Jalan Terjal Bursa Capres 2024

Jalan Terjal Bursa Capres 2024

Oleh Gun Gun Heryanto

SAAT ini, wacana tentang kontestasi Pemilu 2024 mulai memanas lagi. Sejumlah nama mulai digadang-gadang menuju gelanggang. Ada nama Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Puan Maharani, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Ridwan Kamil, dan sejumlah nama popular lainnya, baik dari kalangan politikus partai politik, kepala daerah, menteri, pengusaha, maupun lain-lain. Hal ini menandai sebuah realitas bursa pancapresan yang mulai dipanaskan dengan ragam kepentingan. Tentu banyak orang berkeinginan, tetapi tak semuanya memiliki modal elektoral memadai.

Tahap pemunculan

Jalan panjang pemenangan dimulai dengan tahap pemunculan kandidat. Tak mengherankan jika saat ini bursa nama figur-figur potensial mulai digadang-gadang. Merujuk ke Judith Trend dan Robert Friendenberg dalam bukunya, Political Campaign Communication Principles and Practices (2015), tahap ini disebut sebagai tahap pemunculan (surfacing) sebelum ketiga tahapan lain dilakukan, yakni tahap primary, nominasi, dan pemilihan (election).

Pada tahap pemunculan, yang diperkuat ialah citra diri sehingga berpotensi dipertimbangkan dalam bursa kandidat. Tahap primary sangat menentukan karena dalam situasi kompetitif apakah kandidat mampu meyakinkan kekuatan politik seperti parpol memberikan tiket menjadi calon presiden/wakil presiden atau tidak.

Terlebih di Indonesia, pemilu presiden hanya bisa diikuti pasangan calon yang didaftarkan secara resmi oleh partai politik dan belum membolehkan munculnya kandidat independen. Di Indonesia, hal ini semakin kompleks mengingat tingginya syarat presidential threshold.

Tahap nominasi, yakni tahapan kepastian, seseorang diusung partai yang memiliki kursi di DPR. Pada tahapan ini, setiap parpol akan melakukan konsolidasi internal untuk memilih dari beberapa opsi ke satu nama yang akan dideklarasikan sebagai capres atau cawapres mereka. Dari kompleksitas pencapresan di internal partai akan bergeser menuju ruang negosiasi dan kompromi dengan partai politik lainnya untuk berkoalisi mengusung pasangan calon yang akan berlaga di Pemilu 2024.

Setelah ini, barulah tahapan menuju pemilihan akan semakin intens seiring dengan masuknya pasangan calon yang sudah resmi didaftarkan ke KPU untuk berkampanye meyakinkan pemilih agar memilih mereka pada hari H. Realitas inilah menjadi gambaran mengapa saat ini wacana pilpres sudah mulai gegap gempita seiring dengan musim semi kandidasi.

Michael Gallagher dalam tulisannya, Candidate Selection in Comparative Perspective: The Secret Garden of Politics (1998), menyebutkan kandidasi ibarat kebun rahasia politik (the secret garden of politics). Selama proses kandidasi inilah akan muncul banyak cerita seputar kebersamaan, kepentingan, pengkhianatan yang semuanya berbaur menjadi rahasia, misteri, dan hutan belantara pencalonan yang kerap menampilkan kejutan hingga titik akhir masa pendaftaran pasangan calon.

Struktur Peluang

Pippa Norris menulis tentang recruitment dalam Richard S Katz and William Crotty, Handbook of Party Politics (2006). Dia memaknai kandidasi sebagai proses bagaimana kandidat dipilih dari kandidat-kandidat potensial yang mampu bersaing mendapatkan jabatan publik. Tentu banyak orang yang berkehendak mencalonkan diri (running for office). Namun, belum tentu memiliki sejumlah faktor menentukan untuk masuk ke gelanggang pertarungan.

Dari pendekatan struktur peluang (opportunity structure), paling tidak ada tiga pertimbangan yang sering menjadi pola dalam konteks strategic entry. Pertama, faktor kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Potensi yang melekat pada diri bakal calon yang berpeluang meraup suara di basis-basis pemilih.

Tidaklah mudah melakukan negosiasi dalam komunikasi politik, terutama dengan partai politik yang sangat pekat dengan kepentingan elite utamanya. Salah satu yang meyakinkan pihak partai dan khalayak ialah potensi keterpilihan mereka di pasar elektoral. Itu juga menjadi alasan mengapa tidak semua nama yang beredar di bursa akhirnya diambil menjadi kandidat dan diusung partai atau gabungan partai politik.

Survei persepsi menunjukkan nama-nama, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subainto, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, Sandiaga Uno, Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, dan Airlangga Hartarto kerap kali muncul sebagai figur potensial untuk maju dengan besar kecil peluangnya dari sisi persepsi pemilih.

Kedua, faktor biaya memasuki arena (cost of entry). Faktor ini sering dikaitkan dengan proses politik yang kerap berbiaya tinggi. Karena itu, terjadi kapitalisasi politik dan kerap melahirkan hukum penawaran dan permintaan dalam negosiasi politik yang melibatkan partai politik atau kelompok kepentingan lainnya. Faktor inilah yang sering kali juga menentukan seseorang terhambat masuk gelanggang. Seseorang yang tidak punya biaya politik dan tak mampu meyakinkan para pihak untuk memberinya dukungan sering kali akhirnya terlempar dari bursa.

Faktor ini pula yang krusial menyebabkan masalah di kemudian hari. Itu karena tradisi ‘investasi’ pada pembiayaan politik kandidat melahirkan skema politik ijon. Para pemodal sering menagih keuntungan dari kandidat yang didukungnya saat menang dengan kompensasi regulasi, sumber daya alam, proyek, dan sejumlah keuntungan ekonomi lain yang menguntungkan segelintir orang saja. Pola M-C-M (money-commodity-more money) yang sering memosisikan jabatan presiden/wakil presiden sebagai komoditas yang dikapitalisasi.

Ketiga, faktor keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Potensi-potensi kemenangan yang dihitung elite utama partai politik jika mendukung seseorang untuk maju. Hal ini bisa kita amati, misalnya, dalam proses koalisi yang tidak berlandaskan ideologi atau kesamaan platform, tetapi karena berburu kekuasaan (office seeking). Pertimbangan ini sering mengubah peta pasangan calon yang akan diusung. Sejatinya, partai politik selalu berkehendak mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu, pertimbangan menentukan pasangan akan sangat diwarnai dengan pola politik representasi.

Hanna Pitkin dalam tulisan di buku klasiknya, The Concept of Representation (1967), menyatakan ada beberapa komponen dalam representasi. Komponen-komponen tersebut ialah kelompok yang merepresentasikan (wakil, organisasi, dll), kelompok yang direpresentasikan (konstituen, klien, dan lain-lain), sesuatu yang direpresentasikan (opini, perspektif, kepentingan, diskursus, dan lain-lain), dan konteks politik yang menjadi latar aktivitas representasi. Politik representasi ini pula yang akan menjadi klaim partai politik jika pasangan calon yang diusungnya terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

The Equalitarian Style VS The Structuring Style

Siapa sosok prospektif pada Pilpres 2024? Banyak faktor yang bisa dicermati, dibaca, sekaligus dikalkulasi. Sudah pasti tidaklah faktor tunggal dan akan sangat dipengaruhi dinamika politik yang terjadi. Namun, secara umum, ada pola yang kerap berulang.

Dari sisi komunikasi politik, sejak Pilpres pertama kali secara langsung pada 2004, ada dua gaya komunikasi politik yang kerap menjadi magnet elektoral kuat di setiap pemilu presiden. Kedua gaya tersebut, yakni the equalitarian style dan the structuring style.

Dari pendekatan akademis, terutama mengacu ke pandangan tipologi gaya komunikasi, menurut Steward L Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Human Communication Principle and Context (2005), gaya komunikasi equalitarian kerap kali ditandai dengan komunikasi dua arah yang menekankan pengertian bersama. Ciri dominan gaya komunikasi ini biasanya arus komunikasi yang dimainkan komunikator bersifat timbal balik, berupaya menghadirkan empati dan kerja sama, serta cenderung memiliki rasa kepedulian dan mampu membina hubungan baik dengan pihak mana pun, termasuk lawan. Ini yang dipraktikkan Jokowi dan menjadi magnet politik di Pemilihan Presiden 2014-2019 serta 2019-2024.

Kedua, the structuring style, seperti dipraktikkan Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi magnet pada Pemilu 2004-2009 dan 2009-2014. Gaya ini menekankan keterukuran, kehati-hatian, wibawa diri dan aturan, sistematis, berpikir, serta berucap secara skematis dan terorganisasi.

Kedua gaya komunikasi ini memang menjadi favorit di Indonesia yang komunikasinya lebih ke budaya konteks tinggi (high context culture).

Ragam gaya lainnya, dari sejarah pilpres langsung di Indonesia punya kecenderungan tidak menjadi magnet. Gaya komunikasi lain yang dimaksud ialah the controlling style yang menekankan kontrol dan kekuasaan yang ada pada dirinya. Karena itu, kerap dianggap elitis dan berjarak. Ada the dynamic style yang kerap agresif, berorientasi hasil akhir, tegas, tapi sering meledak-ledak.

Selain itu, ada relinquishing style yang gayanya kerap mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Karena itu, sering menunjukkan dirinya yang kurang memiliki konsep diri yang kukuh. Terakhir, ada withdrawal style yang sangat independen dan sangat yakin dengan dirinya sendiri sehingga kerap menghindari komunikasi.

Jika kita bicara sosok kekinian, gaya komunikasi equalitarian bisa kita lihat ada, misalnya, di sosok Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Sandiaga Uno. The structuring style, misalnya, ada di sosok Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, dan Airlangga Hartarto. Sementara itu, Prabowo Subianto dari sisi gaya masuk ke dynamic style dan Puan Maharani masuk ke the controlling style. Tentu setiap orang bisa saja mengadaptasi gaya komunikasi lain untuk memersuasi basis pemilih. Namun, percayalah, gaya dominan seseorang yang asli dan melekat kuat pada dirinya telah ada di memori banyak orang. Ini yang disebut dengan reputasi politik.

Jalan terjal membentang menuju bursa capres 2024. Paling tidak ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi sejumlah figur yang kini digadang-gadang banyak orang. Pertama, serangan terhadap pribadi dan jabatan yang kini diemban. Anies Baswedan, misalnya, mulai mendapatkan banyak serangan, seperti interpelasi banjir di DPRD, isu Formula E, serangan agresivitas verbal dengan label pembohong yang disampaikan politisi PSI, Giring Ganesha, hingga isu hukum seputar pengadaan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur, pada 2019.

Demikian dengan Ganjar Pranowo, dari serangan verbal di internal partai PDI Perjuangan hingga pernyataan sangat agresif tentang Papua dari Natalius Pigai yang langsung tertuju ke Ganjar Pranowo serta Jokowi. Belum lagi kritik deras yang kini mulai mengalir ke Ganjar terkait dengan posisinya sebagai Gubernur Jateng.

Kedua, tantangan dalam manajemen citra dan reputasi politik mereka. Bagaimana mereka mengartikulasikan strategi publisitas politik serta public relations politik untuk tetap mendapatkan perhatian positif khalayak. Masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI akan berakhir pada 2022, sementara masa jabatan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah akan berakhir pada 2023. Pilkada baru akan berlangsung pada 2024. Artinya, mereka berdua harus piawai mengelola fase krusial tersebut agar tetap menjadi sosok prospektif pada pilpres mendatang. Hal serupa juga harus dilakukan sosok-sosok lain dengan dimensi kasus masing-masing.

Ketiga, tantangan komunikasi politik dengan elite-elite utama di partai politik yang akan mengusung ataupun mendukung mereka. Hal ini butuh kelenturan, jaringan, dan kepiawaian tersendiri mengingat tak mudah mengayuh di tengah kepentingan elite di satu sisi serta gelombang harapan publik di sisi lainnya. (zm)

Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, dan Dewan Pakar Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi Indonesia (ISKI). Artikelnya dimuat dalam Kolom Pakar, Media Indonesia, Senin 11 Oktober 2021. Sumber tulisan: https://m.mediaindonesia.com/kolom-pakar/438969/jalan-terjal-bursa-capres-2024