Labirin Pendidikan Agama

Labirin Pendidikan Agama

Abdallah

PENDIDIKAN agama yang merupakan kawah candradimuka peradaban bangsa memiliki dua dimensi yang berkelindan. Muara pendidikan agama bukan hanya menciptakan manusia Indonesia yang taat beragama, melainkan juga memproduksi warga negara yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dua hal itu acap kali dianggap sesuatu yang paradoks, bahkan dibenturkan satu sama lain.

Jika tesis di atas dapat dise­tujui, kita dapat merumuskan bahwa misi pendidikan agama bukan hanya berbasis pada keagamaan (religious mission) yang bertumpu pada kesalehan individual, melainkan juga berpijak pada nilai-nilai kewargaan (civic mission) yang merupakan pancaran dari kesa­lehan sosial. Yang terakhir ini memungkinkan peserta didik berpikir terbuka dan kritis serta menghargai perbedaan dan keragaman yang merupakan kodrat bangsa kita yang majemuk. Dua sisi itu ialah barometer potret ideal pendidikan agama.

Eksklusivisme dan Sistemis

Fenomena keberagamaan kita dewasa ini begerak pada pendulum eksklusivisme yang mana agama diringkus dalam pemaknaan tunggal dan dangkal. Gejala itu menyeruak ke ranah pendidikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemahaman dan sikap intoleran bahkan radikal dalam beragama menjadi konsumsi di kalangan anak muda.

Kalangan siswa, mahasiswa, dan guru terpapar intoleransi (PPIM: 2017 dan 2018), konsumsi literatur yang digeluti kalangan muda ialah literatur islamis yang mengarah pada konsep khilafah (SPs UIN Yog­yakarta: 2017). Kalangan muda muslim yang aktif di organisasi intrakurikuler maupun ekstrakurikuler memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung konservatif (CSRC: 2017). Artinya, ranah pendidikan dan kaum muda menjadi lahan subur persemaian pemahaman keagamaan yang eksklusif dan bertolak belakang dengan visi kebangsaan.

Pada aras ini, pemahaman eksklusivisme agama merupakan bahaya laten dan benalu bagi kohesi sosial dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks RI, eksklusivisme agama merupakan perjalanan panjang dari perseteruan antara kubu yang menginginkan negara sekuler dan kubu yang menghendaki negara Islam.

Meski negara kita bertolak pada Pancasila dan UUD 1945, tapi pada tingkat tertentu, impian negara Islam yang dahulu pernah disuarakan akan terus diperjuangkan dalam beragam ranah, tak terkecuali pendidikan. Maka dari itu, pendidikan agama menjadi arena perebutan pelbagai paham dan ideologi keagamaan.

Pandangan keagamaan seyogianya berkiblat pada pidato Bung Karno yang digelorakan saat sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, bahwa bertuhan harus didasarkan pada kebudayaan tanpa egoisme agama (Castles: 1988). Artinya, beragama mesti sejalan nilai-nilai kebangsaan yang berbasis pada persamaan dan keadilan.

Pendidikan agama semestinya berpijak nilai kemanusiaan yang menghargai kebebasan dan perbedaan, toleransi dan inklusif. Namun, fakta mengejutkan dari temuan yang dilakukan Center for the Study of Islam and Social Transformation (CISForm) UIN Yogyakarta be­kerja sama dengan PPIM UIN Jakarta (2018) tentang ‘Potret Sistem Produksi Guru Agama Islam di Indonesia’ yang dirilis pekan lalu di Jakarta.

Studi ini memeriksa sistem produksi calon guru agama di Indonesia dengan melakukan survei terhadap 169 dosen dan 981 mahasiswa. Selain itu, ada juga wawancara mendalam dengan 119 dosen dan melakukan focus group discussion (FGD) yang melibatkan 129 mahasiswa. Penelitian dilakukan di 19 perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI), baik negeri maupun swasta, di delapan wilayah, yakni, Padang, Lampung, Jakarta-Banten, Yogyakarta-Solo, Malang, Makassar, Banjarmasin, dan Lombok.

Hasil penelitian ini cukup memprihatinkan dengan memberikan dua catatan penting. Pertama, paham islamisme masih menjadi bayang-bayang alam pikir mahasiswa dan dosen. Sebanyak 41,6% mahasiswa prodi PAI memiliki pandangan bahwa pemerintah RI merupakan pemerintah yang tagut (tidak islami). Sebanyak 36,5% mahasiswa mendukung ide khilafah dan 27,4% mahasiswa membela agama boleh dengan kekerasan.

Sementara itu, pandangan dosen PAI, sebanyak 14,2% setuju dengan penegakan khi­lafah dan 16,5% juga setuju boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama. Pada kadar ini, misi keagamaan dan kewargaan gagal dipahami sebagai basis berpikir calon guru agama. Keislaman dan keindonesiaan belum menjadi prioritas pendidikan agama.

Kedua, lemahnya sistem produksi guru agama. Sebanyak 32,9% mahasiswa prodi PAI berasal dari sekolah umum (SMA/SMK). Arti­nya, mahasiswa yang datang dari sekolah umum untuk menjadi guru agama dapat dipastikan tidak memiliki pemahaman agama yang cukup kuat. Selain itu, sistem pendaftaran mahasiswa baru (PMB) memberikan ruang bagi calon mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan agama yang tidak memadai.

Hal penting lainnya dari temuan ini, sebagian dosen PAI mempunyai kompetensi bahasa Arab kurang memadai, mata kuliah keislaman yang diajarkan hanya 30%, selebihnya aspek pedagogis yang ditekankan.

Faktor luar juga turut berkontribusi seperti pengaruh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) cukup signifikan dalam pembentukan pola pikir keagamaan mahasiswa. Sengka­rut persoalan di atas menyisakan masalah yang berliku-liku dan buntu laiknya labirin dalam pendidikan agama.

Pendidikan multikultural

Di titik ini, pendidikan agama seyogianya bertumpu pada gagasan kemajemukan, menekankan kebersamaan, dan menumbuhkan ruang dialog yang kritis. Pendidikan agama sudah seharusnya merumuskan konsep dialog antarsiswa dan beragam keyakinan: Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Kong­hucu, bahkan kepercayaan-kepercayaan lokal yang masih terawat.

Konteks Indonesia yang majemuk memungkinkan tercipta pendidikan agama yang berbasis pada multikultural yang ditopang nalar yang rasional dan kritis. Artinya, indoktrinasi dan hegemoni dari kelompok tertentu harus dihapuskan dalam pendidikan agama.

Jadi, pendidikan multikultural harus sejalan misi keagamaan dan kebangsaan yang bertolak pada nilai-nilai luhur kemanusiaan yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan distribusi keadilan secara merata untuk warga negara tanpa melihat perbedaan yang didasarkan pada primordialisme (Rawls: 1996).

Ada langkah-langkah kebijakan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah. Pertama, Kementerian Agama harus merumuskan kembali sistem sistem produksi guru di perguruan tinggi keagamaan Islam dengan memperhatikan pola rekrutmen calon mahasiswa PAI, kurikulum PAI, dan meninjau ulang proses pembelajaran.

Kedua, civitas kampus harus memastikan bahwa perguruan tinggi ialah wahana untuk melatih berpikir kritis tanpa indoktrinasi dan homogenitas pemahaman tertentu. Maka dari itu, di titik inilah, pendidikan agama merupakan instrumen untuk memberikan pemahaman bahwa keislaman dan keindonesiaan ialah dua hal yang tidak perlu dibenturkan. (Zae)

Penulis adalah Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta. Artikel dimuat Koran Media Indonesia, Senin 11 Februari 2019.