Karakter Kikir

Karakter Kikir

Salah satu isi kandungan Alquran yang cukup dominan adalah kisah umat terdahulu, baik yang shaleh maupun durhaka. Kisah-kisah umat terdahulu menghiasi lebih dari 30 persen ayat Alquran.

Tujuan utama pengisahan adalah agar umat Nabi Muhammad SAW mau menjadikan sebagai pelajaran berharga untuk menatap masa depan yang mulia dan bahagia, bukan sengsara dan binasa, baik di dunia maupun di akhirat.

Di antara kisah menarik dalam Alquran adalah kisah pemilik kebun yang kikir. ”Sesungguhnya kami telah memberi cobaan kepada mereka (Musyrikin Makkah) sebagaimana kami memberi cobaan kepada mereka pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapka In sya Allah.”

“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam (karena terbakar) seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka saling memanggil di pagi hari.”

“Pergilah di pagi (ini) ke kebunmu jika hendak memetik buahnya. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. Pada hari ini janganlah ada seseorang yang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”        

“Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang miskin), padahal mereka mampu (menolongnya).”

“Tatkala mereka melibat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang tersesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).”

“Berkatalah orang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, Hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)!” Mereka mengucapkan: “Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim’. ”Lalu satu sama lain saling berhadap-hadapan seraya saling mencela. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; Sesungguhnya kita adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Qalam [68]: 12-31)

Kisah menarik dan sarat pesan moral tersebut menunjukkan bakhil atau kikir itu merupakan karakter sekaligus penyakit sosial yang sangat berbahaya, baik pelakunya sendiri maupun orang lain, terutama kaum fakir-miskin. Bahaya kikir itu terlihat dari sikap pemilik kebun yang sombong dan merasa tidak akan ada yang dapat “menggagalkan” panennya, sekaligus kerakusannya terhadap karunia Allah dengan tidak mau peduli dan sampai terhadap sesamanya.

Sebagai peringatan keras bagi orang kikir, Allah SWT lalu mendatangkan petir yang menyambar dan menghanguskan kebun yang sudah siap dipanen milik orang bakhil itu. Ketika datang ke kebun di pagi buta, mereka hanya bisa “gigit jari” sambil menyesali diri karena apa yang sudah direncanakan (panen besar) ternyata gagal total.

Pesan moral yang dapat dipetik adalah bahwa karakter kikir, sombong, dan rakus, minimal kikir dalam mensyukuri nikmat Allah itu sangat berbahaya karena dapat menjadi penyebab banyak bencana, musibah, malapetaka yang datang silih berganti. Kekikiran, keserakahan, dan kesombongan kerap kali membuat manusia tidak pernah dapat bersikap qana’ah dan tidak pandai bersyukur kepada Allah SWT, sehingga menjadi orang yang durhaka dan melupakan-Nya.

Orang kikir cenderung berniat jahat dengan sikap antisosial dan tidak peduli terhadap nasib fakir miskin. Kisah tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kekikiran finansial dan sosial cenderung melahirkan karakter egois dan individualistis yang berlebihan, sehingga pelakunya tidak memiliki sifat empati.

Dengan demikian, warga bangsa ini perlu merubah karakter negative seperti kikir dan sombong menjadi karakter positif dengan menyadari sepenuh hati bahwa sesungguhnya kepemilikan di dunia ini hanyalah titipan yang bersifat sementara belaka, karena semua yang ada di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Dr Muhbib Abd Wahab MA, Kepala Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Hikmah Republika, Sabtu, 9 Maret 2019.(lrf/mf)