Koalisi antara Legacy dan Oligarki

Koalisi antara Legacy dan Oligarki

Pemerintahan Jokowi jilid kedua dimulai setelah prosesi pelantikan presiden dan wakil presiden, kemarin. Agenda berikutnya tentu saja membentuk kabinet, yang sesungguhnya menjadi hak prerogatif presiden. Publik harap-harap cemas apakah konfigurasi dan komposisi menteri beserta kelembagaan yang dibentuk Jokowi mencerminkan komitmennya kepada rakyat atau sekadar membentuk zona nyaman elite? Itulah pertaruhan Jokowi saat ini: mengayuh di antara dua tuntutan, meninggalkan warisan atau legacy yang membanggakan pada akhir jabatan atau meneguhkan kuatnya oligarki partai politik di pemerintahan. Hal ini merupakan ujian kesejarahan yang tak mudah dan hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin pengambil risiko.

Tantangan Indonesia hingga saat ini, dan masih menjadi problem mendasar, mengutip analis politik Northwestern University, Jeffrey Winters, dalam Oligarchy (2011), adalah demokrasi kerap dikuasai oleh kaum oligark, sehingga makin jauh dari cita-cita memakmurkan rakyat. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, oligarki didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan minoritas.

Winters menjelaskan oligarki dengan menekankan kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan politik. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia.

Dalam sistem presidensial, tentu Jokowi selaku presiden memiliki hak mulia yang namanya hak prerogatif. Tentu saja itu tak mudah diimplementasikan karena begitu derasnya kepentingan para elite partai, baik mitra kongsi yang mengusung pasangan ini sedari awal maupun sekelompok partai yang awalnya kompetitor tapi kemudian merapat menjadi mitra koalisi baru atas pertimbangan mendapat kursi di kabinet (office seeking).

Independensi Jokowi sangat dibutuhkan di tengah ragam stimulan dalam komunikasi persuasif yang dilancarkan para pihak yang berkehendak memaksimalkan tuntutan agar berada di dalam kabinet. Jokowi tentu memiliki matriks kebutuhan dalam penentuan orang dan kelembagaan kabinet. Apakah matriks itu sejalan dengan kehendak publik, yakni menguatkan kinerja pemerintah dalam mengatasi ragam persoalan, atau sekadar berbasis politik akomodasi bagi-bagi kursi untuk politik representasi?

Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) menggarisbawahi bahwa semakin tinggi independensi, semakin tinggi pula tingkat kelembagaan. Keutuhan organisasi juga penting dalam tingkat pelembagaan. Sebuah institusi politik, termasuk birokrasi pemerintahan, harus memiliki kewenangan yang kuat, transparan, dan merepresentasikan kebutuhan masyarakat. Tingkat kelembagaan ini dapat ditentukan dari cara beradaptasi, kompleksitas, otonomi, kemampuan organisasi, dan tata cara atau prosedur dalam implementasi kebijakan. Semua ini lagi-lagi kembali ke independensi Jokowi dalam membentuk Kabinet Kerja.

Setiap tahap awal pembentukan pemerintahan akan tergambar seperti apa komitmen pemimpin terhadap rakyat. Apakah yang dipilih menjadi menteri di kabinet adalah sosok-sosok berintegritas tinggi, memiliki basis kompetensi, kepemimpinan yang mumpuni, dan jaringan komunikasi yang memadai? Jika lebih banyak berdasarkan pertimbangan jatah-jatahan, mempercayakan sejumlah orang ke beberapa pos kementerian berbasis kebutuhan yang diharapkan bukan tak mungkin bisa semakin menyuburkan dan meneguhkan kartel dalam birokrasi.

Menurut Adam Przeworski dalam Sustainable Democracy (1999), birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara sesama anggota kartel. Jika itu yang menjadi pilihan, bahaya lanjutannya adalah kekuasaan menjadi proyek individual para elite partai beserta asosiasi korporatisnya.

Bagaimana langkah Jokowi untuk keluar dari jebakan oligarki kekuasaan? Pertama, sebaiknya tidak berlebihan mengakumulasi dukungan sehingga berdampak pada obesitas kekuasaan. Semua partai berbondong-bondong masuk kabinet dan tak menyisakan suara signifikan partai di luar penyokong pemerintah. Jika hanya PKS yang sendirian di luar, mereka tak cukup memadai untuk menampung dan menyuarakan suara rakyat yang berbeda dengan pemerintah. Tapi, jika itu kenyataannya, jangan heran jika pada 2024, PKS akan mendapat insentif elektoral signifikan di tengah enggannya banyak partai menjadi oposisi.

Kedua, Jokowi harus benar-benar memastikan siapa pun yang dipilihnya sebagai menteri akan berdedikasi penuh untuk bekerja membantunya menunaikan janji kesejarahannya kepada rakyat. Bukan menteri yang punya loyalitas ganda sebagai pembantu presiden di satu sisi, tapi bermain mata dengan sejumlah pihak untuk memperkaya diri dan kelompoknya di sisi yang lain. Kabinet adalah tempat berkhidmat kepada rakyat, bukan untuk bancakan kekuasaan. Ketika dilantik menjadi presiden dan memimpin Kabinet Kerja jilid kedua, sejak saat itu pula Jokowi akan diawasi oleh semua mata rakyat Indonesia.

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Tempo, harian Tempo edisi, Senin 21 Oktober 2019 (lrf)