Krisis Timur Tengah

Krisis Timur Tengah

Tidak ada berita baik dari Timur Tengah sepanjang Ramadhan dan Idul Fitri lalu. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu kian memburuknya keadaan di beberapa negara Arab dan antarnegara Timur Tengah. Stabilitas politik di kawasan yang hampir tidak pernah tenang selama hampir tujuh dasawarsa sejak usainya Perang Dunia II, jelas kian memburuk. Krisis politik dan keamanan Timur Tengah pada gilirannya dapat memengaruhi dinamika politik dan ekonomi internasional secara keseluruhan.

Perkembangan terakhir yang potensial eksplosif bagi stabilitas politik dan keamanan Timur Tengah adalah peristiwa tewasnya lima tentara Mesir dalam kontak senjata antara pejuang Palestina Gaza dan militer Israel di wilayah perbatasan Sinai (19/8/11). Hasilnya, pemerintah sementara Mesir menarik duta besarnya dari Tel Aviv. Pada saat yang sama juga memanggil dubes Israel di Kairo untuk meminta penjelasan atas insiden tersebut. Pemerintah sementara Mesir juga menuntut Israel agar minta maaf, yang dibalas Pemerintah Israel hanya dengan pernyataan ‘menyesal’ (regret).

Tidak ragu lagi, episode ini merupakan salah satu puncak dari terus memburuknya hubungan antara Mesir pasca-Mubarak dan Israel. Sebelumnya, pipa yang menyalurkan gas dari Mesir ke Israel juga dibom aktivis Muslim anti-Israel, sehingga menghentikan ekspor gas Mesir ke Israel. Para aktivis Muslim anti-Israel, yang kian aktif setelah jatuhnya Presiden Husni Mubarak pada Januari lalu, menolak berkompromi lebih lanjut dengan negara Zionis tersebut. Hal itu bermula sejak Presiden Anwar Sadat menandatangani Perjanjian Perdamaian Camp David 1979, yang diikuti pembukaan hubungan diplomatik di antara kedua negara.

Stabilitas keamanan dan politik Timur Tengah juga memburuk, dengan terus berlanjutnya kekerasan antara pasukan militer dan para pejuang antipemerintah di Suriah dan Libya. Pergolakan antirezim Qadafi di Libya dan Bashar Assad di Suriah tidak berhenti dengan ibadah Ramadhan. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak percaya, justru pada Ramadhan ini perang harus dikobarkan dengan mengutip contoh Nabi Muhammad yang melakukan peperangan melawan kaum kafir Quraish dalam bulan puasa. Hasilnya, para pejuang berhasil menguasai Tripoli dan Qadafi terpaksa bersembunyi entah di mana.

Meski berhadapan dengan kutukan, kecaman dan sanksi internasional, rezim Bashar Assad di Suriah tetap meneruskan kekerasan dan perang terhadap warga negaranya sendiri, sehingga terus kian meningkatkan jumlah korban tewas. Hal sama —dalam skala sedikit lebih rendah juga terjadi di Yaman, tempat rezim Presiden Ali Abdullah Saleh terus menolak untuk mengundurkan diri dari kekuasaan yang telah dipegangnya selama beberapa dasawarsa.

Dengan meningkatnya perlawanan bersenjata masyarakat sipil antirezim otoriter di dunia Arab, boleh jadi mereka akhirnya tumbang satu per satu. Seperti terlihat dalam kasus pergolakan di Libya, pasukan NATO campur tangan langsung dengan mengebom target-target strategis di  Libya dan sekaligus membantu kelompok militer dan para militer oposisi. Bukan tidak mungkin kekuatan militer internasional akhirnya juga turut campur tangan di Suriah dan Yaman. Sejauh ini, hanya krisis keuangan dan ekonomi di Eropa serta Amerika, yang menahan mereka untuk campur tangan secara militer di negara-negara Arab yang masih bergolak.

Krisis keamanan dan politik di Timur Tengah, baik terkait Israel maupun intranegara Arab, hampir bisa dipastikan bakal terus berlanjut. Meski rezim-rezim otoriter di dunia Arab bisa saja akhirnya jatuh, suksesi politik juga tidak bakal berlangsung damai. Sebaliknya, proses transisi segera menimbulkan pergumulan, ketegangan, dan konflik di antara berbagai kekuatan politik warga. Upaya penciptaan keseimbangan politik dan sosial di antara kelompok politik tidak mudah tercipta karena bertahan dan bahkan menguatnya sikap saling curiga di antara mereka. Belum lagi, masuknya kekuatan asing dengan kepentingan ekonomi dan politik masing-masing.

Perkembangan semacam itu bisa disaksikan di Mesir pasca-Mubarak sampai hari ini dan ke depan. Menjelang Pemilu September 2011 ini, pergumulan itu di antara berbagai kekuatan politik bahkan cenderung meningkat. Massa kembali ke Maydan Tahrir meski muncul dalam jumlah relatif lebih kecil dibanding ketika penumbangan Mubarak dulu. Gejala ini mengindikasikan peningkatan ketidakpuasan terhadap proses transisi dan sekaligus sikap saling tidak percaya di antara berbagai kekuatan politik dalam negara.

Di tengah perkembangan Timur Tengah yang mencemaskan, amat mengecewakan, Pemerintah Indonesia nyaris tidak aktif sama sekali. Padahal, Indonesia sebagai negara yang disegani di antara negara OKI dan gerakan Non-Blok tidak patut berdiam diri. Jika punya kemauan dan iktikad baik, Indonesia bisa menggalang kerja sama, misalnya, dengan Turki yang aktif berusaha meredakan konflik di Timur Tengah, baik terkait Israel maupun intra-Arab. Hanya dengan turut aktif dalam menyelesaikan konflik dan sekaligus membantu transisi yang damai, Indonesia dapat dihargai masyarakat internasional.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis, 15 September 2011.