Kebhinnekaan Adalah Rahmat

Kebhinnekaan Adalah Rahmat

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar MA

Kita sering diperdengarkan hadis Nabi yang menyatakan: Ikhtilafu baina ummati rahmah (Perbedaan di antara umatku adalah rahmat).

Pernyataan ini semula sulit diterima oleh kalangan sahabat Nabi, karena dalam tradisi masyarakat yang bercorak kesukuan (qabiliyyah) selalu dibiasakan pola hidup kemasyarakatan yang homogen. Ketika ayat demi ayat turun juga menolerir perbedaan, maka semakin terbukalah pandangan dan wawasan bangsa Arab bahwa perbedaan tidak mesti diartikan sebagai ancaman.

Inilah reformasi paling mendasar yang ditancapkan ajaran Islam di masyarakat. Ketika masyarakat belum terbiasa dengan perbedaan, tiba-tiba Islam tampil menyebarkan pola hidup keterbukaan.

Wajar, jika resistensi para elite dan bangsawan Arab menolak, dan bahkan bermaksud membinasakan Nabi Muhammad SAW. Bukan karena Nabi tidak baik atau berakhlak buruk, tetapi mereka tidak ingin kedudukannya terancam dengan tradisi baru yang dikenalkan Al-Qur’an di masyarakat.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan perbedaan dan pluralitas (bhinneka) sebagai sebuah keniscayaan. Keberagaman itu sendiri adalah dianggap sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatullah.

Dalam Al-Qur’an ditegaskan: Wa lau sya’a Rabbuka, laja’alnaa kum ummatan waahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaya ia menjadikan kalian menjadi satu umat). Dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata/huruf lau (jika) bukannya in atau idza.

Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi.

Masalahnya, sekarang kamus bahasa Indonesia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan “jika” tanpa kualifikasi.

Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar.

Ironisnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelompok mi­noritas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu member­sihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid’ah.

Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok sering­kali di antaranya tidak menerima serangan pembid’ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas.

Sesungguhnya kasus seperti tersebut di atas bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara mayoritas muslim lain juga sering ditemukan. Penyerangan aliran yang dianggap “sesat” oleh majelis ulama seringkali menjadi target. Di antara berbagai golongan saling mengkafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama.

Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan, karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain.

Di Indonesia yang mengenal motto Bhinneka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya berbeda-beda, namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya perjuangan melawan penjajah, membuat perbedaan-perbedaan terse­but ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni, membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelompok-kelompok etnik dan ajaran agam sebagai di Indonesia.

Kita sangat berharap umat Islam lebih siap menerima perbedaan dengan kehadiran kitab sucinya yang mengajarkan kebersamaan dalam perbedaan. Mungkin tidak ada kitab suci seterbuka Al-Qur’an dalam menerima perbedaan.

Di sinilah Al-Qur’an menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Al-Qur’an diharapkan memberikan tuntu­, bagaimana menjalani kehidupan bermartabat dalam suasana perbedaan. (tangselpos/zm)

 

Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat kolom opini Tangsel Pos Minggu 28 Agustus 2022. Lihat di  https://tangselpos.id/detail/2713/kebhinnekaan-adalah-rahmat