Lafran Pane, HMI, dan Indonesia Kita

Lafran Pane, HMI, dan Indonesia Kita

Adi Prayitno

 

PRESIDEN Jokowi resmi memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Lafran Pane atas kontribusinya dalam perjuangan politik kebangsaan. Keputusan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 115/TK/2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Apresiasi dari alumni dan kader HMI bermunculan dari antero penjuru Nusantara atas gelar pahlawan ini. Pemberian gelar pahlawan nasional didasarkan pada penilaian bahwa Lafran Pane dinilai telah mengabdi, berjuang sepanjang hidup demi kepentingan bangsa serta melahirkan gagasan besar yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Lafran Pane merupakan tokoh yang paling banyak menyita perhatian di antara tiga tokoh lain yang mendapat gelar serupa di Istana Negara pada 9 November lalu. Sejumlah pertanyaan menyeruak ke permukaan sekadar ingin mengupas profil Lafran Pane. Siapakah ia sehing­ga Jokowi menganugerahi gelar pahlawan nasional? Lafran Pane merupakan pendiri HMI. Sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar yang melahirkan banyak kader jempolan di semua lini kehidupan. Hingga kini HMI tetap menjadi primadona pilihan organisasi mahasiswa di berbagai kampus Nusantara. Kecintaan pada ilmu pengetahuan mengantarkan pria kelahiran Padang Sidempuan, Sumatera Utara itu menjadi sosok sangat bersahaja sepanjang hidupnya. Sederet prestasi ilmiah dan karya akademik tak membuat dirinya jemawa. Sifat dan sikapnya selalu membumi, penuh kekitaan. Pikiran jenius Lafran Pane soal kesesuaian Islam, keindonesiaan, dan kemodernan menjadi ciri khas utama. Di tahun 1947, berbarengan dengan lahirnya HMI, gagasan kesesuaian Islam, keindonesian, dan kemodernan merupakan langkah maju, melampaui zamannya di tengah nuansa penjajahan yang masih kuat. HMI tak muncul dalam ruang hampa. HMI lahir dari rahim sejarah gejolak revolusi kemerdekaan. Persis dua tahun setelah deklarasi kemerdekaan. Lafran Pane mendisain tujuan HMI sesuai dengan kebutuhan zamannya waktu itu, yakni mempertahankan NKRI, mengangkat derajat masyarakat Indonesia, menegakkan keadilan serta mengembangkan ajaran Islam dengan komitmen kebangsaan yang kaffah.

Organisasi Perjuangan  HMI merupakan organisasi perjuangan yang cukup besar. Anggotanya tersebar di seluruh cabang penjuru Nusantara. Basisnya adalah mahasiswa Islam di kampus. Setiap tahun HMI rutin melakukan rekrutmen dan kaderisasi secara berkala. Setiap cabang terdiri atas 10 hingga 15 komisariat. Bisa dibayangkan, berapa banyak kader yang dilahirkan HMI setiap tahun. Tak berlebihan kiranya jika HMI disebut sebagai miniatur negara karena anggotanya tersebar merata di setiap provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai tingkat desa. HMI besar bukan semata kuantitas, melainkan juga lantaran kiprah politiknya yang sudah menyejarah sejak lama. Pada masa Orde Lama misalnya, HMI menjelma sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam yang turut berjibaku mempertahankan kemerdekaan. Bahkan kader HMI berhadapan head to head  dengan pengikut komunis dan PKI. Suatu ketika dalam sejarah, HMI sempat ingin dibubarkan penguasa akibat hasutan PKI. Di bawah kendali rezim Orde Baru, HMI dicurigai sebagai organisasi Islam yang dianggap berpotensi merongrong kekuasaan status quo  negara. Banyak skenario penguasa membubarkan HMI. Meski sempat pecah akibat pemaksaan asas tunggal Pancasila, HMI terus menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi perjuangan dengan daya tahan yang sudah teruji. HMI tetap berkibar sekalipun ingin dihancurkan penguasa. Dari HMI pula muncul kader-kader intelektual arus utama, politisi andal, aktivis sosial, kaum birokrat, ekonom, bahkan agamawan. Sosok intelektual Islam alumni HMI seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, Dawam Raharjo, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Saiful Mujani, dan seterusnya hingga kini terus menjadi rujukan utama. Kelompok intelektual yang menawarkan Islam subs­tansial berkesesuaian dengan kemodernan dan keindonesiaan. Cak Nur merupakan salah satu generasi emas jebolan HMI Ciputat yang paling menonjol. Di tangan Cak Nur, HMI tumbuh menjadi organisasi yang paling disegani. Gagasan inklusivisme Islam Cak Nur menghapus kecurigaan penguasa terhadap kelompok Islam. Cak Nur menyodorkan Islam yang ramah terhadap kelompok lain dan tentu berkesesuaian dengan zaman. Begitulah HMI, suatu entitas sosial yang merujuk pada dinamika gerakan intelektual yang semarak. Identitas kultural yang secara perlahan mengkristalkan suatu mazhab pikir dan nalar berkonotasi maju, civilized, dan mencerahkan. HMI menjadi bagian penting dari pergulatan intelektual dalam skala nasional.

Pada level politik, HMI melahirkan tokoh-tokoh penting di hampir semua partai politik. Nyaris tak ada partai politik yang tak diisi aktivis jebolan HMI. Ciri khas politisi jebolan HMI adalah nasionalis religius, pejuang kebinekaan, dan terbuka. Mereka juga aktif memerangi wacana para aktivis fundamental yang menyeruak masif di berbagai kanal saluran informasi. Di tengah arus besar kebangkitan politik aliran, politisi alumni HMI berada di barisan depan menjaga demokrasi, mempertahankan eksistensi Pancasila dan NKRI. Politisi alumni HMI tak hanya fasih bicara tentang teori politik kontemporer, tetapi juga lihai menyulam teks-teks klasik Islam dengan narasi substansial guna melawan doktrin kaum fundamental.

Merawat Warisan      Anugerah gelar pahlawan nasional kepada Lafran Pane harus dimaknai sebagai momentum merawat warisan ajaran HMI. Terutama soal nilai-nilai politik Islam yang berkesesuaian dengan keindonesiaan dan kemodernan. Greg Barton dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid  (1999) mendeskripsikan HMI sebagai organisasi modern yang melahirkan pemikir progresif liberal yang menyodorkan satu tawaran model keislaman yang maju. Dalam amatan Greg Barton, sosok seperti Cak Nur, Djohan Effendi, dan Wahib sukses menjadi loko­motif pemikiran Islam yang modern. Di tengah suasana batin yang masih terbelah, warisan pemikiran tokoh intelektual HMI dengan visi keislaman progresif mesti dilestarikan. Fenomena munculnya Islam kanan memang cukup mengkhawatirkan. Gagasan progresif soal keislaman dan keindonesiaan merupakan esensi ”Indonesia kita” yang sesungguhnya, yakni Indonesia yang menjadi rumah besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai organisasi yang berbasis mahasiswa Islam di kampus, HMI harus mampu membendung arus pemikiran yang anti Pancasila. Sebab belakangan ini kampus menjadi tempat paling subur menyemai benih-benih radikalisme yang berpotensi menggoyahkan fondasi kebangsaan yang sudah kokoh. Andai HMI tak pernah ada, tak terbayang wacana keislaman dan wajah politik kebangsaan seperti apa. Andai HMI tak pernah dideklarasikan Lafran Pane, mungkin saja panggung politik bakal pengap oleh politisi busuk miskin komitmen, penuh intrik dan fitnah berbau SARA. Pada tahap inilah, menjadi penting berterima kasih kepada Lapran Pane yang telah mendirikan HMI. Sebab kader dan alumni HMI hingga kini masih menjadi penjaga gawang utama tegaknya demokrasi Indonesia. Di tangan kader HMI, ketegangan antara Islam dan negara (penguasa) yang berlangsung selama puluhan tahun sudah sirna. Ke depan, alumni dan kader HMI akan terus menjadi tumpuan utama dalam membendung arus radikalisme yang kian masif di panggung utama politik. Eksponen HMI juga bakal menjadi sosok yang selalu dinanti kiprahnya dalam tiap level kehidupan. Gagasan progresif, inklusif, dan berkesesuaian dengan zaman menjadi pembeda yang tak akan lekang termakan waktu dan sejarah. Semoga. Yakin usaha sampai.

Penulis adalah Dosen Politik UIN Jakarta dan Alumni HMI Ciputat. Tulisan dimuat dalam kolom opini Koran SINDO, hari Senin 13 November 2017. (Farah/zm)