Jilbab dan Toleransi Beragama

Jilbab dan Toleransi Beragama

Video protes orangtua kepada kepala sekolah SMAN I Maumere viral. Sekolah melarang penggunaan jilbab di sekolah. Kepala sekolah beralasan itu sudah sesuai regulasi pusat. Sebaliknya, belum lama ini, tiga sekolah mewajibkan—secara tersurat maupun tersirat—penggunaan jilbab atau pakaian muslimah bagi siswi.

Sekolah tersebut adalah SDN Karangtengah III Wonosari, SMPN 8 Yogyakarta, dan SMPN 3 Benteng. Semua sudah merevisi kebijakan keliru ini setelah viral di media sosial dan mendatangkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Tidak ada lagi larangan atau kewajiban memakai jilbab bagi siswi.

Rumah Keragaman

Sekolah adalah rumah keragaman. Dia merupakan tempat bertemu dan bersatunya perbedaan agama, suku, ras, dan status sosial siswa. Di satu sekolah bisa terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, Protestan, Hindu, dan Budha, bahkan lebih. Sebut saja dengan sekolah inklusi.

Strata sosial orangtua siswa juga beragam. Kaya, menengah, dan miskin. Penyeragaman pakaian sekolah bertujuan untuk kesetaraan karena semua siswa memakai pakaian yang sama, terutama warna dan modelnya. Jika tidak, maka akan terlihat perbedaan antara siswa kaya dan miskin.

Penyeragaman itu bukan berarti wajib berpakaian yang sama persis, tetapi akomodatif terhadap keyakinan atau nilai yang dianut masing-masing agama. Islam misalnya, mewajibkan muslimah menutup aurat. Sebagian memakai jilbab dan sebagiannya tidak.

Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah (Permendikbud 45/ 2014).

Guru Moderat

Keragaman itu sumber konflik atau sumber persatuan sangat tergantung kepada sosok guru di sekolah. Kebijakan yang diambil guru secara individu maupun musyawarah akan menentukan arah potensi keragaman siswa tersebut. Sebagai berkah atau malapetaka?

Pelarangan atau pewajiban jilbab di sekolah tidak benar, kecuali sekolah swasta Islam. Dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pemakaian jilbab atau busana muslim adalah opsional. Boleh dipakai atau boleh tidak dipakai.

Kasus di atas menunjukkan potensi otoritarianisme guru di sekolah. Pemaksaan kehendak mayoritas terhadap minoritas, atau guru terhadap siswa. Guru atau kepala sekolah terindikasi tidak toleran dan eksklusif sehingga perlu pengawasan dari pengawas sekolah dan dinas pendidikan.

Guru seperti ini berbahaya bagi kerukunan umat beragama karena sekolah adalah tempat pengembangan toleransi, inklusi, dan moderasi beragama. Keragaman agama, suku, ras, dan status sosial di sekolah adalah sumber belajar tentang kerukunan, persatuan, dan kerjasama bagi komunitas sekolah, khususnya siswa.

Guru merupakan kunci penanaman nilai toleran dan persaudaraan antarsesama siswa dan guru. Mereka akan mewarnai arah kebijakan dan kondusivitas sekolah. Kebebasan memakai atau tidak memakai jilbab bagi siswi muslim atau nonmuslim di sekolah adalah contoh kecil.

Dalam membuat kebijakan sekolah, guru harus mempertimbangkan keragaman agama, suku, ras, dan status siswa, sehingga tidak menimbulkan konflik internal dan eksternal. Kecuali itu, kebijakan sekolah atau daerah tidak boleh bertentangan dengan regulasi pemerintah pusat—seperti dalam kasus di atas.

Keragaman siswa bisa berpotensi konflik tetapi jika dikelola dengan baik bisa sebagai sumber pembelajaran tentang nilai persatuan dan toleransi. Karena itu, guru-guru harus terhindar dari sikap dan pemikiran sempit, otoriter, eklusif, dan intoleran. Guru harus toleran dan inklusif sejak dalam pikiran.

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: PGRI, 18n Juli 2019. (lrf/mf)