat Muslim, namun kemampuan menulis dan membaca dengan aksara Arab Melayu mungkin sudah tidak banyak,” katanya.

Hilangnya kekayaan aksara lokal juga menyebabkan hilangnya potensi perkembangan diskursus keilmuan Islam atau keunikan kebudayaan lokal. “Karena bahasa Indonesia dan aksara latinnya tidak cukup mengakomodir ide yang sebelumnya hanya bisa diungkapkan dalam bahasa dan aksara non latin,” tambahnya.

Tak hanya itu, romanisasi yang massif juga menyebabkan terpinggirkannya elit tradisional Islam seperti ulama untuk duduk dan berkontribusi di wilayah pemerintahan. Ia mencontohkan Anregurutta Haji Ahmad Bone (1885-1972), seorang ulama besar Sulawesi Selatan yang gagal masuk dalam jabatan pemerintahan karena tidak mampu menulis dalam aksara latin kendati mahir menulis dalam bahasa Arab dan aksara Lontara. (zm)