Kaleidoskop Komunikasi Politik 2017

Kaleidoskop Komunikasi Politik 2017

Waktu seolah berlari cepat. Ragam peristiwa telah menjadi penggalan sejarah kehidupan kita sepanjang tahun 2017. Tahun pun segera berganti, oleh karenanya sepatutnya kita berefleksi, menyusuri setiap kejadian yang dilalui bangsa ini. Banyak fenomena komunikasi politik yang mengemuka dan mewarnai jagat politik nasional sehingga perlu diberi catatan penutup untuk perbaikan di masa mendatang.

Komunikasi dan Konflik  

Komunikasi sesungguhnya diarahkan untuk membangun kesepahaman (mutual understanding) di antara para pihak yang secara bersamaan menjadi komunikator dan komunikan sekaligus dalam model yang kini lebih banyak berpola timbal-balik (resiprokal). Tapi di sisi lain ragam aktivitas komunikasi juga menimbulkan sejumlah soal politik nasional, terutama saat politisi, partai politik, media massa, pemerintah hingga warga biasa tak mampu mengelola komunikasi secara baik, etis, dan berkeadaban. Komunikasi yang harusnya membentuk kohesi sosial dan politik justru kerap menjadi akar persoalan yang berujung konflik.

Kita tentu masih ingat, di awal tahun ini, konflik yang masif dan bersifat eksesif terjadi akibat ketidakdewasaan banyak pihak dalam berkomunikasi di tengah kontestasi yang mencapai titik kulminasinya pada Februari 2017. Saat itu Pilkada DKI Jakarta menjadi "arena pertarungan" opini yang luar biasa panas. Meskipun ada 101 pilkada, sorotan media massa begitu gencar, masif, dan kumulatif di DKI. Hal itu bisa dimaklumi mengingat begitu strategisnya penguasaan Ibu Kota, terutama efek domino dan efek psikopolitis bagi kepentingan partai-partai di masa mendatang. Bara pilkada menyala luar biasa pada ragam kanal komunikasi warga. Mulai dari media mainstream seperti televisi, koran, radio yang berhadap-hadapan dengan begitu partisan hingga media sosial yang sudah pada tingkat mengkhawatirkan! Isu berdaya ledak tinggi, yakni isu suku, agama, ras dan antar­golongan (SARA), mengemuka dan dijadikan senjata oleh para pihak. Strategi propaganda dan kontra-propaganda membuncah, tumpah ruah di tengah warga yang melek politiknya masih rendah serta terfasilitasi teknologi yang kian mudah. Pilkada menunjukkan wajah gandanya.

Satu wajah penuh harapan, optimisme, gairah untuk berubah dan mewadahi kuasa rakyat secara terbuka. Satu wajah lainnya adalah berita palsu (hoax), ujaran kebencian (hatespeech), dan lubang hitam ketidakdewasaan warga dalam menyikapi per­bedaan. Karena itu pilkada tak semata menghadirkan buramnya cerita politik berbiaya tinggi saat kandidasi dan money politic saat membeli suara, tetapi juga paradoks peradaban dalam narasi penuh kebencian, polar­isasi dukungan yang dibalut kemarahan, serta bisnis hitam di panggung belakang. Fenomena Saracen yang meledakkan isu SARA menjadi permainan bisnis yang menyasar pasar pemilih bermental bigot. Atas nama instrumen pengelolaan brandingpositioning, dan segmenting dalam marketing politik, kandidat dan timnya sering kali bergerak ke kutub ekstrem yang membahayakan persatuan dengan tujuan mendapatkan "tempat" dengan mengeksploitasi jaringan sosial primordial.

Dalam perspektif  teori konflik, Lewis Coser (dalam Wallace & Wolf, 1986) sesungguhnya memandang konflik tak selalu merusak sistem sosial. Coser membedakan dua tipe dasar konflik yang realistis dan nonrealistis. Konflik pilkada sebenarnya masuk kategori realistis, artinya konflik akan segera mereda melalui ragam cara pada koridor demokrasi seperti di ranah hukum maupun komunikasi. Tapi tak jarang pula konflik mengarah ke yang kedua, yakni konflik non­realistis. Hal ini terjadi saat konflik mengarah ke kutub ekstrem yang tak rasional dan cenderung bersifat ideologis. Dalam hal ini antara lain konflik mengarah pada benturan antar­agama, antar­etnik, antar­kepercayaan yang sulit dipersatukan dalam jangka pendek. Lagi-lagi solusi utamanya sesungguhnya adalah komunikasi. Saat rekonsiliasi dikedepankan dan adanya keinginan kuat untuk membangun kekitaan di atas egosentrisme keakuan, sesungguhnya konflik masih bisa dikelola menuju penyelesaian.

Komunikasi Elite  

Fenomena lain yang menonjol pada 2017 tentang konflik yang bersumber dari komunikasi adalah agresivitas verbal politisi. Pernyataan Viktor Laiskodat, politikus Partai Nasional Demo­krat (NasDem), di Tarus, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Selasa (1/8) tentang partai-partai ekstremis dan pro-khilafah serta pernyataan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono yang menganggap wajar jika PDI-P disamakan dengan PKI merupakan contoh agresivitas verbal yang sangat riskan menimbulkan persoalan. Jika memakai pendekatan Dominic Ifanta dalam tulisan­nya Argumentativeness and Verbal Agressivness  (1996), biasanya ada dua sifat agresi yang kerap dominan dilakukan, yakni kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Sementara itu keagresifan verbal adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri di mana argumen bernalar. Ketidakdewasaan politisi dalam mengeluarkan pernyataan di muka publik juga bisa berpotensi memicu konflik.

Serangan komunikasi kepada Jokowi pada tahun ini juga kian menjadi-jadi. Contoh aktual adalah label diktator yang disematkan kepadanya. Tentu tuduhan ini serius dan menarik dicermati sekaligus dielaborasi dari perspektif akademik maupun politik praktis. Apakah Jokowi diktator? Jelas, baik dari kebiasaan pribadinya maupun konteks demokrasi Indonesia yang ada saat ini, Jokowi bukan diktator. Kritik mengalir sepanjang hari nyaris tanpa jeda dan melalui beragam kanal komunikasi, warga bisa bicara lebih terbuka. Gaya komunikasi politik Jokowi juga equalitarian style (gaya kesetaraan). Orang dengan gaya komunikasi ini biasanya arus verbal dan nonverbalnya selalu mencoba dua arah (two way traffic communication). Dengan demikian tuduhan Jokowi diktator sangatlah berlebihan dan terlalu mendramatisasi keadaan.

Komunikasi politik elite lainnya yang menarik pada 2017 adalah menyangkut pergantian ketua umum Partai Golkar. Krisis yang dialami Golkar terkait dengan Setya Novanto sebenarnya bisa disebut sebagai smoldering crisis, yakni krisis serius yang sesungguhnya terjadi di institusi, tetapi sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi. Krisis jenis ini biasanya muncul akibat konflik internal atau persoalan hukum yang mengemuka. Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000: 48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas, terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak. Pilihan atas Setya Novanto yang sudah lama memiliki persoalan hukum menjadi pelajaran berharga bahwa citra dan reputasi organisasi akan sangat rentan dan tidak berwibawa saat dipimpin orang yang memiliki persoalan, tetapi dipaksakan menjadi wajah utama organisasi.

Membangun Kekitaan

Catatan komunikasi politik yang sangat positif pada tahun ini adalah panggung kebersamaan antarmantan Presiden RI dalam puncak peringatan 17 Agustus 2017. Tak dapat disangkal, berkumpulnya Presiden Jokowi dengan para presiden serta wakil presiden di Istana memberikan resonansi sangat positif pada persepsi khalayak. Perjumpaan para elite bisa saja kita maknai mulai adanya inisiatif untuk merajut titik temu politik kebangsaan. Artinya di banyak momentum politik, mereka bisa saling menyaingi, berbeda kongsi, bahkan berbeda gagasan dan kepentingan. Tapi di lain kesempatan mereka bisa bertemu satu sama lain, berbagi, dan saling menguatkan. Simbol pakaian daerah yang digunakan secara semarak saat pidato kenegaraan di DPR/ DPD/MPR pada 16 Agustus 2017 juga bisa menjadi simbol kekitaan yang kuat. Bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam, tak hanya Jawa, tetapi juga ada suku-suku lain di Nusantara. Inilah pesan kekitaan yang tak hanya memesona, tetapi juga meneguhkan landasan prinsip kebinekaan. Warga dan elite harus menguatkan semangat kekitaan sebagai vaksin kekebalan mental berbangsa.

Dr Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada harian Koran SINDO, kolom Opini edisi Jumat, 29 Desember 2017. (lrf)