Ketika Pemimpin Parpol Jadi Menteri

Ketika Pemimpin Parpol Jadi Menteri

KETIKA seorang pemimpin partai politik (parpol) duduk sebagai menteri, di sana ada dua sisi yang berseberangan, positif dan negatif. Mari kita lihat sisi positifnya.

Pertama, setiap parpol dibentuk salah satunya bertujuan untuk merebut kekuasaan dalam pemerintahan. Jadi logis dan sah-sah saja tokoh parpol duduk di lembaga eksekutif untuk ikut mengatur jalan pemerintahan. Kedua, aktivis parpol umumnya sudah berpengalaman mengendalikan massa dan mengatasi berbagai konflik sehingga pengalaman itu akan bermanfaat ketika dirinya duduk sebagai menteri dengan sekian banyak beban dan masalah yang dihadapi.

Ketiga, untuk naik menjadi pemimpin parpol, terlebih lagi sebagai ketua, telah melalui proses seleksi dan kompetisi sengit sehingga siapa pun orangnya pasti bukan sembarangan. Dia memiliki kualifikasi sebagai seorang pemimpin. Kualitas ini juga sangat bagus untuk memperkuat jajaran eksekutif sebuah pemerintahan.

Keempat, seorang menteri yang memperoleh mandat dari parpol mestinya memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik dan martabat parpolnya sehingga yang bersangkutan akan bekerja dengan optimal, baik demi promosi dan reputasi parpolnya maupun sebagai kontribusi parpol kepada negara.

Kelima, jika parpol memiliki massa yang banyak, dengan jaringan dan dukungan massanya, seorang menteri akan lebih efektif melaksanakan sebuah kebijakan publik demi kepentingan rakyat. Keenam, dengan keterlibatan tokoh-tokoh parpol dalam kabinet, diharapkan akan terjadi kompetisi antarmenteri yang datang dari parpol berbeda. Ketujuh,eksistensi dan partisipasi parpol dalam kabinet akan mendukung proses demokratisasi.

Demikianlah, sisi positif di atas tentu dapat diperluas dan diperdalam lagi. Kendati begitu, adakah sisi negatif yang mesti diwaspadai dan dikritik? Pengamatan sementara ternyata juga terdapat sisi negatif ketika pemimpin parpol duduk sebagai menteri. Mari kita lihat meskipun ini masih berupa dugaan. Pertama, sulit dipisahkan dan dilepaskan loyalitas seorang pemimpin parpol terhadap partai asalnya meskipun secara formal sudah menduduki jabatan menteri.

Padahal, secara teoretis, begitu seseorang menduduki jabatan publik, berakhirlah loyalitas kepada partainya. Kedua, tidak semua menteri yang berasal dari parpol dengan cepat menguasai persoalan dan tantangan serta kultur kerja sebuah departemen yang dimasuki sehingga ada yang perlu waktu panjang untuk belajar dan beradaptasi.

Ketiga,mungkin sekali ada pejabat karier di sebuah departemen yang lebih ahli dan kompeten ketimbang menteri yang datang dari parpol.Akibatnya wibawa menteri turun di hadapan bawahannya di samping kinerjanya tidak efektif untuk memajukan departemen. Keempat, ditengarai menteri yang datang dari parpol masih ada yang kental aroma ideologisnya dan cenderung menciptakan polarisasi berdasarkan sentimen ideologis sehingga merusak sistem dan kultur meritokrasi dan profesionalisme yang mestinya tumbuh di setiap departemen.

Kelima,ada indikasi beberapa menteri datang dengan membawa orang kepercayaannya sesama aktivis dan pengurus parpol yang kemudian mencampuri kebijakan departemennya sehingga dicurigai terjadi pemanfaatan fasilitas departemen untuk kepentingan parpol.

Keenam, dikhawatirkan menteri dari parpol akan menjadikan departemen dan jaringannya sebagai ATM atau sumber keuangan partai dengan berbagai cara yang secara legal kelihatannya sah, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan partai.

Ketujuh, jika terjadi konflik kebijakan dan kepentingan antara tuntutan tugas dan etika sebagai menteri di satu sisi dan kepentingan partai di sisi lain, kinerja seorang menteri akan terganggu. Bisa jadi loyalitasnya kepada partai lebih kuat ketimbang tuntutan jabatannya. Demikianlah, seberapa benar asumsi, dugaan, dan kecurigaan di atas,silakan saja diamati dan dilakukan penelitian terhadap kinerja dan perilaku menteri yang juga seorang tokoh dan aktivis parpol.

Dengan banyaknya parpol tidak selalu berarti demokrasi kokoh dan sehat yang pada urutannya juga akan membuat pemerintahan efektif. Sebaliknya, dengan banyaknya jumlah parpol, bisa jadi yang terjadi adalah sebuah koalisi pragmatis bagi-bagi kekuasaan setiap lima tahunan untuk kepentingan kelompok yang tidak memiliki visi dan agenda besar demi perbaikan bangsa.

Yang memprihatinkan adalah jika parpol sekadar dijadikan tangga naik untuk memperoleh akses ke pusat kekuasaan, politik, dan uang tanpa dibekali kompetensi dan integritas, melainkan hanya berbekal legalitas sebagai wakil rakyat yang sah berkat dukungan massa. Lebih memprihatinkan lagi jika dukungan suara itu pun dijemput dengan uang, dengan harapan dan kalkulasi nantinya uang akan kembali dengan jalan korupsi.(*)