Jihad Alami Penyempitan Makna

Jihad Alami Penyempitan Makna

Gd. FU, BERITA UINOnline— Jihad dimaknai sempit sebagian masyarakat muslim literalis sebagai sikap ofensif terhadap pihak kafir dengan jaminan surga bagi pelakunya (mujahid). Ini menyebabkan istilah jihad dikonotasikan sebagai kekerasan, peperangan, dan aksi militer.

Demikian simpulan Seminar Nasional bertajuk “Radikalisme : Problem Pemahaman Teks al-Qur’an dan Hadis” yang diselenggarakan Prodi Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin (FU), UIN Jakarta, Rabu (04/11).

Hadir sebagai narasumber Imam Besar Mesjid Istiqlal Prof Dr KH Ali Mustofa Ya’qub MA, Rektor Institut Ilmu al-Quran Dr KH Ahsin Sakho M. Asyrofuddin MA, Peneliti PPIM UIN Jakarta Din Wahid Ph.D, dan Dosen Tafsir Hadits FU Dr Rifqi Muhammad Fatkhi MA.

Sejatinya jihad, kata Ahsin, jihad memiliki makna yang sangat luas. Selain pembelaan fisik dari serangan musuh-musuh Islam, jihad bahkan dimaknai sebagai perlawanan terhadap kebodohan dan kemiskinan. “Kalau jihad dimaknai dengan perang itu sangat sempit sekali,” tuturnya Ahsin.

Namun pada perkembangannya, lanjut Ahsin, jihad mengalami penyempitan makna sebagai tindakan keras pada kelompok yang dinilai kafir. Makna demikian menimbulkan gambaran horor Islam di mata non-Islam.

Di sisi lain, Ali menduga, terdapat sejumlah alasan radikalisme keagamaan yang mendorong penyempitan makna jihad. Ketiganya yaitu, massifnya ketidakadilan hukum yang dirasakan masyarakat, ketimpangan kesejahteraan ekonomi, dan munculnya para aktor yang meniupkan pemaknaan jihad yang sempit.

Merujuk pada pengalaman Nabi SAW, peperangan antara pasukan Islam dan non-Islam lebih banyak disebabkan oleh motif ekonomi-politik seperti pembangkangan atas aturan kehidupan bersama-sama. Nabi sendiri, kata Ali, memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat agama non-Islam.

Sementara, berkaca pada pengalaman jihad yang ditiupkan para ulama dan masyarakat Islam Nusantara pada masa kolonialisme Belanda sebagian besar ditujukan sebagai perlawanan atas ketidakadilan politik, ekonomi, dan penjagaan kebebasan melaksanakan ajaran agama.

“Posisi umat Islam atau rakyat Indonesia saat itu sedang dijajah, mendapatkan ketidakadilan politik, dan tidak mendapatkan kesejahteraan yang wajar. Ini pemaknaan jihad yang wajar (beralasan, red.),” tandasnya.

Sementara itu, Din dan Rifqi menduga, radikalisme dan pemaknaan jihad yang sempit lahir dari pemahaman sumber-sumber keagamaan yang tidak utuh. Keterbatasan penguasaan sumber-sumber keislaman yang berdiri sejajar dengan semangat keagamaan tinggi mendorong pelaksanaan perintah jihad secara membabibuta.

 “Jihad yang harusnya difahami secara luas, menjadi sempit sebagai aksi kekerasan atas realitas yang berbeda,” tandas Rifqi.

(Laporan Ahmad Baiquni)