Kapling Partai atas Kekuasaan

Kapling Partai atas Kekuasaan


Sejak disahkannya UU Pilpres, wajah calon presiden semakin terlihat jelas. Paling tidak para peserta kontestasi dalam Pilpres semakin terbatas. Dengan batasan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara, maka yang paling memungkinkan mengajukan calon presiden hanya partai besar. Partai dengan suara terbatas tidak punya peluang untuk mencalonkan presiden kecuali dengan koalisi.

Namun dari wacana dan hasil survei yang berkembang, justru capres yang menguat adalah sosok yang, kursi dan suaranya, belum memenuhi standar UU Pilpres tersebut. Dari beberapa kali survei nama yang selalu muncul sebagai calon presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. SBY yang diusung Partai Demokrat saat ini hanya mendapatkan 8% kursi dan Megawati (PDIP) 19% kursi. Kalau melihat komposisi wakil partai di parlemen yang ada sekarang, maka hanya Partai Golkar lah (22% kursi) yang paling berhak mengajukan calon presiden. (Saiful Mujani-William Liddle, 2008). Namun sampai saat ini Golkar belum menentukan Capresnya secara definitif, bahkan kecenderungannya masih tetap menempatkan Jusuf Kalla sebagai pasangan SBY.

Kalau berdasarkan temuan mutakhir Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir pada 16 November kemarin, tidak ada satu parpol pun yang mencapai batas minimal pengajuan Capres-Cawapres. Besarnya swing voter menyebabkan partai-partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP cenderung mengalami penurunan suara. Menurut hasil survei LSI, Partai Golkar hanya didukung 15,09 persen dan PDIP 14,2 persen. Justru kenaikan didapat Partai Demokrat, 16,8 persen. Dengan demikian, masing-masing partai sangat berkepentingan menjajaki kemungkinan koalisi untuk meraih kursi kekuasaan di Republik ini. Kenyataan ini merupakan efek dari tingginya syarat (UU) pencalonan presiden yang disahkan oleh DPR.

Wacana syarat pencalonan Presiden memang sarat kepentingan kekuasaan. Ia merupakan tafsir hegemonik parpol sebagai satu-satunya kendaraan kekuasaan untuk tingkat nasional (presiden dan wakil presiden). Karena itu, kekuasaan menjadi tambang kepentingan partai politik. Dan itulah yang sedang dibidik dan dioptimalkan oleh PDIP untuk memenangkan Megawati sebagai capres pada Pilpres 2009. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufik Kiemas, PDIP akan mengerahkan Kepala Daerah yang berasal atau didukung partainya untuk memenangkan Megawati dalam Pilpres 2009 (Sindo, 6/11). Hal ini semakin mempertegas bahwa loyalitas pemimpin terhadap partainya sengaja dirawat untuk kepentingan kekuasaan parpol itu sendiri.


Problem Loyalitas

Politisasi kekuasaan menjadi niscaya karena kekuasaan diletakkan sebagai hadiah dari partai dan karenanya harus tunduk pada partai. Loyalitas pada parpol berkonsekuensi pada fragmentasi dan segmentasi kekuasaan dalam mengoperasikan negara (pemerintahan). Koalisi yang dibangun SBY melalui kabinet pelangi menjadi kurang efektif karena partai masih memainkan kartu trufnya untuk bargaining position dengan kekuasaan. Hal ini kemudian menguat pada level di bawahnya. Yaitu sikap para kepala daerah yang lebih tunduk pada perintah parpol daripada pemerintahan di atasnya. Secara faktual hal tersebut terlihat jelas dalam beberapa sikap kepala daerah yang bersimpang jalan dengan pemerintah pusat bahkan presiden.

Loyalitas kekuasaan pada partai menjadi problem karena eksistensi partai tidak berbasis pada program yang jelas. Partai lebih mengemuka sebagai kendaraan politik untuk meraih posisi dan mempertahankan hegemoninya. Karena itu, standar keberhasilan partai hanya diukur oleh seberapa banyak kursi legislatif didapat dan seberapa besar kekuasaan diraih. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh departemen atau lembaga pemerintah yang dikuasi oleh parpol tertentu selalu diorientasikan pada penguatan kepentingan parpolnya daripada kepentingan masyarakat (negara) secara umum.

Kuatnya orientasi kekuasaan parpol tak jarang menerabas etika dan moral sehingga melahirkan provokasi-provokasi politik yang mempertebal emosionalitas masyarakat. Apalagi di tengah euforia media massa yang menjadi lahan iklan politik yang begitu luas dan bebas. Akibatnya tidak jarang iklan-iklan politik melahirkan kontroversi. Beberapa waktu lalu, kita pernah disuguhi oleh iklan politik PDIP yang menginstruksikan jajaran pengurus DPD, DPC, PAC, dan Ranting beserta seluruh kader, anggota, simpatisannya untuk membela dan mempertahankan kemenangan calon yang diusungnya dalam Pilkada Jawa Timur berdasarkan hasil quick count dan hitungan manual yang dilakukan oleh timnya (Sindo, 12/11). Instruksi ini di samping dapat memupuk emosionalitas politik massa, juga merupakan pembelajaran politik yang tidak baik dalam menumbuhkan dan merawat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik. Ajakan tersebut bisa mendegradasi otoritas lembaga politik (KPUD) yang bertanggungjawab atas penghitungan hasil Pilkada maupun pemilu dan bisa memupuk benih konflik dan chaos.

Proses degradasi kepercayaan atas otoritas lembaga-lembaga yang dibangun untuk menunjang demokrasi tersebut, secara tidak langsung sedang mengamputasi konsolidasi demokrasi. Karena demokrasi sejatinya bersandar pada kepercayaan masyarakat atas gerak lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri.


Merawat Kepercayaan

Fenomena menguatnya golput dalam beberapa pilkada dapat dibaca sebagai bentuk degradasi kepercayaan masyarakat atas proses demokrasi. Walaupun banyak faktor yang menyebabkan golput, namun satu hal yang tidak bisa dimungkiri, golput merupakan representasi dari “ketakberdayaan” warga mengapresiasi dinamika politik. Partai politik sebagai pilar demokrasi gagal menegakkan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik kenegaraan yang sejatinya untuk kepentingan konsolidasi demokrasi.

Karena itu, tantangan konsolidasi demokrasi adalah kepercayaan politik (political trust) yang cenderung menurun. Kepercayaan politik, menurut Gabriela Catterberg dan Alejandro Moreno (2005), ditentukan oleh tingkat akomodatif political actors (presiden, politisi, dan ketua partai) dan political institution (parlemen, partai politik, kehakiman, dan tentara) terhadap aspirasi masyarakat. Sebaliknya, kepercayaan politik mati oleh korupsi sistemik yang menguras uang rakyat dan radikalisme politik yang memupuk emosionalitas massa. (political trust is generally hindered by corruption permissiveness and political radicalism).

Inilah yang masih mewarnai dinamika politik kita. Masih berjamurnya koruptor yang melibatkan oknum-oknum dari berbagai lembaga dan provokasi politik yang mengabaikan etika dan moral politik memperpanjang harapan bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi. Karena itu, penguatan dua aspek political actors dan political institution menjadi semakin penting. Penguatan ini harus dilakukan melalui dua jalur sekaligus. Yaitu dengan melibatkan diri dalam lembaga atau organisasi politik sebagai langkah transformasi internal, sambil melakukan penyadaran politik pada masyarakat.

Kita berharap banyaknya parpol pada Pemilu 2009 dan jumlah swing voter yang cukup signifikan (34%) dapat mencairkan hegemoni (pengaplingan) parpol atas kekuasaan yang menyebabkan distorsi atas peran dan fungsi kekuasaan itu sendiri. Lahan pertarungan untuk meraih simpati rakyat masih terbuka lebar. Apakah partai masih bernafsu mengapling kekuasaan yang cenderung elitis, atau mengapling simpati rakyat agar demokrasi semakin kuat? Sejarahlah yang akan menghakimi.*

 

Artikel ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, 20 November 2008

*Penulis adalah dosen ilmu politik Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta