Keunggulan Sistem Pendidikan Muhammadiyah

Keunggulan Sistem Pendidikan Muhammadiyah

Muhbib Abdul Wahab

Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Wakil Ketua I Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

 

Prolog

Mengapa Muhammadiyah mampu bertahan menyinari negeri dan melintasi zaman hingga lebih dari satu abad (kini berusia 111 tahun, didirikan 18 Nopember 1912)? Apa kunci rahasia di balik ketahanan mental dan moral Muhammadiyah sehingga dalam 10 tahun terakhir menjadi organisasi sosial paling kaya, semakin progresif, berkemajuan, dan mendunia sebagai organisasi sosial paling modern?

Pertanyaan tersebut kerap diajukan oleh sejumlah kalangan karena banyak organisasi sosial keagamaan maupun organisasi politik hilang dari pusaran sejarah, bahkan mati atau dibubarkan, seperti: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) atau FPI (Front Pembela Islam), Partai Masyumi, PMB (Partai Matahari Bangsa), Partai Damai Sejahtera, dan sebagainya. Banyak gerakan sosial tidak lagi bergeliat atau berhenti bergerak karena kehabisan “bensin” di tengah jalan atau karena tidak mendapat “jatah kue pembangunan” dari pemerintah.

Alhamdulillah, Muhammadiyah tetap bersinar dan menyinari bumi nusantara dan semesta, karena Muhammadiyah didirikan sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang mengemban visi mulia, yaitu mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah tanpa lelah terus mengaktualisasikan misi dan tujuan mulianya: mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-shahihah.

Eksistensi dan kontribusi Muhammadiyah sungguh telah dirasakan oleh warga bangsa dan dunia. Muhammadiyah telah mendedikasikan diri dalam berbagai bidang amal usaha, khususnya pendidikan, jauh sebelum NKRI berdiri. Sementara itu, agenda internasionalisasi Muhammadiyah bukan hanya menjadikan persyarikatan ini lebih mendunia, terutama dengan amal usaha pendidikannya yang sudah berdiri dan beroperasi di luar negeri, seperti: UMAM di Malaysia, TK ABA di Mesir, dan Muhammadiyah Australia College di Melton, tetapi juga menjadikan spirit jihad sosial edukasional Muhammadiyah mewarnai sistem pendidikannya yang memikat hati dan tersebar di seantero negeri.

Etos Beramal

Muhammadiyah dikenal memiliki etos beramal dalam membangun gerakan progresif, yaitu: “Sedikit bicara (berwacana), banyak bekerja”. Bagi Muhammadiyah, amal usaha dan layanan yang bermanfaat dan bermaslahat bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan menjadi ruh, spirit, dan orientasi gerakan. Muhammadiyah tidak membudayakan “jualan slogan” seperti NKRI harga mati atau merasa paling toleran dan paling Pancasilais, padahal dalam realitasnya justeru sebaliknya. Muhammadiyah hadir di tengah kehidupan umat dan bangsa dengan bukti nyata layanan, bukan hanya “berwacana” tanpa kontribusi nyata.

Dalam bidang layanan pendidikan, data terbaru menunjukkan bahwa Muhammadiyah kini memiliki 172 PTMA (Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah, 85 di antaranya berbentuk universitas, dan sisanya berbentuk institut, sekolah tinggi) dan 9 PTA (Perguruan Tinggi Aisyah). Bahkan organisasi perempuan pertama yang menginisiasi pendirian perguruan tinggi adalah Aisyiyah. Selain itu, Muhammadiyah juga mengelola 20.233 satuan pendidikan pra sekolah, 1.432 SD, 1.385 MI, 246 SMP, 578 MTs, 535 SMA, 218 MA, 616 SMK, 50 SLB, 440 pesantren, 324 Madrasah Diniyah Takmiliyah, 1.031 TPQ, dan 109 PKBM. Semua AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) di bidang pendidikan tersebut menunjukkan komitmen kuat Muhammadiyah dalam mencerdaskan dan mencerahkan masa depan umat dan bangsa.

Semua AUM itu tersebut tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Bahkan, di daerah minoritas Muslim, seperti: Papua, NTT, dan Sulut, Muhammadiyah menjadi garda terdepan dalam melayani kebutuhan pendidikan masyarakat. Di Papua dan NTT, mayoritas mahasiswa di PTM (mencapai 65-80%), seperti di Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Muhammadiyah Manado, dan Universitas Muhammadiyah Kupang (NTT) adalah non-muslim (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu), sehingga berdasarkan fakta sosial tersebut muncul istilah Krismuha (Kristen Muhammadiyah).

Etos beramal dan berta’awun (berkolaborasi) untuk pelayanan kemasalahatan keummatan, kebangsaan, dan kemanusiaan itu tidak dapat dipisahkan dari spirit keagamaan yang diajarkan pendiri Muhammadiyah: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Tetapi jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah”. Artinya, Muhammadiyah harus dijaga, dirawat, dan terus dibesarkan dengan etos beramal kebajikan dan sosial kemanusiaan. Muhammadiyah tidak boleh digerogoti oleh oknum-oknum oportunis yang mengedepankan kepentingan pribadi dengan memanfaatkan Muhammadiyah sebagai “kendaraan dan batu loncatan” dalam memperkaya diri atau bersolo karir, bukan mengembangkan Muhammadiyah.

Dalam konteks ini, pengurus dan warga persyarikatan berhak hidup dan terus berkembang maju dalam mengelola AUM, tetapi tidak elegan apabila orientasi keaktifannya dalam bermuhammadiyah justeru menjadi “benalu dan penyakit” bagi kemajuan Muhammadiyah. Menghidupi Muhammadiyah mengharuskan kita menjadi pribadi yang sudah selesai dengan diri sendiri, agar tidak tumbuh budaya oportunisme dalam bermuhammadiyah. Bermuhammadiyah itu menabur benih, menebar sumbangsih, menabung amal shalih dalam rangka berfastabiqul khairat demi kebahagiaan dunia dan akhirat.

Teologi al-Ma’un sebagai Spirit Pendidikan Muhammadiyah

Teologi al-Ma’un merupakan metodologi inovatif dalam pembelajaran al-Qur’an  yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan bagi murid-muridnya. Teologi al-Ma’mun juga merupakan model sekaligus spirit gerakan Islam berkemajuan. Oleh karena diyakini kebenaran dan efektivitasnya dalam menyemai dan menumbuhsuburkan AUM, khususnya pendidikan, metodologi, model, dan spirit gerakan yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan ini dinamai teologi al-Ma’un.

Dalam praktiknya, teologi al-Ma’un menghendaki integrasi gerakan pemikiran dan praksis perubahan sosial kemanusiaan menuju kemajuan peradaban. Ayat-ayat Qur’aniyyah harus dibaca, dipadukan, dan diimplementasikan secara kontekstual dengan ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (alam semesta dan sosial). Jadi, Islam berkemajuan dapat ditransformasikan dalam proses menuju Indonesia berkemajuan jika didukung oleh adanya gerakan pemikiran dan peradaban (gerakan ide, pengembangan ilmu, riset, dan inovasi) dan dipadukan dengan gerakan amal nyata melalui pemberdayaan institusional efektif dan amal sosial humanis.

Islam berkemajuan, sebagaimana terinspirasi dari metodologi pemahaman dan penafsiran sosial KH. Ahmad Dahlan terhadap surat al-Ma’un, mencerminkan pentingnya transformasi dari pemahaman dogmatis dan indoktriner menuju pemahaman kritis-transformatif dan kontekstual terhadap ajaran Islam. Dengan demikian, Islam berkemajuan secara teologis menghendaki integrasi dua model kritik sekaligus, yaitu kritik teks dan kritik konteks (realitas sosial) dengan senantiasa merespons perkembangan sains, teknologi, dan kebutuhan sosial  yang mempunyai relevansi sosial keummatan.

Muhammadiyah telah mereformasi sistem pendidikan dari yang bersifat tradisional menjadi modern berbasis teologi al-Ma’un tersebut. Pendirian al-Qismu al-Arqa oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1918 yang kemudian bertransformasi menjadi Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat merupakan model pendidikan Islam yang didesain berbasis sistem, berorientasi kaderisasi ulama, zu’ama (pemimpin), dan pendidik masa depan. Keunggulan sistem Pendidikan Muhammadiyah yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan ini tidak mengandalkan kekuatan figur (tokoh), tetapi mengoptimlkan sistem dan manajemen modern.

Sistem pendidikan Muhammadiyah berorientasi kepada pembentukan kepribadian unggul, integritas moral, kompetensi kepemimpinan, dan pengembangan keterampilan sosial. Melalui sistem persekolahan dan pendidikannya, Muhammadiyah telah banyak melahirkan kader-kadernya untuk menjadi pemimpin bangsa. Bagi KH. Ahmad Dahlan, sistem Pendidikan Muhammadiyah didesain untuk menghasilkan ulama yang intelek dan intelek yang ulama; dan keduanya (intelek dan ulama) harus berkemajuan, berwawasan luas, berpikir strategis dan futuristik, mampu merespon persoalan dan perubahan zaman.

Aktualisasi teologi al-Ma’un dalam sistem Pendidikan Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan Pendidikan bagi warga bangsa tanpa diskriminasi. Dengan spirit Islam rahmatan lil ‘alamin, sistem pendidikan Muhammadiyah didoring untuk berkontribusi  mewariskan legasi peradaban dan karya-karya kemanusiaan yang bermanfaat bagi umat dan bangsa, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di manca negara (luar negeri).

Teologi al-Ma’un telah menginspirasi Muhammadiyah untuk mengembangkan ajaran cinta kasih (rahmah) dan kebaikan sosial (ihsan) dengan memperjuangkan secara gigih terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Munir Mulkhan, KH.Ahmad Dahlan merupakan figur teladan pencari identitas kebenaran etos kemanusiaan. Berbasis teologi al-Ma’un, didirikanlah berbagai sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari diploma sampai  doktoral, pesantren, panti asuhan yatim piatu, rumah sakit, rumah bersalin, rumah miskin, dan kepanduan.

Jadi, teologi al-Ma’un merupakan energi positif dan spirit transformatif yang menggerakkan Muhammadiyah dalam mengembangkan pelayanan kemanusiaan dan pencerdasan umat dan bangsa melalui sistem pendidikan yang unggul. Keunggulan utama sistem pendidikan terletak pada integrasi agama dan sains; integrasi iman, ilmu, dan amal shalih; dan integrasi iman, Islam, dan ihsan; sekaligus integrasi dzikir, pikir, dan aksi taghyir (transformasi) menuju khaira ummah yang didesain untuk melayani dan mengabdi untuk kemanusiaan, dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Keunggulan sistem pendidikan Muhammadiyah mengedepan agenda mulia: (1) dakwah dan tajdid menuju kebenaran, kebaikan, dan kebahagiaan, liberasi (amar ma’ruf), humanisasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minuna bi Allah) (QS Ali Imran/3: 104 dan 110)

Penguatan Gerakan Literasi dan Inovasi

            Jika pada abad pertama (1912-2012) Muhammadiyah dinilai sukses dalam tiga bidang layanan (amal usaha): schooling, healing, dan feeding, maka dalam abad kedua, Muhammadiyah berkomitmen memajukan peradaban bangsa berbasis gerakan literasi, yaitu gerakan mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan masyarakat bangsa, sehingga menjadi bangsa yang beriman, berilmu, beramal, dan beradab. Meminjam istilah Din Syamsuddin, dakwah Muhammadiyah abad kedua harus bervisi pembebasan (tahrir), pencerahan (tanwir), pemberdayaan (taqwiyah, empowering), dan pemajuan peradaban umat dan bangsa.

Esensi gerakan literasi peradaban adalah gerakan melek agama, sains, teknologi digital, dan nilai-nilai kehidupan yang berorientasi Islam berkemajuan. Literasi peradaban memosisikan manusia sebagai agent of civilization, sehingga pandangan hidupnya (way of life) bukan sekadar hidup untuk makan dan bertahan hidup dengan mencari kekayaan dan merebut kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala cara.

Dengan demikian, literasi peradaban berarti cerdas membaca, sukses mendidik, dan memaknai kehidupan untuk meraih kemajuan, keagungan, dan kemaslahatan umat dan bangsa, bukan sekadar untuk numpang urip, merampok dan mengeruk kekayaan bangsa. Literasi peradaban adalah literasi spirit kesatuan berbasis keumatan dan kebangsaan demi tegak, merdeka, dan majunya NKRI. Literasi peradaban menghendaki integritas moral, jiwa kuriositas, inovatif, kreatif, konstruktif, dan produktif, bukan tunamoral, tunaetik, oportunistik, egoistik, permisifistik, dan nirnasionalistik.  

Selain itu, keunggulan sistem pendidikan Muhammadiyah juga tercermin dalam peta jalan Islam wasathi atau wasathiyah al-Islam. Ideologi keagamaan Muhammadiyah selalu mengintegrasikan pemahaman integratif sekaligus moderat, bukan ekstrem dan radikal, antara ayat-ayat Qur’aniyyah, ayat-ayat kawniyyah dan ijtima’iyyah (semesta raya dan sosial) dalam bentuk kesalehan peradaban yang autentik, bukan sekadar retorika dan wacana belaka. Gerakan literasi Muhammadiyah tidak hanya menyinari dan menginspirasi negeri, tetapi juga selalu memberi bukti nyata kesalehan autentik dan keteladanan faktual.

Sejatinya aktualisasi konsep Islam berkemajuan dalam pandangan Muhammadiyah dapat ditransformasikan menjadi Indonesia berkemajuan, apabila dilandasi gerakan literasi pemikiran dan peradaban (gerakan ide, gerakan intelektual –meminjam istilah A. Syafi’I Ma’arif— pengembangan ilmu, riset, dan pendidikan) dan dipadukan dengan gerakan kesalehan peradaban melalui pemajuan sistem dan institusi pendidikan yang efektif dan progresif. Maka, dinamisasi gerakan literasi peradaban juga harus  ditopang oleh optimalisasi gerakan ziswa (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) produktif dengan manajemen modern. LazisMu (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah), TVMu, PesantrenMu, CyberMu, koperasiMu, LogMu, HotelMu, dan sebagainya penting disinergikan dalam mendukung aktualisasi proyek literasi peradaban.

Dalam Islamic Philantrophy: Reviving Traditional Forms for  Building Social Justice, Jennifer Bremer (2004) berpendapat bahwa membangun masyarakat madani (civil society) yang kuat menghendaki adanya sistem pengembangan filantropi atau kedermawanan sosial untuk mewujudkan keadilan sosial. Organisasi sosial keagamaan modern seperti Muhammadiyah sangat potensial dan kompatibel menjadi lokomotif bangsa dalam membangun dan memajukan peradabannya.

Sebagai saksi kesalehan peradaban autentik, Muhammadiyah selalu hadir melayani masyarakat dengan penuh ketulusan dan kesalehan autentik. Tidak sibuk mengklaim diri sebagai paling toleran, paling Pancasila, dan merasa paling NKRI, Muhammadiyah sudah terbiasa hidup harmoni dan penuh tolerasi di berbagai komunitas minoritas Muslim seperti di NTT dan Papua dengan amal usahanya yang memajukan pendidikan dan peradaban bangsa. Sistem Pendidikan Muhammadiyah itu unggul karena merawat kekayaan multikultural dan beradaptasi dengan kearifan lokal.

Keunggulan sistem pendidikan Muhammadiyah juga terletak pada pengembangan model pendidikan holistik integratif dan dakwah pencerahan yang disinergikan dalam menumbuhkan indeks “melek” budaya literasi peradaban yang berkeadaban, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, masa depan Indonesia yang berkemajuan sangat potensial menjadi peradaban agung dan mendunia, apabila teologi al-Ma’un tersebut dipahami dan diinternalisasikan dalam sistem pendidikan Muhammadiyah secara transformatif-kultural, dari pemahaman formalistik-normatif menuju pemahaman kritis-transformatif dan kontekstual.

Berbasis teologi al-Ma’un pula, konsep dan aktualisasi Islam berkemajuan menghendaki integrasi dua model kritik sekaligus, yaitu kritik teks dan kritik konteks (realitas sosial) dengan senantiasa merespon perkembangan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) dan relevansi sosial keummatan. Implikasinya, lulusan sistem pendidikan Muhammadiyah harus mampu menampilkan profil diri sebagai khaira ummah sekaligus ummatan wasathan (umat tengahan, umat moderat), tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, tidak anarkis dan tidak pula teroris, toleran namun tetap tegas, teguh pendirian, dan tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan ajaran Islam dan tidak memihak kepentingan dan kemaslahatan umat dan bangsa.

Akhirul kalam, melalui sistem pendidikan Muhammadiyah yang unggul, kaderisasi ulama dan pemimpin umat dan bangsa merupakan kebutuhan mendesak di tengah hadir pemimpin bangsa yang gagal mengemban amanat rakyat, bahkan nyaris menjadi NKRI ini sebagai negara gagal (failed state, dawlah fasyilah) –meminjam istilah Noam Chomsky. Oleh sebab itu, PP Muhammadiyah perlu memberikan perhatian serius dan pemikiran visioner terhadap pemajuan sistem pendidikan pesantrenMu.  Sistem pendidikan pesantrenMu sangat diharapkan bisa diandalkan untuk melanjutkan misi kenabian (risalah an-nubuwwah) dan memasok sumber daya ulama tarjih, ulama pendidikan, dan ilmuwan masa depan bagi persyarikatan dan bangsa. Melalui sistem pendidikan pesantrenMu yang unggul dan berkemajuan, kehidupan beragama (hirasat ad-din) yang bermaslahat dan tata kelola pemerintahan dan urusan keduniaan (siyasat ad-dunya) yang sehat, bermartabat, dan bersih dari korupsi tidak dikooptasi oleh para pengkhianat negeri dan oligarki.

Selain itu, melalui gerakan literasi dan inovasi peradaban, sistem pendidikan Muhammadiyah juga diharapkan berkontribusi positif dalam merawat kebinekaan dan kemajemukan Indonesia dengan menampilkan karakter humanisnya: ramah, harmoni, damai, toleran, penuh kasih sayang,  antikorupsi, antikekerasan, antiterorisme, anti-illegal logging, antitrafficking, antiketidakadilan sosial, dan sebagainya. Dengan gerakan literasi peradaban yang berkeadaban, sistem pendidikan Muhammadiyah juga terbukti telah menanam saham keagamaan dan kebangsaan yang toleran, rukun, damai, adil, sejahtera, bahagia dunia dan akhirat. Jadi, keunggulan sistem pendidikan Muhammadiyah perlu disinergikan dengan gerakan literasi peradaban,  sehingga Muhamadiyah dapat menampilkan model  keberagamaan moderat nan teladan dan kesalehan auntentik dalam memajukan peradaban umat dan bangsa yang agung, humanis, dan berkeadilan sosial.  Semoga!