Jokowi dan Jebakan Periode Kedua

Jokowi dan Jebakan Periode Kedua

Joko Widodo menatap periode kedua dengan lebih percaya diri. Setelah melewati fase krusial pertarungan pemilihan presiden 2019 yang membawa aras politik nasional ke titik didih, situasinya kini mulai terkendali.

Jokowi juga mengantongi modal politik dengan dukungan mitra koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang melampaui angka minimal. Sebelum ada tambahan partai baru yang bergabung, paling tidak Jokowi memiliki dukungan di kisaran 61 persen. Situasi ini berbeda sangat jauh dengan masa awal Jokowi menjadi presiden pada 2014.

Selain itu, prakondisi bagi Jokowi untuk memulai periode kedua menjadi lebih baik, terutama setelah berhasil menggelar perjumpaan dengan rival utamanya dalam pemilihan presiden 2019, Prabowo Subianto, di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, 13 Juli lalu.

Ada dua panggung simbolik besar yang dihadirkan Jokowi dalam mengemas narasi rekonsiliasi sebelum memulai periode kedua pemerintahannya. Panggung pertama, Jokowi dan Prabowo berjumpa di MRT dan makan bersama di Sate Senayan. Pesan dari perjumpaan di area publik itu adalah perjumpaan tersebut didedikasikan untuk khalayak luas yang memang sudah lama menghendaki perjumpaan keduanya sebagai titik awal rekonsiliasi. Kalau perjumpaan itu dilakukan di Istana Presiden atau kediaman Prabowo, tentu akan terkesan sekadar untuk kepentingan keduanya dan kelompoknya.

Selain itu, zona netral yang dipilih memberi pesan bahwa mereka tidak sedang memperbincangkan power sharing. Dengan demikian, pesan verbalnya lebih banyak memberi tekanan pada narasi rekonsiliasi: membujuk khalayak luas untuk kembali bersama-sama dan mengedepankan persatuan Indonesia.

Panggung kedua adalah pidato visi Indonesia yang disampaikan Jokowi di Sentul International Convention Center, Bogor, Ahad malam lalu. Ini adalah pidato pertama Jokowi di "panggung megah" sebagai presiden terpilih untuk periode 2019-2024. Isinya mengurai lima poin utama sebagai narasi kepemimpinannya pada periode kedua. Pertama, soal infrastruktur, Jokowi menekankan konektivitas pembangunan infrastruktur yang sedang dan akan dibangun dengan industri kecil, ekonomi khusus, pariwisata, dan akses ekonomi rakyat lainnya, seperti persawahan, perkebunan, dan tambak perikanan.

Kedua, pembangunan sumber daya manusia. Jokowi memberi tekanan pada kesehatan ibu hamil, bayi, dan anak usia sekolah. Dia juga memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasi dan lembaga manajemen talenta. Ketiga, membuka diri untuk investasi yang diharapkannya dapat membuka lapangan kerja. Secara eksplisit Jokowi mengulang janji kampanyenya yang akan mempercepat proses perizinan dan menghilangkan semua hambatan.

Keempat, reformasi struktural dan pola pikir dalam reformasi birokrasi. Jokowi menghendaki struktur birokrasi yang sederhana, lincah, dan cepat. Hal ini ditunjang dengan pola pikir adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif. Kelima, soal penggunaan APBN. Kata kuncinya adalah terfokus dan tepat sasaran untuk memberi manfaat kepada rakyat, baik manfaat ekonomi, sosial, maupun kesejahteraan. Kelima poin narasi Jokowi ini dibungkus dengan tema besar perubahan paradigma memecahkan masalah, juga inovasi model, cara, dan nilai baru.

Modal politik dan prakondisi yang bagus tidak lantas menjamin suksesnya periode kedua pemerintahan Jokowi. Vilfredo Pareto, dalam tulisannya"The Circulation of the Elite"(Perdue, 1986), menyatakan bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat saling pengaruh (resiprokal) danmutual interdependenceatau ketergantungan bersama. Sirkulasi elite juga selalu memiliki residu ekonomi dan politik yang sudah semestinya diatasi agar tidak merusak tatanan yang diinginkan.

Syarat mutlak agar Jokowi tampil prima adalah mengatasi jebakan periode kedua. Ada dua jebakan utama di sini. Pertama, terlalu gemuknya kekuatan politik di pemerintahan. Kebiasaan rezim politik sejak Orde Baru adalah merangkul sebanyak-banyaknya kekuatan politik ke pemerintahan dan membangun zona nyaman kekuasaan. Akumulasi dukungan biasanya semakin menjadi pada periode kedua karena partai menghitung potensi kemenangan jauh lebih besar ada di petahana.

Obesitas kekuasaan selalu memunculkan konsekuensi lambannya kinerja dan kompleksitas pola relasi kuasa di antara partai-partai mitra koalisi. Pembentukan kabinet pada periode kedua adalah indikator awal seberapa kuat komitmen Jokowi terhadap perubahan. Jika postur kabinet sekadar menampung orang dan representasi koalisi, kita patut pesimistis terhadap laju pemerintahannya. Tidak efektifnya Sekretariat Gabungan pada era SBY harus menjadi pelajaran penting bagi Jokowi. Koalisi bukan semata besarnya dukungan, tapi juga efektifnya koordinasi yang ditopang oleh kepemimpinan yang berorientasi pada hasil optimal.

Kedua, melemahnya daya tahan untuk terus fokus bekerja saat banyak pihak, termasuk mitra koalisi penyokong pemerintah, mulai beralih agenda menyongsong kontestasi 2024. Pada periode kedua SBY, beberapa proyek infrastruktur mengalami permasalahan, seperti proyek Hambalang.Pertumbuhan ekonomi pada akhir pemerintahan SBY berada di angka 5,02 persen, jauh lebih rendah dibanding angka pada 2008 sebesar 6,1 persen.

Jokowi harus mampu mengatasi dua jebakan itu agar kinerja pemerintahan periode keduanya berjalan optimal.

Gun Gun Heryanto 

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute. Dosen Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Atikel ini telah dimuat pada Kolom Pendapat, harian Tempu, edisi Rabu 17 Juli 2019. (lrf)