Komitmen Lestarikan Budaya: PBSI UIN Jakarta Peringati 10 Tahun Pestarama Lewat Seminar dan Tribute Sastrawan Diponegoro
Aula Student Center UIN Jakarta, Berita UIN Online – Memperingati satu dekade Pekan Apresiasi Sastra dan Drama (Pestarama), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta menyelenggarakan seminar nasional dan tribute sastra bertajuk “Diskusi Seni dan Sastra Islam”, Rabu (14/5/2025). Kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk penghormatan khusus kepada sastrawan Mohammad Diponegoro, tokoh penting dalam perkembangan teater dan sastra Islam di Indonesia.
Seminar menghadirkan para tokoh budaya dan intelektual yang menyoroti relevansi nilai-nilai Islam dalam seni dan sastra, serta pentingnya mengenang warisan Diponegoro dalam lanskap sastra nasional.
Ketua Program Studi PBSI, Dr. Ahmad Bahtiar, M.Hum., menyebut Pestarama sebagai ruang pembelajaran kreatif bagi sivitas akademika. “Pestarama bukan hanya perayaan seni, tapi juga tempat lahirnya gagasan kreatif dari mahasiswa dan dosen dalam menggali kekayaan sastra Indonesia,” ujarnya.
Wakil Dekan III FITK, Salamah Agung, M.A., Ph.D., mengapresiasi konsistensi acara ini. Menurutnya, Pestarama memperkaya wawasan keilmuan sekaligus mengenalkan tokoh sastra secara kontekstual. “Ini bukan sekadar acara yang menyenangkan, tapi juga memperkaya khazanah keilmuan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Rektor III UIN Jakarta, Prof. Ali Munhanif, M.A., Ph.D., menilai kontribusi Mohammad Diponegoro kerap terpinggirkan. “Saatnya kita membicarakan warisan budaya dengan lebih adil dan menyeluruh,” ucap Prof. Ali.
Pembicara utama dalam seminar ini, Dr. Husein (Kiai Cepu), menekankan bahwa sastra Islam tidak harus menampilkan simbol religius secara eksplisit. “Islam itu substansi, bukan formalitas. Nilai seperti keadilan dan kejujuran adalah inti sastra Islam,” ujar Kiai Cepu.
Ia juga menegaskan pentingnya dedikasi dalam seni. “Seni adalah ekspresi jiwa yang harus tetap menyala meski dalam keterbatasan,” tambahnya.
Lain halnya dengan Bambang Prihadi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan inisiator Pestarama, menyoroti pentingnya kebebasan berekspresi dalam seni. “Simbol ‘islami’ belum tentu mencerminkan kedalaman nilai keislaman. Seni butuh ruang ekspresi yang bebas,” jelasnya.
Selanjutnya, Dosen Fakultas Ushuluddin, Rahmat Hidayatullah menambahkan bahwa Lembaga Kebudayaan Islam (LKI) berperan penting dalam menjembatani nilai Islam dan ekspresi estetika. “Sastra adalah media dakwah, estetika, dan ekspresi spiritual,” ujar Rahmat.
Acara ditutup dengan sesi tribute oleh Mahwi Air Tawar, yang membahas kontribusi Mohammad Diponegoro sebagai pelopor teater Muslim dan puitisasi Al-Qur’an di Indonesia. “Ia bukan hanya religius, tapi juga sastrawan yang peka terhadap estetika dan bahasa,” ungkapnya.
Menurutnya, kontribusi Diponegoro terhadap dunia teater dan sastra Islam belum mendapat tempat yang semestinya dalam historiografi sastra nasional. “Ia membangun jaringan teater sekolah Muhammadiyah dan mendidik anak-anak dalam seni. Ini adalah warisan penting yang harus terus diteliti dan dikembangkan,” pungkasnya.
Mahwi juga mengingatkan bahwa pusat-pusat sastra Islam tak selalu harus berpusat di Jakarta. Banyak tokoh daerah yang menyimpan kekayaan sejarah dan semangat yang luar biasa, yang perlu diangkat ke permukaan.
(Rilis: PBSI/PIH)