Krisis Mesir dan Indonesia

Krisis Mesir dan Indonesia

 

Oleh Azyumardi Azra

SEJAK mulai bergejolak pada 25 Januari 2011, masa depan politik Mesir masih tetap belum menentu. Meski jutaan massa demonstran memadati Maydan Tahrir Kairo dan juga demo besar-besaran di Iskandariah dan beberapa kota Mesir lainnya, Presiden Mubarak tetap bertahan. Presiden yang berkuasa sejak November 1981 itu mampu tetap bertengger di tampuk kekuasaan dengan memberikan konsesi-konsesi politik secara terbatas sebagai bentuk buying time.

Meski demikian, Presiden Mubarak telah sampai pada titik yang tidak pernah bisa dimundurkan. Mesir juga tidak bakal pernah lagi sama dengan Mesir di bawah kekuasaan otoriter, represif tapi efektif sampai gelombang kekuatan rakyat juga melanda Mesir setelah sebelumnya berhasil menumbangkan rezim Zine al-Abidine  Ben Ali di Tunisia. Sangat boleh jadi gelombang kekuatan rakyat terus melanda negara-negara otoriter lain di dunia Arab sejak dari Mauritania, Aljazair, Maroko, Libya, Yaman, Yordania. Negara-negara monarki seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia, pastilah juga ketar-ketir.

Mungkinkah kekuatan rakyat yang tengah bangkit itu juga menular ke Indonesia? Sebagian pengamat dengan simplistis menyatakan, kekuatan rakyat yang pernah berhasil menumbangkan rezim Soeharto pada Mei 1998 dapat segera mengilhami bangkitnya kembali kekuatan rakyat.

Alasannya, antara lain, kekuatan rakyat di Mesir (dan juga di Tunisia dan Yaman, misalnya) bangkit karena kemiskinan dan pengangguran yang kian merajalela di negara-negara tersebut. Gejala yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana jumlah penduduk miskin dan penganggur cenderung bertahan-jika tidak meningkat, meski pemerintah mengklaim terjadinya penurunan kemiskinan dan pengangguran.

Pada saat yang sama, harga barang-barang kebutuhan pokok juga terus meningkat. Tidak hanya di Mesir, Tunisia, atau Yaman; tetapi juga di Indonesia. Pemerintah SBY seolah tidak berdaya apa-apa mengendalikan harga. Kenaikan harga minyak akibat krisis politik di Mesir, Tunisia, Yaman juga tengah terjadi di negara-negara Arab lain, yang segera memicu kenaikan harga minyak dan gas. Tak urung lagi, harga barang-barang lain, khususnya pangan, juga melejit, kian jauh dari jangkauan kaum miskin dan penganggur.

Dari sudut itu, kelihatan semacam paralelisme antara situasi dan kondisi tertentu yang memicu kebangkitan kekuatan rakyat di Mesir, khususnya, di mana kaum miskin lebih 40 persen dari sekitar 80 juta penduduk dengan kemiskinan di Indonesia yang diperkirakan antara 30 sampai 60 juta orang-tergantung ukuran yang dipakai. Jelas, kemiskinan dan pengangguran yang akut menyimpan keresahan sosial, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi revolusi sosial, khususnya jika dipicu faktor-faktor tertentu.

Meski ada 'kesejajaran' seperti itu, adalah terlalu berlebihan dan simplistis persepsi yang membayangkan Indonesia juga segera dapat terlanda kekuatan rakyat yang tengah berlaku sekarang ini di Mesir dan beberapa negara Arab lainnya. Terdapat sejumlah faktor yang membuat kemungkinan seperti itu lebih kecil di Tanah Air.

Pertama, Indonesia berbeda banyak dengan Mesir, yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir berada dalam genggaman kekuasaan otoriter dan represif yang hampir tidak menyisakan ruang aman bagi ekspresi politik melawan Presiden Mubarak.  Sebaliknya, demokrasi Indonesia yang mulai menemukan momentum sejak 1999 dan terus berkonsolidasi memberikan ruang sangat luas bagi warga untuk mengejawantahkan aspirasi sosial-politik mereka, bahkan secara tidak berkeadaban sekalipun. Ekspresi itu sering kontraproduktif bagi upaya dan program pembangunan, ketika warga, misalnya, menolak pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur yang dapat mempercepat perkembangan ekonomi.

Kedua, memang gejala ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Yudhoyono juga tengah meningkat, terutama terkait kasus dan skandal megakorupsi dan mafia-hukum atau gap di antara janji pemerintah dan realitas di lapangan. Namun, ketidakpuasan yang diekspresikan berbagai kelompok elite sosial-keagamaan dan politik, tidak bakal berujung pada perlawanan kekuatan rakyat terhadap rezim Yudhoyono-seperti perlawanan kekuatan rakyat pada Mei 1998.

Meski demikian, segera juga jelas, keresahan sosial bakal terus meningkat jika pemerintah tetap tidak serius atau belum mampu juga menyelesaikan berbagai masalah pokok yang menjadi sumber keresahan, baik di tingkat rakyat jelata maupun elite sosial politik dan agama. Jika rezim Yudhoyono masih berbasa-basi memberantas korupsi dan mafia hukum, tekanan-tekanan politik, khususnya dari elite sosial-politik bakal terus meningkat. Begitu juga, jika pemerintah tetap tidak mampu mengendalikan harga barang-barang kebutuhan pokok.

Sebab itu, pencitraan politik harus ditinggalkan. Kini saatnya bertungkus-lumus merespons berbagai tantangan. Ini tidak bisa dengan memperbanyak rapat dan menekankan pendekatan normatif. Yang diperlukan adalah keberanian melakukan berbagai terobosan.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 6 Januari 2011
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta