Kota dan Modal Budayanya

Kota dan Modal Budayanya

Dr. Tantan Hermansah

Kehidupan tidak melulu soal materi, mencari kerja/nafkah, kekuasaan/jabatan, dan atau senang-senang seperti rekreasi/wisata serta kumpul bareng teman-teman. Agar bermakna, kehidupan mesti diberi nilai. Nilai-nilai itu yang kelak mengkristal menjadi budaya. Budaya yang mengerak, disebut sebagai kebudayaan. Kebudayaan yang hebat dan berkelanjutan adalah biang atau akar dari peradaban.

Peradaban itu lebih kuat dan cepat tumbuh di kota. Karena kota menjadi pusat (center) dari segala pergerakan dan lalulintas pikiran-pikiran manusia. Relasi dan interaksi yang padat dan cepat, menyebabkan tingkat persaingan begitu tinggi. Persaingan atau kontestasi yang presisi menyebabkan dinamika masyarakatnya begitu kuat. Alhasil, sebagaimana hukum alam, setiap dinamika yang tinggi cenderung mendorong perubahan lebih cepat. Perubahan yang cepat senantiasa menghadapkan manusia pada beragam pilihan. Setiap pilihan ini akan menjadi kontributor utama pada peradaban kemanusiaan.

Sebaliknya dengan masyarakat desa. Perubahan dan inisiatif untuk melakukan dinamika lebih lambat dibandingkan di kota. Sehingga perubahan-perubahan masyarakatnya tidak secepat di kota-kota. Maka, berbeda dengan kebudayaan kota yang bisa cepat berganti, kebudayaan desa cenderung lebih lama bergantinya. Nilai-nilai budaya di desa-desa, dengan demikian, lebih lama terpelihara ketimbang di kota.

Sehingga budaya yang berubah lambat di desa-desa cenderung dijadikan ruang kembali masyarakat kota. Memorabilia tentang kehidupan masa lalu, meski interval waktunya tidak lama-lama amat, dihidupkan sedemikian rupa, meski hanya sekadar ditampilkan secara pragmatis pada keindahan berbusana (a la desa), makanan khas (desa), bumbu racikan aki, nini, dan sebagainya.

Paling tidak, meski penuh rekayasa dan polesan untuk mengkonstruksi realita masa lalu tersebut pada situasi kekinian, tetap saja penampakan itu menjadi oase warga kota untuk mengobati rindunya (pada nuansa desa).

Di sisi lain, masyarakat kota saat ini didorong untuk memiliki kesadaran informasi. Artinya, informasi adalah komoditas yang juga sama dengan benda lain seperti gawai, rumah, mobil, dan titel. Mereka yang tidak memiliki informasi, cenderung harus mengeluarkan biaya lebih besar daripada seharusnya. Inilah yang oleh ekonom seperti Joseph Stiglitz disebut sebagai “asimetric information”.

Konsekwensinya, informasi sama pentingnya dengan menu sarapan pagi. Konsumsi atas informasi yang meningkat menuntut para penyedia informasi melakukan komodifikasi realitas yang kemudian ditampilkan pada layar gawai atau televisi. Di sinilah kebenaran hakiki menjadi disamarkan, tergantung kepada siapa yang paling kuat mendominasi informasi.

Jauh sebelum Stiglitz, Alfin Tofler (1928-2016) sudah memprediksi mengenai kekuasaan informasi sebagai salah satu moda masyarakat modern. Mereka yang berkuasa atas informasi, bisa diprediksi sebagai sebagai seseorang yang menguasai sumberdaya.

Prediksi Tofler tidak terlalu meleset, sebab hari ini, bisnis informasi —khususnya yang basisnya data-data individu— merupakan bisnis paling gurih. Sebut saja: Google, Facebook, bahkan Microsoft dan Apple. Mereka adalah raksasa teknologi yang kebesaran dan kekuasaannya terbangun karena penguasaannya atas data-data usernya.

Dengan segala sifatnya, bagaimana kita mendefinisikan modal budaya orang kota? Tulisan singkat ini ingin menelisik apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai modal budaya, dengan spesifik kepada modal budaya orang kota.

Bourdieu pernah menulis risalah menarik mengenai empat jenis modal yang berlangsung dalam realitas sosial masyarakat saat ini. Keempat modal tersebut adalah: Modal Ekonomi, Modal Sosial, Modal Material, dan Modal Budaya.

Modal Budaya umumnya dimaknai sebagai sesuatu yang sudah ada dan kemudian dipelihara karena memberikan manfaat kepada banyak orang saat ini. Contoh, seni budaya tari-tarian pada sebuah kawasan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya, adalah modal budaya yang harus diperlihara. Sebab dengan memeliharanya, masyarakat generasi terkini kemudian mendapatkan benefit atau keuntungan; begitu juga bahasa, sejarah, dan sebagainya. Semua ada warisan budaya yang membuat masyarakat menjadi mengetahui jati diri dan epistemologi kehidupannya.

Di kota, setiap warisan masa lalu berdialog dengan warisan lain yang mirip tetapi beda asal usul maupun entitas penganutnya. Sehingga dialog ini kemudian menghasilkan budaya baru yang kaya, unik, dan (kadang) mencengangkan. Selain hasil dari dialog, budaya kota diisi oleh berbagai temuan yang terus muncul tanpa henti. Kebutuhan dan kehausan akan temuan-temuan baru menyebabkan keusangan sebuah temuan akan berlaku sangat cepat.

Kemudian karena orang kota yang umumnya diisi oleh orang-orang yang berbeda kultur, kita bisa menemukan budaya kota dalam bentuk dan realitas yang lain. Modal Budaya orang kota adalah mudahnya mengakses informasi dan teknologi. Karena kedua hal itu maka masyarakat kota bukan hanya menemukan jalan kebenarannya, tetapi justru membangun jalannya sendiri.

Jadi bisa disimpulkan bahwa modal budaya masyarakat kota minimal ada tiga, yaitu: semangat menemukan yang baru terus menerus, teknologi dan informasi. Dari ketiganya masyarakat kota kemudian membangun, mengembangkan dan merawat peradaban kota. Baik buruknya peradaban suatu kota ini, cukup bergantung kepada tiga hal ini.

Mari kita buktikan. Ketika semangat menemukan yang baru hilang dari warga kota, maka kota akan menjadi ruang yang diam dan membosankan. Sebab warga akan disuguhi realitas yang tetap, stagnan, dan konstan. Misalnya makanan hanya itu-itu saja; transportasi, pemandangan, jalan, dan sebagainya hanya itu-itu saja. Membosankan bukan?

Begitu juga teknologi dan informasi serta temuan-temuan terkait dengan kedua hal tersebut. Inovasi-inovasi memanjakan penggunanya (user) sekaligus kemudian memutarkan uang hasil pendapatannya untuk menjaga budaya konsumtif.

Budaya konsumtif ini akan memberikan dampak signifikan pada perputaran keuntungan yang ujungnya saling memberikan kesenangan. Rakyat senang, pengusaha untung, dan negara puas. Andai tidak ada itu semua, entah bagaimana proses PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) yang sejak setahun ini diberlakukan. (zm)

Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Artikel dimuat kolom opini Rakyat Merdeka, Selasa 4 Mei 2021.