Konferensi Internasional: 47 Akademisi Presntasikan Paper

Konferensi Internasional: 47 Akademisi Presntasikan Paper

Auditorium Utama, Berita UIN Online— 47 orang akademisi nasional dan internasional memaparkan presentasinya dalam International Conference Southeast Asian Islam: Promoting Moderate Understanding of Islam yang diadakan oleh UIN Jakarta, Kamis-Jumat (08-09/10). Acara ini sebagai sarana untuk memperkenalkan Islam Indonesia ke ranah Internasional.

Penyampaian paper ke-47 akademisi di bagi menjadi lima sesi dalam masing-masing hari. Di hari pertama, Kamis (08/09), tema paper yang disampaikan adalah Indonesian Islam: between Islam Nusantara and Islam berkemajuan; Local Islam in Indonesia; The State and Minority groups in Indonesian Islam; Local Practices of Islam: Between Acculturation and Heresy; dan Islam and Politics in Local Contexts.

Di hari kedua, Jumat(09/10) paper yang dipresentasikan yaitu Toward an Exemplary Role of Indonesian Islam; Indonesian Islam and the Challenge of Global Islamism; Indonesian Islam and Significant Roles of Women; The Prospect and Challenge of Shariatization in Social and Econimic Lives, dan The Youth, Tolerance, and Visualized Islam.

Salah satu penyaji paper, James B.Hoesterey (Emory University, US) dengan papernya yang berjudul Diplomacy, Soft Power, and “Moderate Islam” in Indonesia’s Foreign Ministry menjelaskan Islam moderat Indonesia terbentuk secara politik dan kultural. Watak moderat ini melekat kuat dalam masyarakat muslim Indonesia. “Namun dalam perjalanannya, radikalisme dan kekerasan oleh sebagian masyarakat muslim membuat citra ini sedikit tergeser,” katanya.

Penyaji paper lainnya, Dr. Asni MA (Dosen IAIN Kendari) dengan judul The Position of Women in Islamic Law Acculturation : Indonesia Case, menjelaskan perbedaan posisi wanita di Indonesia dan Arab Saudi. Hukum yang mengatur kehidupan wanita di dua negara ini sangat kontras.

Di Arab Saudi, misalnya, seorang wanita dilarang untuk bepergian tanpa muhrim, dilarang mengendarai mobil sendiri, dan untuk belajar harus terpisah antara pria dan wanita. “Ini sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia, dimana hukum di Indonesia cenderung memberikan kebebasan bagi para wanita untuk berkarya di berbagai tempat,” ungkapnya. (TAM/LRF)