Kala Pegawai Belajar Fotografi

Kala Pegawai Belajar Fotografi

SEORANG fotografer amatiran siap membidikkan kamera poket kesayangannya. Dan, klik! Kamera pun berhasil merekam objek yang dibidik. Namun, sayang, hasilnya tak terlalu memuaskan. Selain objek kurang fokus, cahaya yang masuk juga terlalu over sehingga menimbulkan warna bias. Karena tak puas, sang juru foto itu pun lalu kembali siap membidik. Kali ini ia coba mengatur beberapa fitur yang ada di kamera itu. Klik! Klik! Klik! Gambar diambil berkali-kali pada objek tadi dengan beberapa angle. Tak lama, sang juru foto tersenyum dan menarik nafas lega setelah hasil bidikkannya terlihat lebih baik dari sebelumnya.

Sang juru foto tak lain adalah seorang fotografer amatiran. Ia sedang belajar memotret suatu objek tertentu di sebuah taman. Kegiatan itu dilakukannya pada acara pelatihan fotografi yang diadakan Bagian Sistem Informasi UIN Jakarta di Cibulan, Cisarua, Jawa Barat. Pelatihan yang digelar selama dua hari (14-15 Juli 2010) tersebut diikuti oleh 40 peserta. Sementara sang pemandu foto berasal dari Komunitas Mahasiswa Fotografi Kalacitra, Andikey Kristianto dan Miladi Ahmad ditambah Drs Nurul Jamali MSi dari Tifany.

Menariknya, para peserta adalah para pegawai UIN Jakarta yang bekerja di sejumlah unit. Mereka sengaja diajari teknik-teknik fotografi agar terampil memotret di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga administratif.  “Jika ada kegiatan di setiap unit, para pegawai itu paling tidak siap menjadi fotografer,” ujar Drs Nurul Jamali MSi, Kepala Bagian Sistem Informasi.

Sayangnya, untuk belajar fotografi tersebut, tak semua peserta memiliki kamera canggih seperti SLR (single lens reflex) yang kini lagi ngetren di kalangan fotografer profesional.

Maklum, selain harganya lumayan mahal, kamera jenis itu masih awam di kalangan sebagian peserta. Meski demikian, tak berarti acara pelatihan fotografi di kawasan berhawa dingin itu mengurangi minat peserta belajar fotografi. Mereka justru terlihat antusias sekalipun harus menggunakan kamera poket. Bahkan sebagian di antara mereka malah tak membawa kamera sama sekali.

“Ini pengalaman pertama bagi saya belajar memotret. Ternyata, memotret itu asyik juga ya,” ujar Rusdi Tumanggor, pegawai di bagian administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pengalaman yang sama diakui Syamsuri, pegawai administrasi di bagian umum gedung Rektorat. Bahkan bagi PNS yang mantan Komandan Satpam kampus ini, pernah berandai jika kegiatan fotografi menjadi “sekoci” dirinya seusai pensiun kelak.

Menurut Nurul Jamali, kegiatan memotret sebenarnya dapat dilakukan siapa saja. Apalagi sejak era kamera digital banyak muncul di pasaran dan makin praktis penggunaannya. Berbeda dengan era film dulu, selain riweuh juga perlu biaya banyak untuk sekadar melihat hasilnya. Namun, untuk sampai kepada tingkat pengetahuan dasar mengenai cara-cara memotret serta seni fotografi, tampaknya tak semua orang dapat memahami. Karena itu, kata pria yang mengaku berprofesi sebagai fotografer ketimbang pegawai, ini keterampilan dasar memotret perlu dimiliki sehingga dapat menghasilkan karya seni yang indah, baik untuk kepentingan dokumentasi maupun publikasi.

“Memotret itu tak lain melukis dengan cahaya. Semakin bagus cahaya yang terekam dalam kamera, semakin bagus pula hasilnya,” katanya berdalih. Soal pengetahuan cahaya inilah di antara teknik-teknik memotret yang jarang dikuasai oleh para fotografer amatiran. “Karena itu jangan heran jika hasilnya bias (over) atau malah buram,” kata Nurul Jamali, yang sudah menggeluti dunia fotografi selama puluhan tahun ini.

Andikey menambahkan, keahlian memotret memiliki banyak teknik atau cara. Pengetahuan itu tak sekadar pada kemampuan menggunakan fitur-fitur yang tersedia dalam kamera, melainkan juga kepiawaian terhadap penentuan point of interest dan pengambilan angel. “Banyak objek menarik yang mungkin dapat dijadikan sebagai angel, tapi karena kurang piawai bisa jadi momen itu terlewatkan untuk direkam. Sebab, kriteria hasil foto yang bagus bukan saja pada ketajaman gambar atau fokusnya, bahkan juga sangat ditentukan pada pemilihan angel tadi,” urainya.

Di kalangan jurnalis foto, menurut Andikey, ketepatan memilih angel sangat ditekankan, baik pada peristiwa berita biasa maupun human interest. Sebab, jika hal itu diabaikan berita foto bisa tidak membuat menarik untuk dilihat pembaca selain mengesankan tidak profesional. “Itulah sebabnya mengapa, misalnya, para fotografer olahraga begitu tak henti membidikkan kamera ke arah pemain. Mereka seolah tak ingin melewatkan momen bagus saat para pemain beraksi di lapangan,” ujar mantan fotografer Okezone.com ini.

Pemilihan angel tak hanya dikenal di kalangan jurnalis foto media cetak. Bagi para fotografer wedding atau fotografer humas pun hal itu harus tetap menjadi pegangan. Banyak momen penting yang bisa diabadikan pada foto perkawinan, misalnya saat saling memasangkan cincin ke jemari atau saling (maaf) berciuman. Sementara untuk dokumentasi kehumasan sang fotografer dapat mengambil angel saat-saat pejabat atau tamu sedang ekpresif, seperti tersenyum atau tertawa serta menggerak-gerakkan tangan.

Selama setengah hari, para peserta pelatihan fotografi itu lantas diminta praktik mengambil gambar untuk beberapa angel. Objek yang direkam berupa pemandangan bebas, foto jurnalistik, dan foto dokumentasi. Lalu, layaknya fotografer profesional, mereka sibuk menenteng kamera dan kemudian menyebar ke sejumlah lokasi dengan mata dan tangan siap membidik. Nanang Syaikhu