Kriteria Kelulusan Siswa

Kriteria Kelulusan Siswa

Siswa SMA yang rajin dan pintar itu tidak diluluskan kepala sekolah. Pasalnya, ia dinilai tidak patuh terhadap kepala sekolah. Sebagian guru di sekolah itu sedih dan tidak setuju dengan kebijakan kepsek tersebut. Peristiwa ini terjadi di SMAN 1 Sembalun, Lombok Timur (13/05/2019).

Beritanya viral di media sosial. Siswa ini tidak lulus karena kritis terhadap kebijakan kepsek. Dia tidak setuju kebijakan kepsek yang memukul siswa dan melarang penggunaan jaket, padahal cuaca sangat dingin (11-12 derajat celsius) karena musim hujan; dia juga memprotes pemulangan siswa yang terlambat karena kondisi jalan rusak akibat longsor. Kekesalannya itu ia tuangkan di facebook.

Kriteria Kelulusan

Apakah keputusan kepsek itu bisa dibenarkan? Apa sesungguhnya syarat kelulusan siswa? Kelulusan siswa ditentukan oleh dua hal: akademik dan nonakademik. Biasanya, aspek akademik lebih dominan. Pelanggaran siswa dimaafkan karena alasan kemanusiaan. Diputuskan lewat rapat dewan guru dan kepsek.

Secara akademik, penentu kelulusan adalah nilai rapor dan ujian nasional. Jika nilai gabungan keduanya mencapai batas minimal yang ditentukan, maka siswa harus dinyatakan lulus. Akan tetapi, siswa yang memiliki kasus berat di sekolah, seperti merusak fasilitas sekolah atau melukai guru, bisa tidak lulus—meskipun nilainya memadai.

Sistem kelulusan yang mengakomodir nilai rapor membuat peluang kelulusan siswa lebih besar. Pada umumnya, guru dan kepsek menginginkan semua siswanya lulus. Nilai UN siswa yang rendah bisa diselamatkan oleh nilai rapor yang bisa jadi bagus.

Berbeda dengan nilai UN dan nilai rapor yang terukur dan pasti (objektif), penilaian sikap siswa seperti kasus di atas sangat subjektif. Contoh, sebagian guru menangis dan tidak setuju dengan keputusan kepsek. Kabarnya, kepsek menolak permohonan maaf keluarga siswa, hanya karena dilakukan di hari Minggu.

Menurut kepsek, keputusan bukan dibuat sendiri dan tanpa alasan, tetapi melalui rapat kelulusan yang dihadiri oleh 17 guru. Bisa jadi para guru hadir tetapi tidak dicapai kata sepakat atau mereka tidak berani berbeda pendapat. Pada umumnya, bawahan tidak berani berbeda pendapat dengan atasan, atau ada atasan yang tidak bisa menerima kritik dari bawahan.

Kinerja Kepsek

Pertanyaannya, siapa yang berhak meluruskan cara pandang kepsek atau guru-guru di sekolah itu? Apakah keputusan ketidaklulusan itu bisa dianulir?

Pengawas sekolah bisa meminta penjelasan kepsek atas keputusannya. Data dan argumentasi ketidaklulusan harus dimajukan kepsek. Secara terpisah, pengawas juga meminta informasi kepada guru-guru dan siswa yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana proses rapat kelulusan berlangsung.

Bila data dan argumentasi kepsek dinilai lemah, maka pengawas meminta kepsek meralat keputusannya. Di sini pengawas memposisikan diri sebagai pihak yang mencari kebenaran dan keadilan bagi siswa, bukan mencari kesalahan kepsek. Diupayakan tidak ada pihak yang merasa dihakimi atau digurui. Niat baik harus disampaikan dengan cara yang baik.

Apabila upaya pengawas tidak berhasil, maka dinas pendidikan provinsi harus turun tangan. Jika masih buntu juga, maka gubernur yang harus menyelesaikan masalah ini. Intinya, harus ada dari ketiga pihak tersebut yang maju dan segera menyelamatkan siswa tersebut. Masa depannya ditentukan oleh kecepatan dan kepedulian penanganan perkara tersebut.

Saatnya pengawas memaksimalkan evaluasi kinerja kepsek. Dia bisa menjadi jembatan komunikasi antara guru dan kepala sekolah. Kepsek yang berkinerja baik layak memperoleh penghargaan. Sebaliknya, kepsek yang tidak kompeten dan berkinerja buruk harus diberi peringatan dan sanksi.

Pengawas menjadi kunci layak atau tidaknya seseorang menjadi kepsek. Pengawas juga berperan sebagai mitra dialog kepsek dalam menjalankan tugasnya. Sebelum keputusan-keputusan krusial dibuat, seharusnya kepsek berkonsultasi dengan pengawas. Pengawas bisa memberikan rekomendasi kepada pihak berwenang tentang nama-nama yang layak dan tidak layak melanjutkan jabatan kepala sekolah.

Kepala sekolah adalah sosok teladan bagi guru dan siswa. Dia harus cerdas sekaligus memiliki integritas. Perkataan, sikap, dan keputusannya menyejukkan bagi warga sekolah. Dengan demikian, guru dan siswa merasa nyaman berada, belajar, dan bekerja di sekolah.

Kurikulum 2013 menekankan pembentukan karakter siswa. Jika guru dan kepala sekolah bisa menjadi teladan dalam nilai-nilai baik, maka karakter siswa akan tumbuh dengan baik. Siswa akan terpengaruh dengan cara melihat dan menyaksikan perilaku guru, bukan dengan apa yang dikatakan dan ditulis oleh guru.

Dr Jejen Musfah MA, Ketua Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Detikcom, 28 Mei 2019. (lrf/mf)